🌕 6
"Semakin jauh kau melangkah, semakin kau menyadari bahwa dunia ini lebih dari sekadar apa yang pernah kau bayangkan."
***
Barseba mengangguk.
Aku akhirnya bisa merasakan kelegaan melesat ke perutku. Setidaknya aku tahu Midnight tidak kenapa-kenapa. Dan aku bisa menikmati pemandangan padang rumput di atas raksasa pohon yang berlari.
Kebingunganku kian menguat. "Bagaimana kamu bisa ngobrol dengan... pohon?"
Barseba mengedikkan pundak. "Entahlah, aku tidak tahu. Rasanya... alami saja. Seperti menarik dan membuang napas."
Aku tersenyum kecut, tak bisa menyembunyikan kebingunganku. Kami saling diam seperti orang kikuk setelahnya. Hanya entak larian si raksasa pohon yang menemaniku. Lima belas menit. Itu waktu yang dibutuhkan untuk mataku menangkap rumah-rumah kecil di ujung cakrawala.
Gila!
Aku masih tidak bisa mempercayai apa yang kulihat. Desa itu sudah sangat dekat. Barseba dan aku baru saja melangkah ke dalam desa yang terbuat seluruhnya dari kayu. Namun, keanehan sejati bukan pada rumah-rumah yang bertengger di atas hamparan padang rumput dan raksasa pohon-pohon berusia ratusan tahun, melainkan pada para penduduknya.
Mereka bukan manusia.
Mereka adalah boneka kayu.
Aku menelan ludah, mataku mengitari desa yang sunyi namun penuh dengan sosok-sosok yang bergerak dengan kaku. Mereka berjalan, berbicara, bahkan tertawa dengan mulut kayu yang terbuka dan tertutup dalam gerakan yang nyaris mekanis. Cahaya lampu minyak yang tergantung di sepanjang jembatan-jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah raksasa berpendar lembut, melemparkan bayangan-bayangan panjang para boneka yang seperti menari di udara.
Aku mundur selangkah, tubuhku menegang. "Apa... apa ini?"
Barseba, yang tampak lebih santai, merogoh sakunya dan mengeluarkan kantong kecil berisi teh. Dia berjalan menuju salah satu rumah, mengetuk pintu dengan ketukan yang terdengar aneh di kayu yang mungkin sejenis dengan tubuh para penduduk desa. Seorang boneka perempuan membukakan pintu dan menyambut kami dengan suara renyah seperti ranting kering yang patah.
"Masuklah."
Aku menatap Barseba dengan cemas, tetapi dia hanya mengangguk dan melangkah masuk. Aku mengikutinya, meski kakiku terasa berat. Ruangan di dalamnya sederhana: meja dan kursi kayu yang tampak menyatu dengan lantai, dinding yang dihiasi ukiran-ukiran motif angin, dan perapian yang menyala redup, menebarkan aroma kayu terbakar.
Boneka perempuan itu menuangkan teh dari teko tembikar dan mengiris roti bakar yang masih mengepulkan uap. Aku duduk dengan gelisah di kursi yang terasa lebih keras daripada yang kukira. Barseba mendorong secangkir teh ke hadapanku. "Tenanglah, Quinsi. Mereka tidak berbahaya."
Aku menatapnya dengan tidak percaya. "Mereka itu boneka, Barseba! Kamu bahkan tidak terkejut melihat mereka?"
Dia hanya mengangkat bahu. "Dunia lebih luas daripada yang kamu kira. Aku sudah melihat banyak hal aneh."
Aku menghela napas dan menyeruput tehku, berharap kehangatannya bisa meredakan kegelisahanku. Tehnya memiliki rasa yang aneh, seperti campuran madu dan rempah yang asing. Roti bakarnya renyah, meski sedikit lebih keras daripada yang biasa kumakan.
Setelah beberapa saat, ketegangan dalam diriku sedikit mereda. Aku menatap boneka perempuan yang duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, menatap balik dengan mata kayu yang kosong. "Apakah kamu tahu sesuatu tentang seorang cowok?" tanyaku.
Aku bahkan belum selesai mengucapkan kalimat itu ketika tiba-tiba udara berubah drastis.
Angin dingin berembus dari luar, menyelinap masuk melalui celah-celah rumah dan menggigilkan kulitku. Aku merapatkan mantel dan memandang Barseba dengan bingung. Dia segera bangkit berdiri dan menatap keluar jendela. "Kita harus pergi," katanya dengan nada mendesak.
Aku tidak mengerti, tetapi aku tahu lebih baik daripada membantah Barseba dalam situasi seperti ini. Aku meletakkan cangkirku dan mengikuti langkahnya keluar rumah. Begitu kakiku menyentuh jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah di atas pohon, aku melihat pemandangan yang membuat nafasku tercekat.
Di ujung desa, tebing-tebing es menjulang tinggi, begitu tinggi hingga puncaknya menyentuh awan. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewatkan keberadaannya sebelumnya. Dari tebing-tebing itu, gletser-gletser besar mencair dan menciptakan sungai-sungai yang berkilauan di bawah cahaya bulan.
"Ini..." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku. Aku terlalu terpesona sekaligus ketakutan.
Barseba menatap tebing itu dengan tatapan serius. "Inilah yang mereka sebut sebagai Khatulistiwa."
Aku mengerutkan kening. "Tapi itu tidak masuk akal. Khatulistiwa seharusnya panas, bukan seperti ini."
Barseba mengangguk pelan. "Karena ini bukan Khatulistiwa yang kamu kenal. Ini adalah Khatulistiwa yang tersembunyi."
Aku merasa dunia ini semakin aneh dan semakin tidak bisa kupahami. Lalu aku teringat perkataan Kak Isaac, tentang dunia seperti dua purnama. Dan kurasa inilah purnama tersembunyi yang dimaksud.
Udara semakin dingin. Aku bisa melihat napasku berubah menjadi kabut tipis. Aku melangkah lebih dekat ke tebing dan merasakan angin dingin menampar wajahku. Ada sesuatu yang aneh di sini, sesuatu yang lebih dari sekadar cuaca.
Aku menoleh ke Barseba. "Apakah cowok yang kumaksud ada di sini?"
Dia tidak menjawab. Tapi tatapan matanya yang penuh makna mengatakan segalanya.
Aku menelan ludah. Perjalananku belum berakhir. Justru, aku merasa baru saja memulainya.
"Ikut aku." Barseba berbalik. "Dia tidak ada di sini, dia ada di Citadel kedua."
Aku bingung, memiringkan kepala. "Citadel?"
"Kujelaskan sambil perjalanan."
Khatulistiwa terbagi menjadi beberapa zona, kata Barseba. Sebutannya Citadel. Citadel pertama adalah stepa, tempatku terlempar dari portal. Sepertinya Midnight terlempar ke Citadel lain. Menurut Barseba, dia berada di Citadel kedua, hutan hujan.
Menurutku, sebuah Citadel besarnya seperti Kota Surabaya. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di ujung yang lain. Kami mengikuti aliran sungai yang dibawa oleh gletser. Semakin jauh, alirannya membelah dan membesar. Aku bisa bilang kami sudah berada di ujung Citadel Stepa dengan melihat rimbunan pohon lebat dari kejauhan.
Aku sudah sadar, Barseba punya kekuatan magis seperti Gwen di film Sky High. Dia mampu berbicara dengan tanaman, atau... mengendalikan mereka. Selama perjalanan, kami selalu disambut dengan tanaman yang menari. Sangat imut, tapi low-key menakutkan. Apalagi raksasa pohon yang berwujud sama seperti Bangchan. Aku masih belum terbiasa.
"Ini dia." Barseba menungguku di pohon raksasa, gerbang Citadel Hutan Hujan.
Aku bisa mendengar suara kera-kera yang memekik. Tunggu! Apa itu tadi? Sepertinya aku juga mendengar kerbau yang melenguh! Atau banteng?
Aku mengikuti Barseba dengan langkah ragu. Satu entak kaki sangat berat bagiku. Tinggi pohon-pohon di sekeliling luar biasa tingginya. Mungkin sekitar dua puluh meter? Tunjungan Plaza tentu kalah! Sinar matahari hanya mampu menyeruak seukuran jempol. Di sini aromanya... basah. Seperti namanya.
Aura makhluk hidup menguar pekat di sini. Beruntung aku tidak terbawa ke Citadel ini untuk pertama kali.
"Barseba, bagaimana kamu bisa yakin ada seorang cowok di sini?" bisikku.
"Aku pernah bertemu dengannya, kok." Jawabannya begitu mantap.
Aku hanya bisa mengerutkan kening, apakah aku bisa mempercayai gadis ini atau tidak. Entah kenapa rasanya anxiety-ku meningkat tajam, terlepas dari kesaksian Barseba. Di dalam Citadel ini, rasa seperti diawasi.
Tunggu apa itu tadi!
Kami terjerembap. Dengusan hangat menusuk kulit kami. Dari balik semak, seketika ada sesuatu yang mengejar kami!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro