🌔18
"Jangan percaya bahwa hanya ada satu cara menuju tujuan—kadang, jalan tersembunyi membawa kita lebih dekat pada kebenaran."
***
Senja menyelimuti Khatulistiwa dengan tenangnya yang semu, seolah menyembunyikan segala rahasia yang terukir di sekolah ini. Aku duduk di atas salah satu anak tangga di gerbang Rubanah, kaki menjuntai, sementara Midnight bersandar di dinding dengan mata birunya yang berkilat seperti lautan di bawah sinar mentari sore yang membias.
"Jadi... Vivi itu siapa sebenarnya?" Aku akhirnya bertanya, masih teringat tatapan dingin dan senyum meremehkan yang dia tunjukkan padaku tadi siang.
Midnight menghela napas pelan sebelum menjawab, "Vivi adalah salah satu siswa terkuat di Khatulistiwa. Dia menduduki peringkat dua."
Aku terdiam. "Peringkat dua? Lalu siapa yang nomor satu?"
"Tidak ada," Midnight menjawab singkat. "Atau lebih tepatnya, tidak ada yang tahu siapa peringkat satu."
Aku mengernyit. "Maksudmu?"
Midnight melangkah mendekat, lalu duduk di sampingku di atas rak. "Di Khatulistiwa, peringkat tidak sekadar angka. Itu adalah penanda kekuatan, pengaruh, dan juga... takdir seseorang. Vivi telah lama berada di peringkat dua, tapi peringkat satu tetap kosong. Tak pernah ada yang menduduki posisi itu. Beberapa percaya bahwa peringkat satu ada, hanya saja dia tidak pernah menunjukkan jati dirinya."
Aku merasakan bulu kudukku meremang. "Kenapa bisa begitu? Kalau memang ada, kenapa dia tidak muncul?"
Midnight menatap lurus ke depan, ekspresinya serius. "Karena keberadaannya sendiri adalah misteri. Seperti mitos yang terus hidup tanpa wujud nyata."
Aku menggigit bibir, mencoba mencerna informasi itu. "Lalu, Vivi? Kenapa dia bisa sekuat itu?"
Midnight tersenyum kecil, tapi bukan senyum yang menenangkan. "Vivi bukan sembarang siswa. Dia seorang Legenda."
Aku menegang. Kata itu—Legenda—aku pernah mendengarnya dari Hermes. Dia selalu menyebut dirinya sebagai Legenda. Tapi dari cara Midnight mengatakannya... rasanya berbeda.
"Apa maksudmu dengan Legenda? Hermes juga bilang kalau dia seorang Legenda," tanyaku hati-hati.
Midnight menoleh padaku, matanya menyipit. "Hermes bukan Legenda."
Jantungku seakan berhenti berdetak sesaat. "Tapi dia selalu bilang begitu!"
Midnight menggeleng pelan. "Dia ingin menjadi satu, tapi dia bukan. Legenda adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kecepatan atau kekuatan."
Aku masih sulit mencerna. "Lalu apa itu Legenda sebenarnya? Apa maksudmu Vivi adalah sebuah Legenda?"
Midnight menatapku dalam, seolah menimbang seberapa banyak yang bisa ia katakan padaku. "Legenda bukan hanya sekadar gelar. Legenda adalah wujud dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Vivi bukan hanya seorang siswa berbakat atau petarung kuat. Dia adalah rahmat sang Naga."
Aku nyaris menjatuhkan diri dari rak. "Naga?"
Midnight mengangguk. "Ada alasan kenapa Vivi berada di posisi itu, dan bukan Hermes. Kekuatan Vivi tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi dari entitas yang lebih besar. Ada sesuatu dalam dirinya yang lebih dari sekadar manusia. Itulah sebabnya dia disebut sebagai Legenda."
Aku menelan ludah. Dunia Khatulistiwa semakin terasa tidak masuk akal bagiku. Pertama, sekolah ini memiliki portal rahasia. Lalu, ada makhluk-makhluk yang bisa mengendalikan tanaman, hewan, bahkan cuaca. Sekarang, ada yang disebut sebagai Legenda, dan entah bagaimana, Vivi adalah salah satunya?
"Kalau Vivi begitu kuat, kenapa dia masih peringkat dua?" tanyaku, mencoba mencari celah dalam cerita Midnight.
Midnight mengangkat bahu. "Karena dia belum mengklaim posisi pertama. Atau mungkin, karena peringkat satu itu benar-benar ada, tapi memilih untuk tetap tersembunyi."
Aku menghembuskan napas panjang. "Dan Hermes? Kalau dia bukan Legenda, lalu kenapa dia bertingkah seperti itu?"
Midnight menghela napas panjang sebelum menjawab, "Karena dia ingin diakui. Hermes memiliki kecepatan yang luar biasa, sesuatu yang jarang dimiliki orang lain. Tapi itu tidak cukup untuk menjadikannya Legenda. Dia ingin lebih dari sekadar siswa berbakat. Dia ingin menjadi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri."
Aku menggigit bibir. Hermes... selalu begitu bangga dengan dirinya sendiri. Aku bisa mengerti jika dia ingin diakui, ingin dikenal, ingin dianggap lebih dari sekadar anak yang bisa berlari cepat. Tapi jika Midnight benar... maka itu berarti selama ini Hermes hanya berpura-pura.
"Hermes tidak tahu bahwa dia bukan Legenda?" tanyaku pelan.
Midnight menatapku lama sebelum menjawab, "Mungkin dia tahu, tapi dia memilih untuk tidak percaya."
Aku merasakan dadaku menghangat oleh sesuatu yang tidak bisa kujelaskan. Kasihan. Hermes ingin menjadi sesuatu yang lebih, tapi kenyataannya tidak mengizinkannya.
"Jadi... kalau Vivi benar-benar Legenda, seberapa kuat dia sebenarnya?" tanyaku akhirnya.
Midnight tersenyum tipis, tapi kali ini ada nada kehati-hatian dalam suaranya. "Kamu tidak ingin tahu, Quinsi. Kamu tidak ingin tahu." Midnight berdiri, mengajakku memulai perjalanan.
Langit Khatulistiwa dipenuhi awan tipis yang redup saat Midnight mengajakku melangkah ke lorong tersembunyi di bawah Rubanah. Tidak ada suara selain derap langkah kami yang bergema di dinding-dinding batu.
"Kita akan pergi ke Citadel ketiga: Air Terjun," kata Midnight santai.
Aku berhenti seketika. "Apa? Itu tidak mungkin! Citadel hanya bisa dilalui secara urut. Kita seharusnya ke Citadel Ketiga setelah melewati Citadel Kedua: Hutan Hujan."
Midnight menoleh dengan senyum tipis. "Itu kalau kamu mengikuti aturan yang semua orang patuhi. Tapi ada jalan lain."
Aku menatapnya curiga. "Kamu yakin? Ini tidak terdengar seperti sesuatu yang seharusnya kita lakukan."
Midnight tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju, tangannya menyusuri dinding batu yang dingin. Lalu, dengan satu dorongan halus, sebuah celah terbuka, memperlihatkan lorong gelap di baliknya.
"Ini jalan rahasia di antara dinding Rubanah," katanya, matanya berkilat dalam gelap. "Tempat tinggal para siswa Khatulistiwa menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang kamu bayangkan."
Aku menelan ludah. Ragu. Tapi juga penasaran.
"Kamu bisa tetap di sini jika takut, Quinsi," lanjut Midnight. "Atau kamu bisa ikut denganku dan melihat sesuatu yang tak pernah bisa dilihat oleh siswa biasa."
Ada tantangan dalam suaranya, dan itu cukup untuk membuatku menggerakkan kakiku ke depan. "Baiklah. Tunjukkan jalannya."
Midnight tersenyum sebelum melangkah masuk, dan aku mengikutinya ke dalam kegelapan yang penuh dengan misteri yang belum terungkap.
Kami berjalan melewati lorong sempit yang hanya diterangi cahaya remang dari kristal-kristal kecil di langit-langit. Suasananya sunyi, hanya ada gema langkah kaki kami. Udara di sini lebih dingin, seakan menyimpan rahasia berusia ratusan tahun.
"Sudah berapa lama jalan ini ada?" tanyaku sambil meraba dinding kasar di sampingku.
"Lebih lama dari yang kamu kira," jawab Midnight. "Tidak banyak yang tahu tentang lorong ini, bahkan para guru pun mengabaikannya. Mereka menganggapnya hanyalah bagian dari fondasi lama."
Aku merenung sejenak. Bagaimana bisa tempat sebesar ini tersembunyi dari semua orang? Dan kenapa Midnight begitu tahu banyak tentang hal-hal semacam ini?
Tiba-tiba, kami sampai di persimpangan dengan tiga jalur berbeda. Midnight berhenti, melihat sekeliling sejenak, lalu mengambil jalur kiri tanpa ragu.
"Apa yang ada di jalur lainnya?" tanyaku.
"Salah satu mengarah ke dapur rahasia, tempat beberapa siswa pintar menyelinap untuk mencuri makanan tengah malam," Midnight menjelaskan. "Yang lain menuju ruang penyimpanan artefak yang telah lama dikunci. Tapi kita tidak butuh keduanya sekarang."
Aku mengangguk dan terus mengikuti langkahnya. Semakin jauh kami berjalan, semakin terdengar suara air gemuruh dari kejauhan. Aku mulai merasakan hawa lembap di udara.
"Kita sudah dekat," bisik Midnight.
Aku bisa melihat secercah cahaya di depan. Midnight mempercepat langkahnya, dan aku mengikuti di belakangnya dengan jantung berdebar. Setelah beberapa meter lagi, kami tiba di ujung lorong—dan pemandangan yang terhampar di depanku membuatku ternganga.
Sebuah air terjun raksasa mengalir deras dari langit-langit gua, menciptakan pelangi yang berkilauan di bawah cahaya kristal. Di sisi lain air terjun, aku bisa melihat sebuah gerbang besar berornamen emas dan perak yang seakan mengambang di udara.
"Selamat datang di pintu masuk Citadel Air Terjun," kata Midnight dengan suara penuh keyakinan. "Sekarang, saatnya kamu melihat apa yang sebenarnya tersembunyi di sini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro