🌔16
"Kepercayaan itu rapuh—sekali retak, tak mudah kembali utuh. Dan di dalam kesunyian, kau akan tahu siapa yang benar-benar berpihak padamu."
***
Aku duduk di kursi kayu berukir, tanganku mencengkeram ujung celana. Rasanya seperti ada lubang di dalam perutku, kosong dan menganga, padahal aku baru selesai makan siang. Di seberang meja panjang, Profesor Xaviera menatap kami dengan sorot mata tajam, seperti burung elang mengawasi mangsanya dari langit. Di sampingku, Barseba menunduk, wajahnya lebih pucat dari biasanya. Alatas bersandar di kursinya, tetapi aku bisa melihat jari-jarinya mengetuk-ngetuk paha celananya—ritme gugup yang tidak sesuai dengan sikap malasnya.
"Kalian bertiga adalah orang terakhir yang melihat Hermes pada hari Minggu," kata Profesor Xaviera, suaranya dingin seperti angin di puncak gunung.
Aku menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungku yang terasa seperti genderang perang di telingaku. "Kami memang bertemu dengannya, Profesor," kataku akhirnya, suaraku terdengar jauh lebih lemah dari yang kuharapkan. "Tapi setelah itu kami berpisah. Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya."
Profesor Xaviera tidak segera menjawab. Matanya menelusuri wajah kami satu per satu, seakan bisa membaca pikiran kami dengan satu tatapan saja. Dia menekan kedua telapak tangannya ke atas meja, lalu menghela napas panjang. "Barseba, kamu yang pertama bertemu Hermes pada hari itu, bukan?"
Barseba mengangguk pelan. "Iya. Tapi tidak. Dia datang ke rumah kaca di Citadel Stepa. Aku tidak melihatnya ingin mengobrol, tapi dia kelihatan aneh. Gelisah. Seperti ada sesuatu yang mengganggunya."
Profesor Xaviera mengangkat alisnya. "Apakah dia mengatakan sesuatu yang mencurigakan?"
Barseba menggeleng, tetapi raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang berusaha mengingat sesuatu. "Aku hanya mendengar sama-samar gumamannya... dunia ini tidak seperti yang terlihat. Aku tidak mengerti maksudnya, dan sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, dia sudah pergi."
"Apa dia bilang mau ke mana?"
Barseba menggigit bibirnya. "Ke Hutan Hujan."
Aku melirik Alatas, yang sejak tadi tetap diam. Profesor Xaviera juga tampaknya menyadari hal itu, karena sekarang matanya tertuju padanya. "Alatas, Citadel Hutan Hujan adalah tempatmu, kan? Apa kau bertemu Hermes di sana?"
Alatas menegakkan punggungnya sedikit, tapi masih mempertahankan ekspresi datarnya. "Ya, dia datang mencari kuilnya sepertinya. Tapi yang pasti dia tidak mungkin mencariku."
Profesor Xaviera menyilangkan tangannya. "Dan?"
Alatas menghela napas, seakan lelah dengan semua ini. "Kami tidak bicara sebentar pun. Dia rasanya ingin bertanya apakah aku pernah merasa bahwa Khatulistiwa menyembunyikan sesuatu dari kita. Aku pikir itu cuma paranoia Hermes. Dia selalu suka membahas teori-teori aneh. Terutama kuil dan Legenda."
"Dan setelah itu?"
Alatas mengangkat bahu. "Aku tidak mempedulikannya. Aku punya urusan lain. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan setelah itu."
Profesor Xaviera mengamatinya dengan penuh perhatian, seakan mencari celah dalam ucapannya. "Jadi kamu meninggalkan Hermes sendirian di Citadel Hutan Hujan?"
"Ya."
"Apakah ada orang lain di sana?"
Alatas menggeleng. "Hari itu Hutan Hujan sepi."
Keheningan menggantung di ruangan seperti kabut tebal. Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Profesor Xaviera mengetuk meja dengan jarinya, suaranya bergema di ruangan.
"Kalian bertiga harus mengerti," katanya akhirnya, "bahwa kematian Hermes bukanlah kebetulan. Seseorang membunuhnya. Dan sejauh ini, tidak ada tersangka yang lebih kuat daripada kalian."
Aku merasakan dadaku mengencang. "Tapi—tapi kami tidak membunuhnya!" suaraku naik satu oktaf, terdengar putus asa.
Profesor Xaviera tidak terpengaruh. "Mungkin tidak. Tapi seseorang di antara kalian mungkin tahu lebih dari yang kalian katakan."
Aku melirik Barseba. Dia tampak ketakutan. Aku beralih ke Alatas, yang masih tampak santai, tapi aku bisa melihat rahangnya mengeras.
Aku menelan ludah. "Profesor... Anda tidak benar-benar mengira kami yang melakukannya, kan?"
Profesor Xaviera tidak menjawab. Dia hanya menatap kami lama, sebelum akhirnya berkata, "Kalian boleh pergi sekarang. Tapi kalian akan dikurung di Khatulistiwa. Kalian tidak boleh pergi ke Citadel. Jangan berpikir kalian bisa lari dari ini."
Aku berdiri lebih cepat daripada yang seharusnya, hampir menjatuhkan kursiku. Barseba juga segera bangkit, diikuti oleh Alatas. Tanpa berkata apa-apa lagi, kami meninggalkan kantor Profesor Xaviera.
Begitu kami keluar dari ruangan, aku menghela napas panjang, seolah baru saja lolos dari perangkap maut. Aku menoleh ke arah Alatas, yang berjalan dengan langkah panjang. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya.
"Ada yang mau kamu bilang, Alatas?" tanyaku, setengah berharap dia akan mengungkapkan sesuatu yang bisa membantu kami memahami apa yang terjadi.
Dia berhenti dan menatapku. Matanya tajam, penuh dengan sesuatu yang tidak bisa kugambarkan. "Aku tidak membunuh Hermes."
"Aku tidak bilang kamu membunuhnya."
"Tapi kamu berpikir begitu, kan?"
Aku membuka mulut untuk membantah, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Aku tidak tahu harus berkata apa. Hermes mati di Citadel Hutan Hujan. Tempat di mana Alatas biasa menghabiskan waktu. Profesor Xaviera tahu itu. Dan dia mencurigainya.
Tapi aku tidak ingin mempercayai bahwa salah satu dari kami adalah pembunuh.
"Aku tidak tahu siapa yang membunuhnya," kata Alatas akhirnya, suaranya lebih pelan kali ini. "Tapi aku tahu satu hal."
Aku menunggu, jantungku berdebar.
"Kalau Hermes benar, dan Khatulistiwa memang menyembunyikan sesuatu... maka kita harus mencari tahu sebelum kita jadi korban berikutnya." Alatas tiba-tiba melirikku. "Sebenarnya bisa saja kau, Quinsi."
Aku masih berdiri di lorong panjang setelah Alatas mengucapkan kata-kata itu. Jantungku berdebar keras di dalam dadaku. Aku ingin membantah, ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku kelu.
Alatas melangkah mendekat, sorot matanya penuh kecurigaan. "Quinsi, kita semua tahu sesuatu yang aneh terjadi di sini. Tapi yang paling mencurigakan adalah kau."
Aku menelan ludah. "Apa maksudmu?"
Barseba berdiri sedikit di belakangnya, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tapi aku bisa merasakan kegelisahannya. Dia tidak mencoba menghentikan Alatas, tidak seperti biasanya. Itu pertanda buruk.
"Kau anak baru di Khatulistiwa," lanjut Alatas. "Tidak ada yang tahu banyak tentangmu. Kau bahkan tidak pernah cerita apa kekuatanmu. Kita semua punya sesuatu, tapi kau? Kau seperti bayangan di antara kita."
Aku menggigit bibir. "Itu tidak berarti aku—"
"Bukan berarti apa?" potong Alatas tajam. "Bukan berarti kamu tidak menyembunyikan sesuatu? Hermes mati setelah berbicara dengan kita. Kamu satu-satunya yang tidak punya alibi yang jelas."
Aku menggeleng. "Aku tidak membunuhnya!"
"Tapi kamu juga tidak pernah menjelaskan apa pun tentang dirimu," ujar Barseba, suaranya lebih pelan, lebih hati-hati. "Bahkan setelah kita berbulan-bulan bersama di sini. Kami tahu Alatas bisa mengendalikan hewan. Aku bisa mengendalikan tanaman. Hermes punya kecepatan super. Tapi kamu? Kamu selalu menghindari topik itu."
Aku ingin berteriak bahwa aku tidak menyembunyikan apa pun. Bahwa aku juga bingung dengan semua ini. Tapi aku tahu, dalam kondisi sekarang, tidak ada yang akan percaya padaku.
Aku berdiri diam, menatap Barseba dan Alatas yang masih memandangku dengan sorot curiga. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Aku bahkan tidak bisa membela diriku sendiri dengan baik. Semua fakta yang ada justru memperburuk posisiku.
"Kami tidak akan mengambil risiko," kata Alatas akhirnya, langkahnya mundur, menjauh dariku. "Sampai kami tahu siapa kamu sebenarnya dan apa yang kamu sembunyikan, lebih baik kita menjaga jarak."
Aku ingin menghentikan mereka, ingin meminta mereka untuk percaya padaku. Tapi tubuhku tidak bergerak. Aku hanya bisa menyaksikan punggung mereka semakin menjauh dalam lorong yang gelap.
Aku sendirian.
Dan untuk pertama kalinya sejak aku datang ke Khatulistiwa, aku benar-benar merasa tersesat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro