🌔15
"Teruslah berhati-hati karena setiap orang memiliki waktu jatuhnya masing-masing."
***
Aku dan Barseba menyusuri jalan setapak menuju Citadel Hutan Hujan, tempat berkumpulnya para pelindung alam yang katanya menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang selama ini kami cari. Kami melangkah cepat, diiringi desir angin dan gemerisik dedaunan yang basah oleh embun pagi.
"Kamu yakin Hermes nggak masuk kelas pagi ini?" tanyaku, mencoba mengusir firasat buruk yang menggelayut sejak kami meninggalkan perkemahan.
Barseba mengangguk tanpa menoleh. "Aku sudah cek ke semua orang. Hermes nggak muncul sejak fajar." Nada suaranya mengandung kecemasan yang sama seperti yang kurasakan.
Hermes bukan tipe orang yang suka bolos, apalagi di kelas yang dia sendiri anggap penting. Dia adalah legenda Khatulistiwa, seseorang yang keberadaannya sulit diabaikan. Namun, ketidakhadirannya di kelas pagi ini terasa lebih dari sekadar kebetulan.
Kami menyeberangi sungai kecil dengan jembatan kayu yang sudah rapuh. Aku mencengkram tali selempang tasku erat-erat. Entah mengapa, hawa di hutan ini terasa lebih dingin dari biasanya. Barseba juga terlihat lebih gelisah dari pagi tadi, seolah-olah kami sedang berjalan menuju sesuatu yang tidak ingin kami temui.
"Kamu tahu," aku mencoba mengalihkan pikiran, "Hermes selalu berbicara tentang Citadel ini seperti tempat suci. Katanya, hanya mereka yang terpilih yang bisa masuk ke dalam lingkaran terdalamnya."
"Dan kamu masih percaya itu?" Barseba menoleh sekilas. Matanya menyipit menatapku. "Aku justru berpikir kalau Citadel ini menyimpan sesuatu yang lebih gelap dari sekadar tempat para pelindung alam berkumpul."
Aku membuka mulut untuk membantah, tetapi kalimatku terhenti saat kami tiba di gerbang batu besar yang setengah tertutup oleh akar pohon raksasa. Udara di sekitar kami terasa lebih berat. Sejenak, kami hanya saling berpandangan sebelum akhirnya Barseba mendorong gerbang itu perlahan.
Bau anyir langsung menyergap hidungku begitu kami melangkah masuk. Aku menutup mulut dengan punggung tangan sementara Barseba menghunus belatinya.
"Quinsi," suaranya rendah, hampir berbisik. "Lihat itu."
Aku mengikuti arah tatapannya, dan jantungku seakan berhenti berdetak.
Di tengah ruangan berbatu yang luas itu, tergeletak sesosok tubuh yang aku kenali dengan sangat baik. Hermes.
Darah menggenang di bawahnya, meresap ke celah-celah lantai batu. Cahaya redup dari celah langit-langit membiaskan warna merahnya menjadi lebih gelap. Tubuh Hermes kaku, matanya terbuka setengah, menatap ke langit-langit dengan ekspresi yang tak bisa kuartikan.
Aku tersentak mundur, paru-paruku terasa sesak.
"Tidak mungkin," gumamku.
Barseba bergerak lebih dulu. Ia berlutut di sisi tubuh Hermes dan memeriksa nadi di pergelangan tangannya. Hening beberapa detik sebelum akhirnya ia menatapku dengan ekspresi datar yang menutupi emosi yang bergolak di dalamnya.
"Dia sudah mati."
Aku jatuh terduduk, mataku masih menatap tubuh Hermes yang tak bergerak. Sosok yang selama ini menjadi legenda, kini terbujur kaku di hadapanku.
"Kita harus mencari tahu siapa yang melakukan ini," kataku, berusaha menekan ketakutan yang mulai merayapi tubuhku.
Barseba mengangguk. "Tapi kita harus hati-hati. Jika seseorang cukup kuat untuk menghabisi Hermes, kita mungkin dalam bahaya."
Kami memeriksa sekeliling ruangan, mencari petunjuk. Ada jejak darah yang menuju lorong sempit di sisi kanan. Barseba melirikku, lalu berjalan mendahului dengan belati siap di tangan.
Kami menyusuri lorong itu, langkah kami nyaris tak bersuara. Udara di sini lebih dingin, seakan ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan.
"Aku merasa kita diawasi," bisikku.
Barseba menegang, lalu berhenti. "Aku juga."
Tiba-tiba, terdengar suara gemerisik dari balik dinding batu. Aku menahan napas, sementara Barseba bersiap menghadapi apa pun yang mungkin muncul.
Dan saat itu juga, sosok bertudung muncul dari kegelapan. Matanya berkilat dalam cahaya remang-remang. Aku refleks mundur, jantungku berdebar kencang.
"Akhirnya kalian sampai juga," kata sosok itu, suaranya terdengar berat dan penuh misteri.
Aku dan Barseba saling bertukar pandang. "Siapa kamu?" tanyaku.
Sosok itu tersenyum samar. "Aku yang selama ini kalian cari."
Aku merasakan dingin menjalari tulang punggungku. Kami ke sini untuk mencari sosok misterius, dan sekarang dia berdiri di hadapan kami. Namun, jika dia ada di sini, apakah berarti dia ada hubungannya dengan kematian Hermes?
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Barseba, suaranya tajam.
Sosok itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah mendekat, dan saat itulah aku melihat sesuatu yang membuat darahku membeku—tangannya berlumuran darah.
"Jawab!" bentakku, tanganku refleks meraih senjata.
Sosok itu tertawa pelan. "Kalian akan tahu... jika kalian cukup berani untuk melangkah lebih jauh."
Lalu, sebelum kami sempat bereaksi, ruangan itu mendadak dipenuhi suara gemuruh. Dinding-dinding batu bergetar, dan lantai di bawah kami mulai retak.
Aku dan Barseba terpental ke belakang saat cahaya merah menyilaukan memenuhi ruangan.
Dan saat itu juga, aku tahu, kami baru saja memasuki sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari yang kami bayangkan.
Aku nyaris berlari mengejar sosok bertudung yang melesat ke dalam kegelapan lorong. Napasku memburu, dadaku terasa sesak oleh amarah dan ketakutan yang bercampur jadi satu. Sosok itu tahu sesuatu tentang kematian Hermes, dan aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.
Tapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, sebuah cahaya terang membanjiri ruangan. Angin berputar-putar, membentuk pusaran yang begitu kuat hingga aku harus menutupi wajahku dengan lengan. Barseba berpegangan pada dinding, matanya menyipit saat menatap ke arah sumber cahaya itu.
Dari dalam sinar yang menyilaukan, muncul sosok yang tidak asing bagiku—Profesor Xaviera.
Profesor Xaviera berdiri di tengah ruangan dengan jubahnya yang berkilauan, wajahnya penuh ketenangan meski situasi di sekelilingnya kacau balau. Dengan sekali ayunan tangannya, udara di sekitar kami menegang. Angin berembus deras, lalu mendadak berhenti, seolah seluruh hutan hujan menahan napas. Aku bisa merasakan kekuatannya melingkupi tempat ini.
"Apa yang terjadi di sini?" suaranya rendah, tetapi setiap kata yang ia ucapkan menggema dalam ruangan batu itu.
Aku masih terlalu terkejut untuk menjawab. Namun, Barseba segera mengambil alih. "Kami menemukan Hermes di sini... dia sudah mati."
Tatapan Profesor Xaviera turun ke tubuh Hermes yang terbujur kaku di tengah ruangan. Dengan gerakan lembut, ia mengangkat tangannya, dan awan mulai terbentuk di sekeliling mayat Hermes. Butiran embun menari di udara sebelum perlahan membentuk kepompong transparan yang mengangkat tubuh itu dari tanah.
Aku terpaku, menyaksikan bagaimana awan itu mengangkat Hermes dengan begitu lembut, seolah-olah membawanya ke tempat yang lebih damai. Tidak ada lagi genangan darah di lantai batu. Tidak ada lagi sisa-sisa horor yang baru saja kami saksikan.
"Kalian berdua ikut denganku," kata Profesor Xaviera, tatapannya tegas.
Aku ingin protes. Aku ingin mengatakan bahwa aku harus mengejar sosok bertudung itu. Tapi melihat bagaimana mata Profesor Xaviera menatapku—penuh otoritas, penuh peringatan—aku tahu tidak ada gunanya melawan. Dia sudah mengambil kendali penuh atas situasi ini.
Tanpa memberi kami kesempatan untuk menolak, Profesor Xaviera mengangkat tangannya lagi. Kali ini, angin berputar di sekitar kami. Aku merasakan tubuhku terangkat dari tanah, ringan seperti sehelai daun. Angin membawaku, membawa Barseba, membawa semua yang ada di ruangan itu menuju tempat yang tak bisa kutebak.
Saat aku membuka mata lagi, aku sudah berada di dalam kantor Profesor Xaviera.
Langit-langit ruangan itu tinggi, dihiasi dengan cahaya lembut yang seakan berasal dari ribuan kristal kecil yang melayang. Meja kayu besar berdiri megah di tengah ruangan, dipenuhi buku-buku tua dan gulungan peta. Di belakang meja itu, Profesor Xaviera berdiri dengan tangan disilangkan di dada, menatap kami dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Katakan semuanya padaku," katanya. "Dari awal."
Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering. Aku melirik Barseba, yang hanya mengangguk kecil seolah memberiku izin untuk berbicara lebih dulu.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berbicara. Dari awal perjalanan kami ke Citadel, firasat buruk tentang Hermes, mayat yang kami temukan, hingga kemunculan sosok bertudung itu. Aku menceritakan semuanya tanpa menyisakan satu detail pun.
Profesor Xaviera mendengarkan dengan seksama, tak sekalipun memotong ceritaku. Setelah aku selesai, ia terdiam sejenak, lalu berkata, "Kalian tahu siapa sosok itu?"
Aku menggeleng. "Tidak. Tapi dia jelas tahu sesuatu tentang kematian Hermes."
Barseba menyela. "Dan dia pergi begitu saja, tepat sebelum Anda datang."
Profesor Xaviera mengetuk-ketukkan jarinya di meja, matanya menerawang, seolah sedang menyusun kepingan-kepingan puzzle yang belum utuh. Lalu, ia menatap kami lagi.
"Mulai saat ini, kalian berdua berada dalam perlindungan penuh. Kalian tidak boleh bertindak sendiri. Aku akan menyelidiki ini lebih lanjut."
Aku menggigit bibir. Aku tidak suka perasaan ini. Aku tidak suka hanya duduk diam sementara jawaban yang kucari ada di luar sana.
"Tapi, Profesor—"
"Tidak ada tapi." Suara Xaviera memotong dengan tegas. "Kalian sudah melihat sendiri bagaimana berbahayanya situasi ini. Aku tidak bisa membiarkan kalian bertindak gegabah."
Aku mengepalkan tangan, merasa frustrasi. Tapi aku tahu tidak ada gunanya berdebat.
"Jadi... sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Barseba akhirnya.
Profesor Xaviera menarik napas panjang, lalu berkata, "Sekarang, kalian beristirahat. Nanti setelah makan siang, temui aku di sini. Tapi ingat satu hal—ini baru permulaan."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro