🌔13
"Mitos terbesar bukanlah yang kita percaya, tetapi yang tak pernah kita pertanyakan."
***
Malam itu, setelah Profesor Xaviera pergi, hujan turun rintik-rintik, menyelimuti Citadel dengan aroma tanah basah yang pekat. Aku menarik napas dalam, menatap pintu kayu tua yang berderit di hadapanku. Di baliknya, berbaris rak-rak tua yang penuh dengan buku berdebu, dan lilin-lilin yang setengah meleleh sebagai satu-satunya sumber penerangan. Inilah perpustakaan yang kutempati malam ini—tempat hukuman pertamaku sebagai penjaga.
Aku seorang anak kota yang lebih terbiasa berlari di antara toko pakaian daripada duduk diam di tempat berbau kertas. Mengapa aku di sini? Hukuman, tentu saja. Profesor Xaviera memaksaku menjalankan tugas penjaga perpustakaan semalam penuh karena pelanggaran kecil yang kuanggap tak seberapa—bolos dari sekolah yang sama sekali tak pernah kudaftari. Aku mengira tempat ini akan kosong, hanya dipenuhi oleh Barseba si kutu buku dan kelelawar yang berkeliaran di sudut langit-langit. Tapi ternyata, malam itu aku salah besar.
Lonceng kecil di pintu berdering, dan seseorang masuk. Aku menegakkan tubuh, siap mengejek siapapun yang datang untuk membaca di malam seperti ini. Tapi bukan Barseba yang muncul. Bukan juga kaum akademisi tua yang suka berkutat dengan naskah kuno.
Itu Alatas.
Aku menegang seketika.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" suaraku lebih tajam daripada yang kumaksudkan.
Alatas mendongak, matanya yang tajam menatapku penuh minat. Ia tinggi, dengan bahu yang lebar dan sikap angkuh yang tak pernah berubah. Jaketnya basah, dan aku bisa mencium bau hujan dari tubuhnya.
"Harusnya aku yang bertanya," katanya, melemparkan sekantong koin emas ke meja kayu di dekatku. "Aku pelanggan tetap di sini. Kau? Jelas bukan."
Aku melipat tangan di dada. "Hukuman. Aku harus berjaga semalam."
"Ah," Alatas mengangguk, seolah mengerti. "Cocok untukmu. Diam di satu tempat, meresapi ilmu."
Aku mendengus. "Bukan. Lebih seperti hukuman menyiksa diri."
Alatas terkekeh, lalu berjalan melewati rak-rak buku dengan langkah santai. Aku mengikutinya dengan mata, bertanya-tanya buku macam apa yang menarik perhatiannya. Aku tak pernah melihat Alatas tertarik pada sesuatu yang tidak berhubungan dengan pertarungan, strategi, atau perburuan hadiah.
Aku mengerutkan kening ketika melihatnya menarik satu buku besar dengan sampul kulit berwarna gelap. Ia membawanya ke meja dan duduk, membuka halaman-halamannya dengan hati-hati.
"Buku apa itu?" tanyaku, lebih karena penasaran daripada sungguh ingin tahu.
"Mitos dan Legenda Khatulistiwa," jawabnya tanpa mengangkat wajah. "Kisah tentang Hermes si legenda. Kau pasti tahu."
Aku mencibir. "Aku lebih suka melihat dunia nyata daripada membaca dongeng tentangnya."
Alatas tersenyum tipis, menutup bukunya sebentar. "Itu sebabnya kau tak pernah benar-benar memahami kekuatan. Kau mengira dunia hanya tentang apa yang bisa kau lihat dan sentuh. Tapi ilmu, Quinsi... Ilmu adalah senjata. Buku adalah senjata."
Aku mengernyit, merasa geli dengan pemikirannya. "Kamu terdengar seperti Barseba."
Alatas mengangkat bahu. "Barseba memahami sesuatu yang belum kau mengerti. Orang yang hanya mengandalkan insting dan otot akan kalah oleh orang yang memiliki ilmu dan strategi. Kau tahu kenapa Hermes menjadi Legenda? Karena ia menguasai semua itu. Bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga pengetahuan."
Aku terdiam. Hermes. Sosok yang namanya diucapkan dengan penuh kekaguman di seluruh penjuru hutan hujan. Aku tak pernah berpikir bahwa kekuatannya berasal dari lebih dari sekadar tubuhnya yang luar biasa.
Alatas kembali membuka bukunya, lalu melanjutkan dengan nada santai, "Aku dulu berpikir seperti kau. Mengira bahwa aku cukup dengan senjata di tanganku. Tapi ketika aku mulai membaca, aku sadar betapa banyak yang bisa dipelajari. Dunia ini terlalu luas untuk sekadar dijalani dengan insting belaka. Kau seharusnya mencoba."
Aku menatap rak-rak buku di sekelilingku. Selama ini aku menganggapnya tak lebih dari tumpukan kertas tanpa guna. Tapi kata-kata Alatas... entah kenapa terasa berbeda malam ini. Seolah ia menunjukkan pintu menuju sesuatu yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.
Aku mendengus, mencoba menyembunyikan kebimbangan yang mulai merayap di benakku. "Aku lebih suka aksi nyata."
Alatas tersenyum kecil. "Aksi nyata tanpa pemahaman hanyalah kebodohan yang menunggu kehancuran. Kau boleh tidak suka membaca, tapi setidaknya jangan remehkan ilmu."
Aku tidak membalasnya kali ini. Sebagai gantinya, aku menatap meja tempatnya membaca. Kata-kata dalam buku itu terasa seakan mengundangku. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar akan mencoba membacanya suatu saat nanti. Tapi satu hal yang pasti—malam itu, aku melihat perpustakaan dari sudut pandang yang berbeda.
Mungkin, hanya mungkin... tempat ini tidak seburuk yang kupikirkan.
Alatas akan membuktikannya. Kali ini, ia tidak membawa sekadar buku ke hadapanku, tetapi serangkaian dokumen, gulungan tua, dan sebuah ekspresi yang sulit diartikan. Mata tajamnya bersinar penuh tekad, berbeda dari biasanya.
"Kau harus mendengar ini, Quinsi," katanya langsung, tanpa basa-basi.
Aku meliriknya malas. "Apa lagi? Teori gilamu yang lain?"
Alatas duduk di seberangku, melemparkan gulungan peta ke atas meja. "Aku punya bukti. Hermes bukan Legenda. Atau lebih tepatnya, bukan seperti yang kita pikirkan."
Aku mendengus, tetapi tetap mengambil gulungan itu dan membukanya. Peta itu tua, dengan tinta yang mulai memudar. Beberapa titik penting ditandai dengan simbol aneh, dan beberapa lokasi yang seharusnya memiliki jejak Hermes malah kosong.
Alatas menunjuk satu bagian dengan jarinya. "Seharusnya, di sini ada kuil yang menyimpan senjata Hermes. Tapi ekspedisi terbaru membuktikan, tidak ada apa-apa di sana. Kuil itu bahkan tak pernah ada."
Aku menatapnya. "Mungkin sudah hancur seiring waktu. Bukankah itu masuk akal?"
Alatas menggeleng. "Tidak. Tidak ada puing, tidak ada catatan tentang kehancurannya. Bahkan dalam dokumen kuno pun, kuil ini disebutkan tapi tak pernah ada yang benar-benar melihatnya. Hanya cerita. Kau tahu apa artinya?"
Aku mulai tertarik, meski masih skeptis. "Bahwa orang-orang membesar-besarkan cerita?"
Alatas mengetuk pelipisnya dengan jarinya. "Atau bahwa cerita itu sengaja diciptakan. Hermes bukan legenda yang muncul secara alami. Ada yang membentuk mitos ini, menyebarkannya, memastikan semua orang percaya tanpa mempertanyakannya."
Aku terdiam sejenak, memproses kata-katanya. "Dan kamu berpikir... Hermes sebenarnya tidak pernah ada?"
Alatas menyeringai, tetapi bukan dengan ekspresi puas. Lebih seperti seseorang yang baru saja membuka lembaran rahasia gelap. "Bukan tidak pernah ada. Aku pikir Hermes adalah sosok yang dibuat untuk alasan tertentu. Entah untuk menutupi sesuatu... atau untuk menanamkan sesuatu di benak kita semua."
Aku merasakan bulu kudukku berdiri. Ada sesuatu yang mengerikan dalam kesimpulan itu. "Kamu punya bukti lain?"
Alatas mengeluarkan sebuah manuskrip, halaman-halamannya rapuh dan kekuningan. "Ini berasal dari sumber yang lebih tua dari catatan mana pun yang kita punya. Bacalah."
Aku mulai membaca. Kata-katanya berbeda dari yang biasa kudengar tentang Hermes. Tidak ada kisah kepahlawanan luar biasa. Tidak ada keajaiban. Sebaliknya, yang tertulis di sini adalah catatan seorang pemimpin militer yang menyebutkan 'sosok yang diciptakan untuk membakar semangat perang' di antara rakyatnya.
Aku menatap Alatas dengan mata membelalak. "Kamu bilang... Hermes adalah propaganda?"
Alatas mengangguk pelan. "Sebuah konsep yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat. Jika orang-orang percaya pada pahlawan legendaris yang sempurna, mereka akan selalu berharap ada yang menyelamatkan mereka, bukan? Mereka akan patuh, berharap, dan mengikuti narasi yang dibuat oleh para penguasa. Hermes bukanlah manusia dengan kekuatan luar biasa. Dia adalah gagasan, diciptakan oleh mereka yang ingin mengendalikan dunia."
Aku menelan ludah. Ini bukan sekadar teori liar. Jika yang dikatakan Alatas benar... maka seluruh pemahaman kita tentang sejarah telah dimanipulasi.
Aku menatapnya lekat-lekat. "Jika ini benar, siapa yang bertanggung jawab menciptakan mitos Hermes? Dan apa tujuan mereka sebenarnya?"
Alatas menghela napas, ekspresinya lebih serius dari sebelumnya. "Itulah yang akan kita cari tahu, Quinsi. Dan aku yakin... jawabannya jauh lebih berbahaya dari yang kita bayangkan."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro