🌔11
"Kadang-kadang, perjalanan terbesar bukanlah melangkah ke depan, tetapi terseret ke dalam takdir yang tidak pernah kita pilih. Dan di sanalah keajaiban sejati menanti."
***
Sudah kuputuskan aku akan kembali ke Khatulistiwa. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku pergi dulu ke Tunjungan Plaza.
Kali ini aku membawa persiapan. Kukemasi barang-barangku dalam ransel besar seperti pendaki gunung, lalu tepat setelah magrib, aku sampai ke tujuanku. Portal ke dunia lain itu sudah tampak di mataku.
Jantungku berdegup kencang. Aku baru saja melangkahkan kaki ke arah air mancur di tengah Tunjungan Plaza ketika dunia di sekelilingku bergetar. Rasanya seperti ada gelombang tak kasatmata yang menghantam tubuhku, memaksaku berhenti di tengah keramaian. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap berdiri tegak, tetapi dalam sekejap semuanya berubah.
Duniaku terpecah.
Aku tidak lagi berada di pusat kota Surabaya. Sebaliknya, aku berdiri di atas angkasa yang menghadap ke Citadel Hutan Hujan. Udara di sini lembab, dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan segar. Di bawah sana, di antara akar-akar pohon raksasa yang menjulang tinggi, aku melihat sosok Hermes.
Legenda Khatulistiwa.
Dia tampak seperti kilatan cahaya perak di antara kabut. Rambutnya berkilauan seperti petir yang terperangkap di siang hari, tubuhnya bersandar pada satu lutut, napasnya memburu. Hermes bukan tipe yang mudah lelah, tetapi kali ini aku bisa melihatnya benar-benar terdesak.
Seseorang berdiri beberapa langkah di depannya. Sosok itu berpakaian serba hitam, seolah bayangan telah mengambil bentuk manusia. Aku tidak bisa melihat wajahnya—hanya sepasang mata yang bersinar samar di balik tudungnya. Ada sesuatu yang sangat berbahaya dari pembunuh ini.
"Kau sudah cukup berlari, Hermes."
Suaranya tenang, hampir seperti bisikan angin di antara dedaunan. Aku merasa ada ancaman yang tertanam dalam setiap kata-katanya. Hermes mencoba bangkit, tangannya meraba-raba luka di sisi perutnya. Aku bisa melihat darah mengalir di sela-sela jari-jarinya. Bahkan dengan kecepatannya yang luar biasa, dia tetap tidak bisa menghindari semua serangan.
"Aku tidak tahu siapa kau," kata Hermes dengan suara serak, "tapi kau tidak bisa membunuh Legenda."
Pembunuh itu tidak bergerak untuk beberapa saat. Lalu, suara tawa pelan keluar dari balik tudungnya. Bukan tawa yang hangat atau ramah—ini adalah tawa seseorang yang sudah kehilangan kesabaran.
"Legenda?" suara itu bergema, seakan mengejek. "Hermes, kau berbohong. Kau bukan Legenda. Kau hanya seorang lelaki dengan kecepatan yang luar biasa."
Hermes tersentak.
Aku bisa merasakan ketegangan dalam tubuhnya, meskipun aku hanya pengamat dalam penglihatan ini. Pembunuh itu tahu. Dia tahu kebenaran yang selama ini hanya sedikit orang ketahui: Hermes bukanlah legenda. Dia bukan makhluk mitos dengan kekuatan tak terbatas. Dia hanyalah manusia yang melampaui batasannya. Dan itu, bagi pembunuh ini, tidak cukup.
Hermes bangkit dengan sisa tenaganya dan mencoba berlari. Kilatan perak itu melesat ke arah pepohonan, menembus rimbunnya dedaunan, berusaha menjauh. Tapi kali ini, sang pembunuh sudah siap.
Dalam sekejap, udara di sekitar mereka berubah. Aku tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi, tetapi aku bisa merasakannya—seolah-olah gravitasi di tempat itu berubah drastis. Hermes terpeleset di udara, tubuhnya terlempar ke tanah. Dia berusaha bangkit, tetapi kali ini pembunuh itu tidak memberinya kesempatan.
Sebuah pedang hitam muncul dari balik jubah pembunuh itu, tajam dan berkilauan seperti iblis yang baru saja dilepaskan dari kegelapan.
"Aku membunuh Legenda," suara itu berbisik lagi. "Tapi kau? Kau hanya manusia yang berusaha menjadi Legenda."
Sebelum Hermes sempat melawan, pedang itu menembus dadanya.
Aku ingin berteriak, tetapi suaraku tertahan di tenggorokan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan Hermes—sosok yang tak terkalahkan, yang selalu berada selangkah lebih cepat dari kematian—tumbang di tanah basah hutan hujan.
Darah mengalir di antara akar-akar pohon. Mata Hermes membelalak, penuh keterkejutan dan amarah. Lalu, dalam hitungan detik, kilau di matanya memudar. Nafasnya berhenti. Tubuhnya tak lagi bergerak.
Pembunuh itu berdiri di atasnya, mengamati mayat Hermes seperti seorang seniman yang baru saja menyelesaikan mahakaryanya. Lalu, tanpa suara, dia menghilang ke dalam kegelapan.
Dan aku kembali ke dunia nyata.
Aku terhuyung ke belakang, terengah-engah seolah baru saja menyaksikan kematian seseorang di hadapanku. Suara gemericik air mancur Tunjungan Plaza mengisi telingaku, bercampur dengan keramaian orang-orang yang berlalu lalang tanpa menyadari apa yang baru saja terjadi dalam kepalaku.
Aku tidak bisa mengabaikan perasaan dingin yang menjalar di punggungku. Hermes telah mati. Legenda Khatulistiwa telah dibunuh. Dan aku adalah satu-satunya yang melihatnya terjadi.
Aku harus menemukan Barseba. Aku harus memberitahu Alatas.
Sebab jika Hermes bisa dibunuh, maka tak ada satu pun dari kami yang aman.
Tapi ketika aku hendak berbalik, sesuatu terjadi.
Angin berputar di sekelilingku. Orang-orang di sekitar tampak tidak menyadari apapun, seolah aku telah berada dalam gelembung realitas yang terpisah. Permukaan air mancur mulai berkilauan dengan warna yang tidak biasa—biru, ungu, dan emas, berpendar seperti cermin yang merefleksikan sesuatu dari dunia lain. Naluriku berteriak untuk menjauh, tetapi sebelum aku sempat melangkah mundur, sesuatu yang tak terlihat menarikku.
Dunia di sekitarku terhisap, gravitasi berubah, dan aku terseret masuk ke dalam pusaran yang terbentuk di atas air mancur. Tubuhku berputar, melayang dalam kehampaan yang asing. Tidak ada suara. Tidak ada udara. Hanya gelombang warna yang melesat di sekelilingku, seperti lorong waktu yang terbuat dari serpihan cahaya.
Aku menutup mata sejenak, berharap ini hanya mimpi buruk. Tetapi ketika aku membukanya kembali, aku telah berada di tempat lain.
Citadel Stepa.
Aku berdiri di atas tanah yang terasa hangat, seperti padang rumput yang menyerap sinar matahari sepanjang hari. Langit di atasku bukan langit yang pernah kulihat sebelumnya. Malam di Khatulistiwa terbentang luas di cakrawala, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyaksikan hamparan bintang yang begitu nyata. Milky Way melintang seperti sungai cahaya di antara lautan bintang yang tak terhitung jumlahnya.
Jantungku berdegup kencang. Aku mengedarkan pandangan, mengagumi keindahan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Tapi keajaiban malam ini tidak berhenti di situ.
Aurora muncul dari kejauhan, menari-nari di angkasa dalam sapuan hijau, ungu, dan biru yang berpendar seperti tirai cahaya hidup. Rasanya seperti melihat lukisan dewa yang bergerak sendiri, melukis langit dengan pancaran mistis yang menenangkan sekaligus menggugah. Awan-awan di atas sana pun bukan seperti awan yang kukenal—mereka berwarna biru neon, berkilauan dalam gelombang yang menggulung perlahan seperti pola batik raksasa yang terus berubah bentuk.
Aku berdiri terpaku, merasa kecil di hadapan keagungan semesta ini. Tapi kemudian sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.
Dari atas awan, sesosok manusia turun.
Awalnya aku mengira itu hanya bayanganku saja, tetapi semakin lama sosok itu semakin jelas. Seseorang melayang turun dengan tenang, tubuhnya menyatu dengan cahaya yang bersinar redup di sekelilingnya. Rambutnya panjang, berkilauan seperti serat perak yang menyerap cahaya dari aurora di atas. Jubah yang dikenakannya berkibar, seolah tidak terpengaruh oleh gravitasi, dan matanya... matanya memancarkan ketenangan yang menembus hingga ke dalam jiwaku.
Aku tak bisa berkata-kata. Siapa dia? Kenapa dia turun dari atas awan? Dan yang lebih penting—kenapa aku dibawa ke sini tanpa ritual yang dilakukan Midnight?
Sosok itu berhenti melayang, lalu perlahan menginjak tanah. Ia berdiri hanya beberapa meter dariku, dan saat bibirnya terbuka untuk berbicara, aku tahu bahwa hidupku tidak akan pernah sama lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro