Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌕1

"Beberapa hal seperti bulan—terikat oleh gravitasi, selalu kembali meski menjauh. Tapi tidak semua hal bekerja seperti itu. Ada yang pergi tanpa janji untuk kembali."

***

Aku selalu menganggap Kak Isaac bagai purnama ganjil yang menggantung di sore hari.

Dia sosok yang misterius.

Sejak pertama kali melihatnya di koridor sekolah, aku tahu ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda dari siswa lainnya. Bukan hanya karena dia kakak kelasku, atau dia pemiilik rumah yang keluargaku sewa, atau karena dia dikenal sebagai jenius di bidang fisika dan matematika, tapi ada aura yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentangnya.

Jadi, ketika dia tiba-tiba mengundangku ke rumahnya sore ini untuk minum kopi bersama di halaman belakang, aku terkejut. Kami sudah bukan teman dekat lagi sejak aku student exchange ke US selama dua tahun. Kini kami bahkan nyaris tak pernah berbicara di sekolah kecuali beberapa kali ketika aku meminjam catatannya. Namun, ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku sulit menolak. Mungkin rasa penasaran, atau mungkin karena aku sendiri selalu ingin tahu bagaimana kehidupan seorang Isaac di luar sekolah.

Dia kuanggap seperti kakakku sendiri... atau lebih.

Saat aku tiba di rumahnya, matahari mulai condong ke barat. Tapi anehnya purnama raksasa sudah menyapa di angkasa. Cahaya keemasan menyelinap di antara dahan-dahan pohon di halaman belakangnya yang luas. Tempat itu terasa tenang, jauh dari kebisingan jalan raya dan hiruk-pikuk sekolah. Sebuah meja kayu kecil berdiri di tengah halaman, dua cangkir kopi sudah tersaji di atasnya.

Kak Isaac tersenyum tipis saat melihatku datang. "Aku tidak tahu apakah kamu suka kopi, tapi kupikir senja akan lebih indah jika ditemani secangkir kopi yang hangat."

Aku mengangguk dan duduk di kursi kayu di seberangnya "Don't get me wrong, Kak Isaac. Seleraku terhadap kopi netral. You know what... aku nggak terlalu sering minum kopi, tapi aku suka aromanya."

Dia hanya tersenyum dan mendorong cangkir ke arahku. "Cobalah. Ini spesial."

Aku mengangkat cangkir itu, mencium aromanya yang kuat, lalu menyesapnya perlahan. Rasanya pahit, namun ada sedikit manis di ujung lidahku. Aku menatap Kak Isaac yang menyesap kopinya dengan santai, matanya menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga.

"Aku selalu suka senja," katanya tiba-tiba. "Ada sesuatu tentangnya yang terasa seperti perpisahan, tapi juga janji untuk bertemu kembali."

Aku mengangguk, menikmati kehangatan kopi yang mengalir di tenggorokanku. "Seperti akhir dan awal dalam satu waktu."

Isaac tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu di matanya yang sulit kuartikan. Aku merasa kepalaku mulai sedikit berat, seperti ada kabut yang perlahan menyelimuti kesadaranku. Aku mengerjap, mencoba tetap fokus, tapi dunia di sekitarku mulai terasa lebih lambat.

"Isaac... kopinya..." Suaraku terdengar jauh dan bergetar.

Dia menatapku dengan ekspresi yang tetap tenang. "Maaf, Quinsi. Aku tak punya pilihan lain."

Aku ingin bertanya apa maksudnya, ingin berdiri dan meninggalkan tempat itu, tapi tubuhku menolak untuk bekerja sama. Pandanganku semakin buram, dan sebelum aku bisa melawan, semuanya menjadi gelap.

.

.

.






Di mana aku?

Mengapa aku mengenakan gaun strawberry? Bukankah baju ini sudah kekecilan ketika aku SD? Oh... apa ini mimpi?

Aku masih kecil, duduk di sebuah ayunan bersama Kak Isaac. Aku lupa di mana ini. Sepertinya di taman kecil, di dalam mall dekat rumah kami. Dia mendorong ayunanku pelan, sementara aku menendang-nendang udara dengan kaki kecilku. Matahari sore menyinari kami dengan cahaya keemasan yang lembut.

Lalu ada bulan purnama raksasa di atas langit.

"Quinsi, kamu tahu tentang purnama raksasa?" Kak Isaac bertanya tiba-tiba, suaranya penuh semangat khas anak-anak.

Aku menggeleng. "Apa itu, Kak?"

"Itu bulan yang terlihat lebih besar dari biasanya. Kadang, kalau kita beruntung, kita bisa melihatnya saat sore hari, tepat setelah matahari terbenam. Itu terjadi karena bulan berada di dekat perihelium, titik terdekat orbitnya dengan Matahari."

Aku mengangguk pelan, berusaha memahami kata-kata rumit yang dia ucapkan. "Kalau begitu... kalau bulan ada di titik terjauh, bisa saja dia lepas, kan?"

Kak Isaac tertawa kecil. "Aphelion, ya? Tidak, bulan tidak akan lepas. Gravitasi masih menahannya."

Tapi aku tetap cemas. Aku menoleh ke arahnya, mengayunkan kakiku dengan gelisah. "Tapi bagaimana kalau suatu hari bulan benar-benar pergi? Kita tak akan punya cahaya di malam hari."

Kak Isaac menenangkan ayunannya, lalu menatapku dengan serius. "Jangan khawatir. Bulan tidak akan pergi. Begitulah hukum alam bekerja."

Aku ingin percaya padanya, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang ragu. Seolah-olah dia tahu bahwa ada hal-hal yang tidak selalu bisa kita pastikan.

"Tapi aku tidak yakin kalau kita bisa dianalogikan dengan bulan," katanya pelan.

Aku tidak mengerti maksudnya saat itu. Aku hanya tahu bahwa Kak Isaac selalu punya cara untuk membuatku merasa tenang, bahkan saat dia sendiri tidak sepenuhnya yakin.

Dia hanya tersenyum, tidak tertawa. Lalu semuanya buram.

.

.

.








Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan, tapi ketika aku membuka mata, langit sudah jauh lebih gelap, hampir malam sepenuhnya. Aku masih duduk di kursi yang sama, tapi tubuhku terasa lemas, seolah tenaga telah disedot keluar dariku. Aku mengerang pelan dan mencoba menggerakkan jari-jariku.

Rumah Kak Isaac sunyi. Lampu-lampu di dalamnya sudah mati, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar. Aku memaksa diriku untuk berdiri, meskipun lututku masih terasa goyah. Aku meraih ponsel di saku rokku, tangan gemetar saat menyalakannya. Pukul 23.45.

Aku melangkah ke pintu belakang rumah Kak Isaac dan mengetuknya. Tidak ada jawaban. Aku mencoba mendorongnya, dan pintunya terbuka begitu saja. Jantungku berdebar saat aku melangkah masuk. Rumah itu terasa kosong, hening, dan... berbeda.

Semua perabotan hilang.

Aku berjalan ke ruang tamu. Rak-rak buku yang biasa penuh dengan jurnal dan catatan Kak Isaac kini kosong. Meja belajarnya tak lagi ada. Bahkan kursi favoritnya pun menghilang. Rumah itu seperti ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa, tapi dengan cara yang begitu rapi, seolah semuanya sudah direncanakan jauh sebelumnya.

Aku berlari ke lantai atas, ke kamar yang kutahu adalah miliknya. Pintu terbuka, dan ruangan itu juga sama kosongnya. Satu-satunya yang tersisa hanyalah sebuah amplop putih di lantai, tepat di tengah ruangan.

Dengan tangan gemetar, aku mengambil amplop itu dan membukanya.

"Quinsi,

Maafkan aku karena harus melakukan ini. Aku tahu kau pasti merasa marah dan bingung, tapi aku tidak punya banyak pilihan. Aku harus pergi malam ini, dan aku tidak bisa membiarkan siapa pun melihat atau mengetahui kepindahanku. Itu sebabnya aku memberimu sedikit bantuan agar kau tidak menyadari semuanya sampai aku sudah benar-benar pergi.

Terima kasih telah datang sore ini. Aku ingin menghabiskan waktu dengan seseorang yang bisa memahami keindahan senja sebelum aku pergi.

Jangan mencariku. Aku harap kau bisa melupakan kejadian ini dan melanjutkan hidupmu seperti biasa.

Isaac."

Tanganku mencengkeram surat itu erat-erat. Dadaku terasa sesak. Apa maksudnya dengan "harus pergi"? Kenapa dia melakukannya dengan cara seperti ini? Dan yang lebih penting, ke mana dia pergi?

Aku berlari keluar rumah, mencari tanda-tanda ke mana dia bisa pergi, tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada mobil yang terparkir di luar, tidak ada jejak keberadaan Kak Isaac sama sekali.

Seolah-olah dia menghilang dari dunia ini begitu saja.

Aku berdiri di sana, di bawah langit malam yang gelap, masih mencengkeram surat itu. Kopi yang tadi terasa hangat di tenggorokanku kini terasa seperti racun yang membuatku lemas.

Kak Isaac telah pergi. Dan aku tidak tahu apakah aku akan pernah melihatnya lagi.

***

Chapter's note:

Quinsi & Isaac

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro