Bab Tigapuluh Delapan
Lagi dan lagi, rumah Abu menjadi destinasi terakhir mereka. Meski dalam hati, mereka merasa tidak enak luar biasa, terutama pada keluarga Abu ketika mereka hendak menginap. Orang tua mereka masing-masing pun sebenarnya juga melarang. Namun alasan yang mereka sertai membuat orang tua mereka akhirnya mengiyakan.
Dan di sinilah mereka sekarang berada. Duduk lesehan di atas karpet di kamar, Abu. Mereka yang baru saja datang dari sekolah, langsung saja memutuskan untuk bermain permainan sejak kecil mereka. Monopoli. Permainan yang Abu temukan beberapa saat lalu ketika sedang membereskan gudang.
Sejauh ini, Lutfi berada di posisi paling unggul. Dengan uang yang dimilikinya, juga beberapa rumah maupun hotel yang sempat ia beli. Lutfi tertawa puas ketika muka masam Red terpasang di wajahnya. Lagi dan lagi, Red harus masuk penjara.
Hingga beberapa saat kemudian, Lutfi berhasil memenangkan permainan. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menyimpan permainan itu dan kembali berdiskusi tentang pesan misterius. Pesan yang belakangan ini sudah mulai jarang muncul.
Abu menghela napas. Di kepalanya, banyak sekali dugaan-dugaan. Namun sayang, ia tak bisa menyerukan dugaannya pada sang teman. Ia masih ragu, dan belum yakin.
Red yang pertama kali menyadari ada yang aneh dengan Abu. Ia menyenggol bahu Tito dengan bahunya. Diperlakukan demikian, sontak membuat Tito menatap tajam Red. Bertanya dari sorot matanya yang menajam. Red pun hanya bisa menunjuk posisi Abu dengan menggunakan dagu. Meski sesaat bingung, Tito bisa menangkap maksud dari Red.
Cowok itu bangkit dari duduknya. Melangkah perlahan menuju posisi Abu. Setelah duduk di samping Abu, Tito mulai bertanya.
"Lo kenapa? Aneh banget malem ini."
Ya, sebenarnya Tito juga menyadari ada yang aneh dari Abu. Cowok itu lebih banyak melamun dan terlihat tak bersemangat. Terlihat dari saat memainkan monopoli tadi.
"Gue bingung, To."
Tito mengernyit, tak mengerti. "Bingung?"
"Gue jelasin bareng sama yang lain."
Tito mengangguk. Kembali bangkit dan bergabung dengan yang lain. Diikuti oleh Abu di belakangnya.
Setelah duduk dengan nyaman, mereka semua terdiam. Yang semula sibuk berbicara, ada juga yang sibuk dengan ponsel, kini mereka semua diam membisu sembari menatap Abu. Mereka paham, situasinya mulai serius.
"Gue nemu sesuatu. Udah lama sih. Tapi maaf, gue baru ngasih tau kalian. Selain lupa, gue juga enggak yakin sama apa yang gue temui." Abu mengeluarkan ponselnya. Menunjukkam sebuah foto. "Ini foto yang gue ambil waktu kita dipanggil ke aula untuk yang kedua kali."
Semuanya mendekat. Ingin melihat apa yang Abu dapatkan. Sebuah foto yang memperlihatkan ekspresi Pak Efendi juga sesuatu di tangannya. Sebuah kertas dengan terdapat warna merah di sudutnya juga hampir di seluruh bagiannya. Darah?
Seolah sedang memikirkan hal yang sama. Mereka saling berpandangan. Dan suara Abu membuat mereka kembali bungkam.
"Gue rasa itu kertas, kertas yang dipegang alm Afi. Kertasnya mirip banget. Masalahnya, itu kertas masih ada di gue." Abu beranjak, mencari sesuatu di meja belajarnya. Setelah menemukannya, Abu menunjukkannya kepada mereka.
"Aneh, ya. Gue mikir, Pak Efendi juga dapet kertas kayak gitu. Tapi bukan dari Afi. Bisa jadi itu kertas dia dapet dari seseorang yang mencurigakan? Yang dia takutkan misalnya. Karena ekspresi dia juga menandakan kalau dia sedang cemas, takut," ujar Tito.
"Jadi maksud lo Pak Efendi bukan pelakunya? Padahal banyak bukti yang mengarah ke dia." Andre jelas tidak setuju.
"Enggak. Bukan kayak gitu. Gue juga sebenernya agak curiga. Tapi sekali lagi, kita belum punya banyak bukti. Yang berarti kita nggak bisa main tuduh gitu aja." Abu mengangguk, setuju apa yang dikatakan oleh Tito.
"Gue setu--" Ucapan Abu terpotong.
"Abu, ini ada paket, kayaknya buat kamu." Ibu Abu tiba-tiba datang, membawa sebuah paket berukuran cukup besar.
Abu bangkit, menerima paket itu sekaligus mendengarkan ceramah singkat ibunya yang menyuruh mereka untuk tidak tidur larut malam.
Bersambung...
300119
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro