Bab Empatpuluh Tujuh
Mereka berkumpul di rumah Abu sesaat. Tidak lagi bertujuan untuk menginap. Mereka lagi-lagi membahas hal ini. Tentang sesuatu yang baru saja mereka simpulkan. Bahwa semua ini berhubungan dengan SMK Tanjung itu. Namun hingga saat ini, mereka belum bisa menemukan titik terang.
Hanya terpaku pada SMK itu. Rasa bingung masih menguasai mereka. Hingga sebuah ketukan di pintu kamar Abu, membuat mereka terhenti. Kakak Abu datang dengan membawa sebuah amplop.
"Amplop apa, Bang?" tanya Red.
"Ini dari teman kalian yang baru aja meninggal. Polisi nemuin ini, baru saja diantar ke sini. Tapi kabar buruknya, polisi masih belum bisa nemu pelaku," ujar Andrian panjang lebar.
"Enggak pa-pa, Kak. Ini aja udah cukup buat kami."
Kakak Abu mengangguk sekali, kemudian pamit untuk keluar. Pamit yang sebenarnya tak benar-benar pamit. Andrian masih ada di sana. Meluruhkan badan tepat di depan pintu kamar sang adik. Sungguh, Andrian ingin sekali memberitahu mereka sekarang. Namun sepertinya waktu belum tepat. Ia juga ingin mendengar sesuatu dari teman mereka itu.
Sedangkan di dalam, Abu masih sibuk membolak-balikkan amplop itu di saat yang lain mendesaknya untuk segera membuka. Beberapa menit kemudian, Abu bersedia membukanya. Mereka harap, ini merupakan petunjuk dari semuanya.
Mereka semua pun mengira jika Andre dan Lutfi dibunuh karena pelaku merasa ia sudah tak lagi aman. Abu maupun Red dan Tito merasa bahwa mereka berdua menemukan sesuatu, mereka ingin bilang tapi takut. Hingga akhirnya pelaku kembali berbuat nekat. Hal yang sama Abu pikirkan pada kasus penemuan mayat tadi siang.
Abu membuka amplop itu. Bau khas Andre menguar. Mereka yakin, Andrelah yang menulis semua ini.
"Gue enggak tahu harus ngomong gimana sama kalian. Gue juga nggak tahu apakah gue bisa hidup lebih lama atau nggak. Karena kita tahu, nyawa kita terancam ketika tahu jawaban dari semua ini." Abu menghela napas pelan. Ia membacanya perlahan. Menghalau sesak yang membuatnya merasa berat untuk sekedar membaca.
"Sebelumnya gue sama Lutfi minta maaf. Kalau-kalau kita pernah buat salah sama kalian, pernah bikin kesel. Pernah jadi pemicu Tito selalu marah. Maafin kita.
"Gue tau kalian pasti penasaran ketika gue sama Lutfi kembali ke kelas. Kita nemuin sesuatu yang pastinya nggak bakal kalian kira. Kita nemu bukti itu, Bu, Red, To. Kita nemu. Pelakunya jelas kehilatan. Pelakunya ada di dekat kita. Dan dari sini, gue mau cerita.
"Gue sama Lutfi waktu itu ke toilet. Gue serius. Nggak lagi bercanda. Di tengah jalan gue liat seseorang, gerakannya mencurigakan. Kita yang pada saat itu iseng, ngikutin dia sampe akhirnya dia ada di dekat gudang. Dia kelihatan aneh banget waktu itu. Gue sama Lutfi nguping dan kalian tau apa yang terjadi selanjutnya?
"Jelas gue terkejut. Ini benar-benar luar biasa. Gue enggak pernah nyangka kalau ternyata pelaku yang selama ini kita tuduh, menjadikannya kanditat pelaku, ternyata salah besar. Kita salah. Sialnya waktu itu, gue nginjek kaki si Lutfi sampe dia teriak. Pada akhirnya, kami tertangkap basah menguping. Sesuai dugaan gue, dia kayaknya punya kelainan mental, atau apalah itu. Dia ketawa keras sambil nunjuk-nunjuk kita, bilang kalau mulai detik ini, nyawa gue dan Lutfi terancam.
"Gue takut, tentu saja. Kita sama-sama takut. Makanya kita bertingkah aneh. Kita tau kalau mulai detik itu, nyawa kita terancam. Kita udah diawasi seolah sedang dijaga ketat. Dan pada saat itu gue juga Lutfi sepakat buat ngasih tau kalian semua tentang siapa pelaku sebenarnya dengan surat ini. Semoga nyampe ke kalian.
"Dan gue kasih tahu pelakunya. Demi apa pun kalian pasti kaget. Pelakunya adalah," ujar Abu memelan. Matanya terbelalak, terkejut. "Pak ...."
Bersambung...
090219
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro