Bab Empatpuluh Sembilan
"Lo bilang apa?" ucap ketiganya serempak.
Tak pernah terbayangkan oleh benak mereka, Andrian, seseorang yang begitu dingin dan cuek dapat berbuat hal sekejam itu. Mereka memang tak tahu apa penyebabnya, tapi mendengar ceritanya saja, mampu membuat mereka bertiga terperangah tak percaya.
Sedangkan Andrian terdiam di tempatnya. Menunduk dalam. Sedih, kesal, malu, rasa bersalah, campur menjadi satu dalam hatinya. Berkecamuk dalam dada hingga membuat sesak. Hati Andrian seolah diremukkan. Sakit dan sesak.
"Lo nggak bercanda, kan, Bang?" Itu suara adiknya. Abu, adiknya bertanya. Tapi Andrian seolah tak lagi bisa bersuara. Berat.
"Gu-gue enggak bohong sekaligus nggak bercanda. Enam tahun silam ... kejadian itu memang benar-benar terjadi."
Habis sudah kata-kata yang hendak mereka keluarkan. Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Andrian. Mereka ... benar-benar tak percaya. Ini begitu mengejutkan.
"Kalian nggak perlu tau kenapa gue ngelakuin hal itu. Yang harus kalian lakukan sekarang adalah, tangkap pelaku itu dengan bukti-bukti yang gue punya. Gue udah nggak peduli lagi kalian mau benci gue atau nggak." Andrian mengembuskan napas lega.
Entah mengapa, hatinya lega setelah membongkar rahasia terbesarnya itu. Andrian merasa beban yang selama ini menumpuk di punggungnya, sedikit demi sedikit terangkat. Meskipun harus menanggung kebencian dari adik, sepupunya dan teman adiknya, tak apa. Karena memang, dari awal dialah yang salah. Dialah penyebab semua ini.
Andrian begitu berdosa. Ia ingin menebus dosanya demi membebaskan adik dan teman-teman adiknya dari dendam tak bermutu seperti ini. Andrian tak peduli sekalipun nyawanya terancam ataupun ia akan dibunuh seperti korban-korban sebelumnya, bahkan ia ditabrak sama persis seperti sahabat adiknya. Sebenarnya Andrianlah yang harus menanggung semua ini. Harusnya ia yang mati, bukan korban-korban itu.
Tapi sayang ... pelaku bukan dendam padanya. Melainkan dendam karena sekolah yang susah payah ia bina dan ia bangun sedemikian rupa, harus hancur karena masalah ini. Oleh karena itu ia memilih untuk membalas dendam pada sekolah yang sebenarnya sekolah saudaranya. Tempat di mana Andrian dulu bersekolah sebelum kejadian itu memintanya keluar.
"Gue enggak percaya."
"Lo harus percaya," sanggah Andrian cepat. "Kalian harus percaya kalau gue penyebab semua ini. Karena itu pelaku neror kalian duluan. Pelaku memanfaatkan arwah cewek itu buat balas dendam karena sekolahnya tutup. Kalian harus percaya itu."
"Jadi bener kalau pelaku mantan kepala sekolah SMK Tanjung?"
"Ya, lo benar." Jawaban Andrian mampu membungkam mulut Tito.
Mereka semua terdiam. Masih bingung dengan keadaan ini. Lebih ke tak percaya bahwa ternyata sumber dari segala masalah ini merupakan orang dekat mereka. Orang yang sama sekali tak pernah mereka kira. Ya, mereka bertiga tak pernah mengira Andrianlah penyebab semua ini. Kendati Andrian sudah mengaku, mereka tetap saja tak percaya.
Tidak percaya bukan berarti mereka membenci. Tidak. Mereka tidak membenci Andrian. Walau seharusnya mereka melakukan hal itu, tapi di antara mereka bertiga sama sekali tak muncul rasa benci. Lebih ke marah. Sebenarnya mereka marah. Mereka kesal karena Andrian baru saja memberitahu mereka sekarang. Andai saja Andrian memberitahu mereka terlebih dahulu, mereka pasti bisa menyelamatkan Andre dan Lutfi. Sayang, semuanya telah terjadi. Kata andai saja tak bisa membuat keadaan kembali seperti semula.
"Gue tau kalian pasti bingung, kenapa baru sekarang gue kasih tau. Karena gue butuh waktu. Gue butuh waktu yang tepat. Dan waktu itu adalah di saat gue udah mengumpulkan banyak bukti. Gue sempet ketahuan sama pelaku dan gue yakin, dia pasti akan cari gue. Nyawa gue terancam sekarang. Makanya gue minta kalian, buat cepat kasih tahu polisi. Tenang aja, gue bakalan bantu kalian."
Mereka bertiga mengangguk. Lebih cepat lebih baik, bukan. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati Abu. Ia tak ingin kakaknya jadi korban meskipun sudah jelas, kakaknya sangat terlibat dalam masalah ini.
Bersambung...
110219
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro