Bab Duapuluh Delapan
Mereka berlima terdiam. Masih berusaha mencerna kejadian-kejadian yang menimpa mereka. Hingga kini, mengakibatkan dua korban berjatuhan. Meskipun mereka belum bisa memastikan secara pasti, apa kematian dari dua temannya merupakan bagian dari teror ini. Mereka tetap yakin, jika teror pesan misterius itu akan terus memakan korban jika terlalu lama dibiarkan.
Dendam macam apa pun, pada kenyataannya ini tidaklah benar. Siapa pun pelakunya, mereka pasti jamin, tak akan ada hukuman yang lebih baik dibanding kematian. Yang berarti, si pelaku harus mati. Harus.
Memakan dua korban dalam waktu yang tak begitu lama, telah menceriminkan jika kasus ini merupakan kasus berbahaya. Mereka harus segera mencaritahu apa sebenarnya hubungan mereka dengan pelaku dendam.
Jujur saja, Abu merasa bahwa semua yang telah terjadi bukanlah salah mereka. Melainkan sebuah pengalihan dari sosok yang pelaku incar. Karena demi apa pun, Abu dan teman-temannya tak pernah melakukan kesalahan yang fatal. Otomatis, dendam ini bukan bermaksud untuk mereka. Namun untuk seseorang yang belum bisa Abu pecahkan.
Dendam yang mengataskan nama orang lain. Dendam yang berusaha tersalurkan dari orang-orang terdekat. Bisa jadi, motif ini lah yang saat ini dilakukan oleh pelaku. Mengingat dua korban sepertinya tak tahu apa-apa. Juga mengingat mereka berlima tak mempunyai kesalahan yang fatal.
Abu menghela napas. Sungguh demi apa pun, ini rumit. Lebih rumit dibanding harus menyelesaikan penelitian sosiologi atau bahkan geografi. Kalau boleh memilih, Abu lebih ingin melakukan puluhan penelitian sosiologi dibanding harus mencari dan menduga-duga seperti sekarang.
Namun Abu paham. Mereka memiliki tanggung jawab yang secara tidak sadar mereka akui. Mereka memiliki perasaan yang mengharuskan mereka untuk mengungkap fakta ini satu demi satu.
Dan Abu, siap membuktikan jika yang lain ikut siap.
Ternyata tak hanya Abu yang berpikir demikian. Mereka berlima pun sama. Seolah dalam diam masing-masing, mereka secara bersamaan memikirkan ini semua.
"Gue rasa kita perlu secepatnya menyelidiki kasus ini," ungkap Tito tiba-tiba. Dan tanpa menatap wajah Tito pun mereka mengangguk, setuju.
Sebenarnya lebih ke enggan terlalu lama larut dalam masalah dan teror pesan ini. Mereka berani bersumpah, bahwa mereka sangat-sangat ingin kedamaian kembali melindungi mereka.
.
Tiga hari setelah kematian Leondra. Desas-desus mengenai kematiannya cepat tersebar. Banyak yang bilang, jika Leondra meninggal kecelakaan usai banyak minum minuman keras. Tak sedikit pula yang mengatakan jika Leondra meninggal setelah melihat penampakan wanita.
Sayang sekali, mereka berlima tak bisa menanyai langsung orang tua Leondra untuk mencaritahu jawaban pasti. Dan kini, karena desas-desus itu, mereka kembali dikumpulkan di aula. Lagi-lagi, Kepala Sekolah mereka membicarakan tentang betapa buruknya mereka semua selaku teman.
Topik pembicaraan masih sama seperti yang lalu. Tentang pertemanan juga gosip-gosip tak bermutu. Sekali lagi, mereka ditegaskan untuk tidak menyebarkan berita tak terpercaya. Alias gosip.
Abu yang saat itu duduk di bangku paling depan, memperhatikan secara seksama. Bukan pembicaraan Kepala Sekolah mereka, namun gerak-gerik tubuhnya. Abu fokus di sana, hingga beberapa menit kemudian, Abu kembali menemui kejanggalan.
Mata Bapak Kepala Sekolah selalu menghadap pintu masuk, meski sesekali tetap fokus pada pembicaraan. Namun Abu bisa menebak jika mata itu selalu awas melihat sekitar. Seolah ada sesuatu yang ditakutkan.
Dan lagi-lagi gerakan tangan yang aneh membuat Abu kembali curiga. Tangan yang saling memilin sesaat yang lalu itu selalu merogoh sakunya. Mencari sesuatu dan ketika sesuatu yang Bapak Kepala Sekolah cari telah ditemukan, Abu menangkap sebuah kertas yang tak asing baginya.
Sebuah kertas yang dipegang oleh almarhum Afi waktu itu.
Bersambung...
220119
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro