III - Grand Opening
Hampir dua bulan lebih Michi sibuk mengurus segala hal tentang usaha yang akan dimulainya. Mulai dari mencari nama baik untuk kafenya. Berburu perlengkapan untuk mengisi kekosongan toko. Sampai mengurus lowongan pekerjaan bagi kru toko yang harus diisi. Semua Michi lakukan hampir sepenuhnya seorang diri. Tentu saja ia masih dibantu oleh Om Wahyu, sang pengacara yang meminta dipanggil begitu. Dan juga oleh pihak Renz design yang ia gunakan jasanya.
Selama periode sibuknya tentu saja Michi tak melupakan ketiga anak asuhnya. Mereka selalu setia menemani ke mana pun Michi pergi. Tak jarang ia menjadi pusat perhatian karena ke mana-mana membawa tiga kucing dalam gendongannya. Namun seperti biasa tatapan-tatapan penasaran itu tak Michi pedulikan.
Seperti contohnya saat ini, ketika dirinya sedang sibuk memilih beberapa ornamen penghias untuk kafenya bersama Rasti. Michi sempat dilarang membawa ketiga kucingnya masuk ke area toko. Namun berkat lobi yang diberikan Rasti sebagai salah satu klien utama toko tersebut, akhirnya Michi diizinkan membawa kucing-kucingnya masuk. Dengan catatan, ketiga kucing tersebut tidak boleh keluar dari kereta dorongnya.
"Kayaknya lukisan ini cocok buat kafe kamu. Temanya pas, ada nuansa Jepangnya," usul Rasti menunjuk salah satu lukisan yang dipajang.
Sejak menjadi partner beberapa waktu lalu, hubungan keduanya justru berkembang semakin dekat. Bisa dikatakan saat ini mereka bukan hanya klien dan desainer, namun lebih kepada teman dekat.
"Eum, tapi harganya kemahalan, nggak sih?" jawab Michi yang agak terkejut dengan harga yang tertera di sana.
Jika hanya sebuah lukisan, Michi sendiri rasanya bisa mendapatkan yang lebih sesuai dengan harga yang lebih murah. Ia bisa dengan mudah mencari ikustrator dari media sosial dan membayar mereka untuk mengerjakan lukisannya dengan harga yang lebih terjangkau.
"Soal harga, nanti coba kita nego sama Manajernya," Rasti menyarankan.
"Um, nggak usah, deh. Nanti coba aku cari-cari ilustrator di medsos yang bisa custom gambar."
"Begitu juga boleh."
Keduanya lantas melanjutkan pencarian mereka. Kegiatan mereka terhenti ketika erangan dari ketiga kucing yang sepertinya sudah bosan berada di dalam keranjangnya. Michi pun terpaksa mengakhiri sesi pencarian mereka.
"Butuh tumpangan nggak?" tanya Rasti ketika mereka sudah berada di luar gedung.
"Enggak usah. Aku bisa naik taksi kok. Kamu kan pasti harus balik ke kantor lagi."
"Oke deh. Sampai ketemu lagi."
Sepeninggal Rasti, Michi pun segera menaiki taksi yang memang terparkir di depan gedung. Tujuannya bukan kembali ke rumah melainkan ke kafe. Hari ini ada jadwal interview kru yang harus Michi lakukan. Entah mengapa ketika dirinya mengunggah lowongan kerja ke media sosial, yang tertarik untuk mencoba tak terlalu banyak. Mungkin karena memang usaha yang akan Michi dirikan masih sangat baru. Sehingga mungkin tidak banyak orang yang ingin bergabung. Namun dari beberapa orang yang akan Michi interviu kali ini, ia sudah sangat bersyukur. Semoga saja yang datang kali ini langsung cocok dan bisa bergabung dengan kafenya nanti.
"Kalian main di ruangan ini dulu selagi Mami wawancara calon kru, oke."
Michi meletakkan ketiga anak kucingnya berkeliaran di ruang kerja yang sudah bisa digunakan. Ruangan tersebut juga tersedia beberapa perlengkapan kucing-kucingnya. Sehingga Michi tidak terlalu khawatir meninggalkan Jiro, Eru dan Saki di sana.
Setelah memastikan kebutuhan makan dan minum kucingnya, Michi meninggalkan ruangan untuk menuju ke lantai bawah di mana para kandidat sudah tiba.
Ada tujuh kandidat yang datang. Dari resume yang mereka berikan, dua diantaranya mendaftar sebagai juru masak. Sedang lima lainnya mendaftar pada bagian pramusaji dan kasir. Sebenarnya Michi ingin sekali mengangkut mereka semua tanpa perlu adanya wawancara lagi. Karena dari resume yang diberikan, ia merasa ketujuh orang yang melamar sudah sangat masuk kualifikasi.
"Selamat siang semua. Terima kasih sudah berkenan hadir tepat waktu. Perkenalkan saya, Michi. Pemilik sekaligus yang akan menjadi atasan kalian nantinya," sapa Michi pada ketujuh kandidat yang kini berdiri dari kursinya masing-masing.
"Silakan duduk. Kita bisa interview dengan santai saja."
Michi mempersilakan mereka untuk kembali duduk. Sedang dirinya sendiri pun menarik sebuah kursi untuk diduduki.
"Um, mungkin sikap saya terkesan meremehkan wawancara ini, tapi saya yakinkan bahwa saya sangat serius dengan semua ini. Karena bagaimana pun usaha ini ada kerja keras saya. Sudah pasti saya menginginkan yang terbaik. Mungkin karena usaha ini masih sangat dini dan saya juga tidak memiliki pengalaman. Tapi sekali lagi saya tegaskan bahwa saya sangat serius menjalani usaha ini. Dan saya harap juga para kandidat yang hadir juga sama seriusnya dengan saya untuk mencapai satu visi dan misi untuk menjalankan usaha ini ke depannya nanti."
"Boleh saya bertanya?" salah satu kandidat mengacungkan tangannya.
"Silakan." Michi memberikan kesempatan.
"Apa kami semua sudah diterima?"
Michi tampak merasa malu.
"Sejujurnya, saya ingin melewatkan sesi wawancara ini dan meluluskan kalian semua. Dari resume yang kalian berikan semuanya tampak baik bagi saya. Kalau pun ada kendala ke depannya, saya yakin kita bisa mengatasinya bersama."
"Meluluskan? Apa ..."
Sebelum kandidat tersebut melanjutkan ucapannya, Michi terlebih dahulu memberikan jawaban berupa anggukan.
"Sejujurnya lagi sejak saya melemparkan lowongan pekerjaan di beberapa media, Ada beberapa lamaran yang masuk. Namun entah kenapa saat semakin mendekati waktu wawancara, kandidat-kandidat tersebut justru mundur dan tidak ada kabarnya. Hingga tersisa ... " Michi melayangkan telapak tangannya pada para kandidat yang hadir. "tersisa hanya kalian saja."
Meski agak malu, Michi tetap harus mengatakan yang sejujurnya. Mungkin mereka akan berpikir bahwa Michi hanya merendah agar mereka bertahan. Namun itulah kenyataannya. Entah para kandidat lain mengundurkan diri karena merasa tidak yakin bekerja di tempat yang baru dirintis. Hingga mereka berpikir tidak akan ada masa depan jika bekerja padanya.
"Jadi, apa kami diterima?" kembali salah satu dari kandidat bertanya.
"Saya belum bisa memastikan akan seperti apa usaha ini ke depannya. Tapi saya ingin berharap kalian bersedia bekerja bersama saya sepenuh hati untuk membangunnya. Kalau pun semua tidak berjalan lancar, saya akan pastikan selama setahun usaha ini berjalan, saya tidak akan melepaskan tanggung jawab dan tetap memberikan gaji kalian sesuai porsi. Setelahnya saya berharap kalian akan menemukan kesempatan kerja yang lebih baik lagi."
Siapa yang tidak akan tertarik dengan penawaran yang Michi berikan. Berjalan atau tidak, mereka akan tetap mendapatkan gaji. Namun mendengar kesungguhan Michi untuk memajukan usahanya, mereka cukup tersentuh. Tanpa pikir panjang, ketujuh kandidat yang ada pun bersedia menerima tawaran tersebut.
"Selamat bergabung dan semoga kita bisa menjalankan bisnis ini tidak hanya untuk setahun tapi untuk tahun-tahun berikutnya."
Sambutan dari Michi dengan tangan terbuka membuat para kandidat yang terpilih bertekad untuk bersama-sama membuktikan bahwa mereka akan bisa bertahan. Seperti harapan Michi tak hanya untuk setahun tapi agar bisnis ini terus berkesinambungan.
... *_* ...
Hampir lima bulan Michi mempersiapkan usahanya. Setelah bergelut dengan desain interior dan juga pemilihan menu yang ia kerjakan bersama ketujuh kru kafenya, akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Grand Opening. Waktu pembukaan usahanya akhirnya bisa terlaksana.
The Blooms adalah nama yang Michi pilih untuk kafe barunya. Michi bukan orang yang pintar dalam memilih nama. Bahkan The Blooms sendiri Michi dapatkan dari saran Adelia dan para krunya. Seperti namanya mereka berharap usaha ini akan mekar dan berkembang layaknya bunga.
Kembali lagi ke grand opening, meski terdengar WAH, namun nyatanya pembukaan usaha Miichi sangat jauh dari kesan meriah. Ia hanya menyebarkan melalui media sosial yang ia khususkan untuk usahanya seperti kebanyakan para pelaku usaha lainnya. Michi juga hanya mengundang rekan-rekan kerjanya terdahulu. Ia juga meminta para krunya untuk mengundang kerabat dan kenalan mereka demi membuat The Blooms semakin di kenal.
The Blooms sendiri tidak jauh berbeda dari tempat nongkrong anak gaul kebanyakan. Karena memang Michi sama sekali awam akan usaha seperti itu. Ia hanya mencontoh dari apa yang ia lihat di internet dan beberapa rekomendasi dari Adelia. Karena jujur saja, Michi bukan orang yang betah berlama-lama di tempat umum seperti kafe dan restoran. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di rumah. Atau kalau pun harus ke tempat umum seperti taman kota, maka semua itu Michi lakukan demi anak-anaknya.
Hanya saja ketika Michi memutuskan untuk memulai usaha ini, artinya ia harus siap terlibat dengan segala hal yang mungkin tidak disukainya. Dan untuk The Blooms, tentu saja Michi akan berusaha sebaik mungkin menjadikan tempat itu sebagai tempat umum yang menyenangkan bagi para pengunjungnya.
Satu hal lagi yang membedakan The Blooms dengan kafe lainnya mungkin adalah tempat itu sengaja dibuat sebagai tempat rehat yang ramah terhadap hewan peliharaan. Tentu saja Michi tahu akan ada banyak pro dan kontra dari kebijakan yang diberlakukannya. Mengingat pengunjung yang datang pasti paling tidak akan memesan makanan atau minuman ringan selama bersantai di The Blooms. Michi jelas harus memerhatikan kebersihan dan keamanan makanan dan minuman di sana. Karena itu bagi pengunjung yang membawa peliharaannya, Michi menyediakan ruangan khusus selama para pemilik sedang bersantap untuk meletakkan hewan peliharaannya. Dengan jaminan tentunya para pengunjung juga menyiapkan kandang dari rumah. Atau kalau pun tidak, Michi akan menyediakan beberapa kandang hewan di ruangan tunggu hewan peliharaan. Dengan begitu ia yakin semua akan bisa menikmati waktu di The Blooms.
"Congratulation, Michi. Semoga usaha kamu berkembang dengan baik. Tapi nih ya, yakin dengan menjadikan kafe ini sebagai tempat pet friendly?"
Dania, salah satu mantan rekan kerja yang berbeda divisi dengan Michi menyerahkan sebuket bunga disertai ucapannya tadi. Ia datang bersama rombongan rekan-rekan Michi yang lain.
"Yakin. Aku juga sudah banyak tanya-tanya kok soal keamanan membawa pet ke sini. Tapi ya aku juga akan tekankan buat para pemilik hewan untuk saling menjaga di sini nantinya." Michi menerima buket bunga tersebut dengan senyuman lebar. "Dan terima kasih kalian mau datang meramaikan. Ada diskon 50% untuk pengunjung khusus untuk hari ini."
Sorakan gembira langsung terdengar ketika Michi menyebutkan diskon yang diberikan. Setelah mengantarkan rekan-rekannya ke meja yang tersedia, Michi kembali ke pintu depan kafe untuk menyambut pelanggan yang lain. Ketiga kucingnya sedang tenang beristirahat di ruangan khusus sehingga Michi tidak perlu khawatir mereka akan berkeliaran dan menyemarakkan suasana.
Di tengah kesibukannya memastikan pembukaan kafenya berjalan lancar, ponsel Michi tiba-tiba berdering. Panggilan dari seseorang yang hampir setahun ini tidak bertemu dengannya tentu saja mengejutkan Michi. Tanpa pikir panjang, Michi langsung menjawab panggilan tersebut.
"Sayang ... apa kabar? Maafin Mama karena jarang telepon kami. Mama lagi sibuk banget karena Om Hendry tiba-tiba harus pindah tugas lagi."
Rentetan kalimat panjang dari mamanya Michi biarkan mengalir. Meski lama terpisah Michi juga sebenarnya merindukan kecerewetan mamanya tersebut.
"Chill, Ma. Aku baik-baik saja. Dan seperti yang aku kabarin ke Mama kalau aku berhenti kerja dan sekarang sedang membuka usaha."
"Oh, iya. Mama sudah baca itu. Mama juga sudah pesan papan bunga untuk pembukaan kafe kamu. Sudah diterima belum?"
Michi menatap papan bunga besar yang dikirimkan mamanya dengan senyuman hangat. "Sudah. Terima kasih."
"Sama-sama, Sayang. Maaf lagi-lagi Mama nggak bisa hadir di acara spesial kamu. Tapi liburan tahun depan, Mama pastikan akan pulang, oke?"
"Santai, Mom. Kapan pun Mama punya waktu, Mama bisa pulang."
Selama beberapa saat mereka bertukar cerita. Hingga sang mama harus segera mengakhiri panggilan karena masih ada hal yang harus dikerjakan. Tak lama setelah panggilan terputus, Michi masih berdiam di depan kafe. Menatap jalanan yang lalu lalang. Juga beberapa mata yang tampak penasaran dengan keramaian yang terjadi di kafenya.
Jika boleh jujur Michi merindukan mamanya. Setelah kehilangan papa, hanya mama yang ia miliki sebagai orang tua. Karena kedua kakek dan nenek baik dari pihak mama dan papanya juga sudah berpulang. Namun sebagai anak yang sudah memutuskan hidup sendiri, Michi tidak ingin egois dengan menangis menginginkan kehadiran mamanya di hadapannya kapan pun Michi membutuhkan. Hidup sendiri membuatnya banyak belajar untuk selalu mengandalkan diri sendiri. Toh, saat mati nanti semua manusia akan menghadapinya seorang diri.
Kesepian tentu tidak bisa dihindari. Namun daripada harus berpikir negatif akan kesepian dan kesendirian, Michi selalu punya cara untuk mengusir segala kegundahannya tersebut. Salah satunya adalah dengan menyibukkan diri mengurus Jiro, Eru dan Saki. Dengan ketiga kucing tersebut, Michi tak lagi merasa sendiri. Meski pun Michi tahu, ia tak mungkin selamanya akan hidup bersendiri. Ia tetap membutuhkan pendamping hidup. Tapi bukan untuk saat ini. Ia masih menikmati kesendiriannya bersama anak-anaknya. Dan menikmato usaha barunya.
"Welcome to The Blooms!" seru Michi dengan senyuman terkembang.
...
note : terima kasih bagi yang masih setia membaca. love you, guys ♥️
ps ; ilustrasi hanya pemanis ya, tapi begitulah gambaran kafe tepi jalan yg kubayangkan untuk kafenya Michi 😚
15/02/25
Ria
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro