Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I - Nona Jutawan

Suara berisik alarm ponsel membangunkan Michi seperti biasa. Tanpa perlu bergulat dengan rasa kantuk, ia langsung beranjak dari kasur. Keluar dari kamar yang disambut suara mengeong dari tiga makhluk kecil yang setia menemaninya. Michi tahu betul tiga teman serumahnya itu meminta jatah makan. Meski Michi tak pernah melewatkan jam makan mereka, tetap saja mereka selalu menyambut Michi dengan suara khasnya.

Ia bergerak ke dapur menuju lemari kabinet di mana tersimpan makanan untuk ketiga kucingnya. Setelah mengisi masing-masing mangkuk makan milik kucing-kucingnya, Michi kembali ke kamar untuk segera membersihkan diri.

Kegiatan rutin yang dijalaninya kadang membuat Michi bosan. Namun kehadiran tiga makhluk mungil di rumah selalu berhasil melenyapkan segala penat yang dimilikinya setelah seharian berkutat dengan pekerjaan.

Sarapan setangkup roti dan segelas susu sudah cukup untuk mengganjal perutnya. Jikapun nanti Michi merasa lapar, ia bisa minta tolong dibelikan camilan pada OB di kantor nanti.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Michi mempersiapkan segala perlengkapan kucing-kucingnya. Setiap hari selama bekerja, Michi menitipkan ketiga peliharaannya pada sebuah pet shop yang juga menyediakan layanan penitipan hewan peliharaan.

Michi memasukkan ketiga kucing tersebut ke dalam keranjang khusus yang Michi pesan untuk ketiga bayi kecilnya tersebut. Setelah semua siap, barulah Michi melajukan kereta kucingnya menuju penitipan.

"Mbak Michi, minggu depan dokter Rara ada kunjungan, Eru, Eri sama Ero bakal di check juga, nggak?" tanya  Anisa, salah satu pegawai pet shop yang biasa menerima kedatangan Michi dan anak-anaknya.

"Boleh. Tapi aku nggak bakal bisa nemenin. Seperti biasa aja ya, aku minta tolong kalian," pinta Michi dengan wajah memelas.

"Oke, Mbak. Nggak masalah!"

"Aku titip anak-anak, ya," pinta Michi seperti biasa.

Setelahnya ia mengucapkan salam perpisahan pada kucing-kucingnya. Barulah kemudian Michi berangkat menuju kantornya.

Usia 25 tahun Michi merasa hidupnya sudah cukup sempurna. Meski banyak yang selalu beranggapan bahwa kehidupan Michi terasa kurang karena hingga saat ini dirinya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda memiliki pasangan. Namun Michi merasa kekurangan yang satu itu bukanlah hal penting dalam hidupnya.

Ia bahagia menjalani hidupnya. Meski terlahir dalam keluarga yang tak utuh, bukan berarti hidup Michi menyedihkan. Perceraian kedua orang tua yang memberikan Michi dua keluarga baru bukan penghalang bagi kebahagiaannya.

Terbiasa hidup sendiri sejak usia 15 tahun membuat Michi menjadi sosok yang mandiri. Ia tak ingin bergantung pada orang lain. Bahkan kedua orang tuanya sendiri. Meski keduanya sudah memiliki keluarga masing-masing. Namun bagi mereka, Michi tetaplah anak yang butuh diberikan prioritas tersendiri.

Beruntung bagi Michi selepas kuliah dirinya tak perlu lama menganggur. Lamaran kerja yang ia masukkan ke sebuah perusahaan langsung mendapat sambutan baik. Jadi rencananya untuk semakin dapat hidup mandiri tanpa bergantung pada finansial orang tua bisa segera terlaksana. Namun begitu tetap saja harapannya tak benar-benar terkabul karena hingga detik ini, setiap bulannya saldo di rekeningnya tetap bertambah. Walau tak sebesar saat dirinya masih bersekolah.

Taksi yang membawanya tiba di kantor tempatnya bekerja tanpa kendala berarti. Begitu tiba, Michi disambut suasana kantor di mana rekan-rekan kerjanya sudah mulai mengisi meja kerja masing-masing. Michi pun tak ingin ketinggalan dengan segera berlalu menuju divisi tempatnya bekerja.

"Mbak Michi baru sampai?" sapaan dari Adelia, salah satu juniornya menyambut Michi ketika dirinya baru tiba di meja kerja.

"Um, Bu Dewi sudah datang?" Michi menanyakan keberadaan atasannya karena saat melintasi ruangan tak melihat bosnya di sana.

"Sudah. Tapi kayaknya lagi di pantry. Tadi sempat nitip sarapan sama Pak Yahya." Adelia menyebutkan salah satu staff OB yang kerap mereka andalkan karena termasuk paling senior di antara OB lainnya.

Setelah mendapatkan keterangan dari Adelia, Michi segera membuka komputernya untuk mengecek pekerjaan yang harus ia selesaikan. Biasanya draft kerjanya dikirim melalui email oleh atasannya.

Tepat pukul sembilan pagi, suasana kerja mulai terasa di kantor. Semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tak terkecuali Michi. Meski beban kerjanya mungkin tak sebanyak staff divisi lainnya, namun Michi selalu berusaha melakukan tugasnya sebaik mungkin. Ia tidak ingin masalah kecil membuatnya harus mengulang pekerjaan atau bahkan membuatnya terpaksa lembur. Di antara divisi lainnya, Mungin divisi Michi memang tak terlalu sering mendapat jatah lembur.

Begitulah seterusnya, sibuk dengan urusan pekerjaan hingga waktu makan siang di mana Michi bisa berbincang sejenak dengan rekan-rekan kerjanya. Hingga waktunya pulang. Semua rutinitas di hari kerja tak banyak berubah. Membuat keseharian yang Michi jalani di kantor memang kadang berlangsung monoton. Namun begitu semua terasa berjalan di koridor seharusnya. Karena memang beginilah kehidupan yang ia rasa dirinya dan banyak pekerja lainnya jalani.

... *_* ...

Telepon tak terduga dari Pak Wahyu mengagetkan Michi di minggu paginya yang cerah. Padahal Michi baru saja merencanakan untuk membawa anak-anaknya bermain ke taman kota. Namun ia harus mengurungkan niatnya tersebut karena panggilan dari Pak Wahyu sepertinya sangat mendesak. 

Walau  begitu masih menjadi misteri bagi Michi mengapa Pak Wahyu baru menghubunginya sekarang. padahal papanya telah meninggal setahun lalu. Jika memang masalah warisan papa yang akan dibicarakan, mengapa harus menunggu selama ini. 

Bicara soal warisan, Michi tidak terlalu memikirkannya. Rumah dan tabungan yang menumpuk di rekeningnya bagi Michi sudah cukup untuk menyokong nyamannya. Bahkan ia tidak pernah berpikir jika suatu saat papanya akan meninggalkan warisan untuknya mengingat beliau juga memiliki keluarga yang  lain. Kalau pun warisan itu memang ada, Michi pun tidak mempermasalahkan jika warisan itu jatuh ke tangan ibu dan saudara tirinya. Michi enggan harus beradu drama perebutan seperti di tv.

"Hari ini acara kita harus ditunda dulu karena ada hal yang harus aku lakukan. Tapi minggu depan, kita pasti jadi piknik. Jadi hari ini kalian harus mampir lagi ke pet shop, oke?"

Michi mengelus sayang ketiga kepala mungil yang kini menatapnya dengan mata memelas yang membuat Michi rasanya tak tega. 

"Ah, kenapa kalian menggemaskan begini, sih? Aku kan jadi nggak tega," gerutu Michi pada dirinya sendiri.

Walau tak tega. pada akhirnya Michi harus mengantarkan ketiga bayi tersebut ke penitipan di pet shop. Setelah berpamitan meski dengan perasaan tidak rela, Michi langsung bergegas menuju kantor Pengacara papanya. 

Saat tiba di sana, Asisten Pak Wahyu yang sudah sangat mengenal Michi menyambut gadis dengan senyuman hangat. Michi sempat bertanya mengapa tiba-tiba Pak Wahyu menghubunginya, namun sang asisten yang biasa Michi panggil Mbak Sarah, hanya tersenyum kecil seraya menggeleng,

"Nanti kamu bakal tahu sendiri," ucapnya penuh misteri. 

Michi akhirnya hanya bisa menghela napas pelan. Walau penasaran, ia tidak lagi mendesak Mbak Sarah. 

Saat memasuki ruangan Pak Wahyu, di sana sudah ada Tante Sukma, istri kedua papa Michi beserta ketiga anaknya. Raut terkejut sama-sama terpancar di wajah masing-masing. Bagaimana tidak, terakhir kali mereka bertemu nyaris setahun yang lalu di pemakaman papanya. Setelah itu tak ada komunikasi yang terjalin lagi. Masing-masing menjalani kehidupan karena tak ada lagi penghubung di antara mereka.  

"Sudah datang. Michi?" Pak Wahyu menunjuk sebuah kursi kosong yang diperuntukkan bagi Michi.

Tanpa kata Michi langsung duduk di kursi yang disediakan. Tak ada salam sapa yang Michi lontarkan karena hubungannya memang tidak dekat dengan keluarga lain papanya. Michi sudah pernah mendekatkan diri namun hasilnya tidak tampak sama sekali. Mereka tetap berjarak. Pada akhirnya baik Michi dan keluarga papanya memilih untuk membiarkan saja keadaan tersebut. Selama mereka tidak saling bersinggungan dalam perselisihan satu sama lain.

"Karena semua sudah berkumpul maka saya akan menyampaikan alasan mengapa saya memanggil kalian semua ke sini," Pak Wahyu mulai berbicara. "Mungkin ada yang sudah menduga mengapa kalian semua dikumpulkan di sini?"

Jeda sejenak, namun tak ada yang menjawab pertanyaan terakhir Pak Wahyu.

"Baiklah, kita tidak perlu berbasa-basi. Saya mengumpulkan kalian di sini adalah terkait pembacaan wasiat dari Almarhum Pak Bagas Santoso."

"Kenapa baru sekarang?" pertanyaan yang dilontarkan Tante Sukma mewakili anggota keluarga yang hadir di sana.

"Saya juga kurang tahu mengapa Almarhum meminta saya untuk membacakannya setahun setelah kepergian beliau."

Jawaban Pak Wahyu sama sekali tidak memuaskan baik Michi maupun keluarga Tante Sukma. Tapi biarlah, Michi tidak ingin ambil pusing. Mungkin memang papanya memiliki alasan tersendiri.

Tanpa bertanya lagi, Pak Wahyu mulai membacakan isi surat wasiat yang diamanatkan papanya pada semua anggota keluarga yang diawali dengan serangkaian pesan yang ditujukan untuk keluarga yang ditinggalkan. Hingga bagian akhir wasiat yang mulai berisikan pembagian harta warisan. Semua mendengarkan dengan saksama. Namun ketika surat wasiat tersebut selesai dibacakan, raut wajah Tante Sukma mulai berubah. Ia merasa tidak senang dengan pembagian harta yang disebutkan di dalam surat tersebut. Terutama karena merasa Michi mendapatkan bagian yang lebih besar dibandingkan dirinya dan anak-anaknya.

"Apa Pak Wahyu nggak salah. Gimana mungkin hampir seluruh warisan diberikan pada Michi? Lantas bagaimana dengan anak-anak saya?" Tante Sukma menyuarakan keberatannya.

Siapa pun tentu akan menyuarakan keberatan yang sama jika berada di posisi Tante Sukma. Michi tidak hanya mendapat 5% saham yang ada di salah satu perusahaan yang diinvestasikan oleh mendiang papanya. Meski masing-masing anak bawaan Tante Sukma juga mendapat hak yang sama. Dan sisa saham 20% diberikan pada Tante Sukma dan anak bungsu hasil pernikahannya dengan Papa Michi. Namun selain saham, Michi juga mendapat beberapa bagian properti seperti sebuah rumah dan sebuah toko yang Michi sendiri bahkan tidak tahu di mana keberadaannya. Yang paling mengejutkan adalah tabungan deposito senilai hampir setengah milyar yang tentu saja membuat semua orang di ruangan terkesiap.

"Pak Wahyu sedang tidak bercanda, kan? Apa isi surat wasiat tersebut benar-benar asli?" Tante Sukma berucap seraya melirik ke arah Michi.

Michi ingin sekali membalas lirikan yang terlihat tajam itu. Namun ia mengurungkan. Malas menanggapi spekulasi apapun yang sedang terbersit di kepala Tante Sukma. Toh, ia sendiri pun baru hari ini bertemu kembali dengan Pak Wahyu. Berbeda dengan Tante Sukma yang mungkin beberapa kali harus berhubungan dengan Pak Wahyu terkait tunjangan anak-anaknya.

"Saya bisa jamin surat wasiat yang saya bacakan asli di tanda tangani oleh mendiang Pak Bagas sendiri. Ibu bisa cek keabsahannya ke pengadilan atau kantor notaris lainnya jika mau," terang Pak Wahyu. "Dan lagi pula, saya tidak berkolusi atau apapun itu yang Ibu dan lainnya pikirkan. Karena ini juga pertama kalinya saya bertemu Michi sejak setahun lalu."

Tante Sukma masih menolak percaya. Namun anak lelakinya yang Michi ingat bernama Raihan, tampak berusaha menenangkan mamanya.

"Pembagian warisan yang saya sebutkan tadi, tidak sepenuhnya berasal dari harta milik mendiang Pak Bagas. Rumah, ruko dan tabungan yang diberikan pada Michi lebih pada harta yang dimiliki Pak Bagas dari pernikahan sebelumnya. Harta tersebut adalah bagian yang diberikan kepemilikannya oleh Ibu kandung Michi. Juga warisan yang dihibahkan dari orang tua Pak Bagas untuk Michi," terang Pak Wahyu.

"Kalau memang sebagian warisan itu diberikan oleh orang tua suami saya, mengapa bagian Remi, tidak diikutsertakan?" desak Tante Sukma menyebut nama putra bungsunya.

"Tabungan pendidikan senilai 200 juta adalah bagian dari hak waris yang diberikan orang tua Pak Bagas untuk Remi." Pak Wahyu menjelaskan kembali. "Dan untuk kepemilikan rumah yang saat ini Ibu Sukma huni ..."

Tante Sukma tampak menahan napas. Mengingat harga properti rumah tersebut pasti jauh lebih tinggi saat ini. Dan Tante Sukma jelas tidak akan menyerahkan rumah tersebut pada Michi meski nanti disebutkan ada hak Michi di dalamnya. Ia merasa putra sulungnya lah yang lebih berhak mewarisi rumah itu.

"Rumah tersebut bisa menjadi hak milik Remi sepenuhnya bila Michi melepaskan kepemilikannya."

Kali ini semua mata menatap pada Michi yang bahkan hingga saat ini masih belum pulih dari kekagetannya atas warisan berlimpah yang tiba-tiba dijatuhkan padanya.

"Ya?" tanya Michi bingung ketika semua mata masih tak lepas darinya.

Pak Wahyu tampak menarik napas sebelum berbicara. "Kamu bersedia memberikan hak penuh kepemilikan rumah Papamu yang saat ini ditempati Ibu Sukma pada Remi?"

Michi mengerjap, tampak jelas binar penuh harap yang dilayangkan Tante Sukma padanya. Michi tidak pernah memiliki perasaan apapun pada mereka. Terlebih Tante Sukma yang sejak menikah dengan Papanya jelas terlihat tidak menyukai keberadaan Michi. Padahal harusnya Michi yang tak menerima keberadaan Tante Sukma. Bukan sebaliknya.

Namun ketika matanya bertatapan dengan bocah lelaki delapan tahun yang merupakan adik seayahnya, Michi merasa melihat sosok sang ayah di mata anak kecil tersebut. Perasaannya melunak, sebiasa apapun perasaannya pada Tante Sukma dan yang lainnya, namun Remi tetaplah adik sedarahnya.

Pada akhirnya Michi merelakan kepemilikan rumah tersebut sepenuhnya pada Remi. Ia tidak merasa sayang atas kehilangan hak rumah tersebut. Toh ia juga tidak pernah merasa memiliki di dalam rumah itu. Meski ia memiliki kamar yang dikhususkan baginya, namun bisa kunjungannya ke rumah itu tak habis hitungan jari tangan.

Lagipula ia sudah cukup dipusingkan dengan rejeki nomplok yang tiba-tiba menghampirinya. Apa yang diwariskan papa padanya saja sudah lebih dari cukup untuk Michi bisa ongkang-ongkang kaki tanpa bekerja dan menghabiskan hidup nyaman dengan warisan berlimpah tersebut. Tak perlu lah dia menambah drama perebutan rumah lagi. 

Setelah mendapatkan kesepakatan, Pak Wahyu mulai memberikan berkas-berkas yang harus masing-masing pihak tanda tangani. Beberapa hal masih harus diurus legalitasnya. Pak Wahyu pun akan mengabarkan pada mereka semua ketika berkas-berkas tersebut sudah lengkap. 

Pada akhirnya Michi dan pihak Tante Sukma mengucapkan terima kasih dan menjabat tangan Pak Wahyu bergantian. Pak Wahyu pun mengingatkan jika mereka masih membutuhkan bantuannya, beliau dengan senang hati akan mendampingi. Mengingat selama ini segala urusan hukum dan sebagainya milik papa sudah menjadi tanggung jawab Pak Wahyu. Ia pun merasa masih perlu mendampingi keluarga yang ditinggalkan meski sang klien utama sudah tidak lagi bersama mereka. 

Keluar dari gedung kantor tersebut, baik Michi dan keluarga Tante Sukma tetap tak saling menyapa. Mereka hanya saling menatap sejenak di depan gedung sampai akhirnya Tante Sukma mengajak anak-anaknya berlalu dari tempat itu. Meninggalkan Michi yang kini justru memandang ke atas langit yang tiba-tiba berubah semakin cerah.

...

note : cerita ini ringan, akan sangat ringan sepertinya, kalau pun ada konflik, hanya riak kecil yang pastinya gak akan berlarut-larut. karena sekali lagi sesuai judul ini cuma kesehariannya seorang Michi. 

ssttt ... tapi enak juga ya jadi Michi tiba-tiba jadi jutawan. siapa yang gak mau coba :)

ps ; jadwal update tak menentu ya ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro