Bab 35 - Nasehat Mama dan Papa
Aku enggak bisa menjelaskan, tetapi yang jelas aku super kecewa sama Radit. Habis mau bagaimana lagi. Aku merasa dibohongi dan ditipu. Kupikir selama ini, dia benar-benar nyaman dengan aturan baru yang aku terapkan dalam tata cara berhubungan kami, tetapi ternyata aku salah.
Dia memang sudah meminta maaf terus-menerus sejak kemarin. Radit juga menjelaskan kekhilafannya yang terjadi akibat terbawa suasana. Katanya dia baru sadar setelah melewati puncak, sementara aku terbiasa langsung terlelap begitu selesai. Jadi aku enggak menyadari apa pun, karena begitu bangun, Radit sudah selesai mandi.
Dia juga sempat mendebat kekecewaanku. Berulang kali mengingatkan keputusan yang sudah aku ambil kemarin, dan mengatakan kalau seharusnya kami bersyukur kalau aku sudah hamil sekarang. Karena memang itu yang kami berdua harapkan. Namun, tetap saja. Aku sudah telanjur kesal dan kecewa.
Mama dan Papa yang enggak terbiasa dengan interaksiku dan Radit setelah menikah, keheranan melihat tingkah anak juga menantunya. Apalagi Radit mendadak berubah jadi budak sejak tadi pagi. Dia sengaja bangun subuh untuk membuat sarapan, cuci piring, memasukkan baju kotor ke mesin cuci, sampai menyapu lantai sebelum berangkat ke kantor. Sementara Mama dan Papa terkagum-kagum, aku malah mencebik dan enggak menghiraukan. Mama sampai menggetok kepalaku, karena katanya aku enggak menghargai suami.
Aku salah, sih. Radit pamit pergi ke kantor, malah aku diamkan. Dia menghampiriku untuk mencium, malah aku kasih tatapan galak. Biarin, deh. Untuk hari ini saja. Aku mau menghukum Radit, sebelum mengampuninya besok. Aku juga berhak marah, kan?
"Mia, kamu beli test pack aja atuh. Biar enggak penasaran terus. Mama kasihan sama Radit. Sampai segitunya sama kamu. Kayaknya dia berharap banget kamu hamil," celetuk Mama ketika kami sedang berjalan-jalan di York Museum Gardens yang tempo hari aku datangi sendiri.
"Sebenernya Radit memang berharap banget aku hamil, Ma. Tapi, akunya yang belum siap," jawabku jujur.
"Lho? Katanya kalian udah sepakat enggak menunda lagi?" tanya Mama.
"Jadi ini, perbedaan yang kamu bilang kemarin, Mia?" Papa ikutan melempar pertanyaan.
Aku mengangguk lemah. "Iya, Ma, Pa. Sekarang aku udah mau, kok. Tapi, baru beberapa hari yang lalu, maunya. Kemarin-kemarin, aku sama Radit sempat berantem dulu. Dia maksa, aku enggak mau. Jadi ya, gitu. Pusing."
Semangatku untuk berjalan-jalan mulai lenyap. Penyebabnya, ya, karena topik ini. Namun, sepertinya memang lebih baik aku jujur sama Mama dan Papa. Daripada memikirkan semuanya sendirian. Untuk masalah Teh Ranti, aku enggak berani bilang. Itu terlalu pribadi. Takut kenapa kenapa nantinya.
"Tuh, kan. Mama udah nebak kalo kamu sama Radit lagi ada masalah. Dari kemarin Mama lihat, kamu sering nyuekin Radit. Kebalikan sama Raditnya yang kelihatan banget ngejar-ngejar kamu. Kamu teh kenapa sih? Meni enggak mau pisan punya anak?" tanya Mama enggak habis pikir denganku. Papa juga sejak tadi enggak mengalihkan pandangan matanya.
"Bukannya enggak mau, Ma. Mia cuma ... takut belum mampu jadi seorang ibu. Mia juga masih pengen menikmati waktu berdua sama Radit. Mana Mia tinggal jauh dari Mama-Papa. Mana bisa Mia merawat bayi sendirian? Tapi, setelah diobrolin, Radit udah ngizinin Mia lahiran di Bandung, kok. Jadi, Mama sama Papa tenang aja."
"Tah! Ada kan, jalan keluarnya. Selama niatnya baik, insyaallah pasti ada jalan, Sayang. Kita enggak ada yang tahu umur seseorang. Jangan menunda melakukan kebaikan. Sebagai istri Radit, udah sewajarnya kamu bantu Radit membahagiakan kedua orang tuanya. Oke, Mia?"
Aku mengangguk lambat. Papa yang sedari tadi cenderung menjadi pendengar, mengambil alihku yang sedang berada di pelukan Mama. Dia menggeser posisi Mama dan memeluk pundakku dari samping.
"Papa yakin, pasti Mia tahu apa yang terbaik untuk Mia. Kamu anak baik, anak penyayang. Insyaallah, Allah kasih kamu dan Radit kelancaran. Amin ...," ucap Papa mendoakan. Aku mengangguk terharu. Kangen banget mendengar langsung nasihat-nasihat Papa.
"Tuh, didengerin apa kata Papa, ya. Mia, habis dari sini kita ke mana lagi?"
"Ada satu museum lagi yang belum kita datengin, Ma. Tapi harus pake taksi ke sananya. Sekitar satu kilometer dari sini. Bisa jalan kaki, sih. Mama sama Papa mau naik taksi atau jalan kaki?"
Mereka berdua saling melihat seperti biasa.
"Jalan kaki juga boleh. Sekalian nurunin makanan. Mumpung adem juga cuacanya," jawab Mama akhirnya dan diikuti dengan anggukan dari Papa. Kami bertiga pun bangkit dari duduk dan memutuskan untuk pergi ke Railway Museum dengan berjalan kaki. Keadaan jalanan di kota York memang bagus. Jadi bikin kami betah lihat-lihat, tanpa merasa bosan atau kelelahan.
"Habis dari museum, kita ke York Minster. Kata Radit lagi ada festival di sana. Habis dari situ, baru kita pulang," kataku mengabarkan.
"Terus belanjanya kapan?" sahut Mama cepat.
"Mama yakin mau belanja di sini? Nanti aja atuh. Kan keliling Eropanya baru mulai. Pasti banyak yang lebih bagus barang-barangnya, deh."
Mama terlihat enggak setuju, tetapi perkataanku langsung didukung oleh Papa. Akhirnya Mama cuma bisa cemberut karena enggak akan aku ajak jalan-jalan ke pertokoan hari ini. Besok pagi saja, deh. Foto-foto di The Shambles of York sebelum mengantar Mama dan Papa ke stasiun. Kebetulan sudah lama aku enggak ke sana. Aku kangen sama kafe-kafe lucunya.
Enggak terasa waktu tiga hari berlalu begitu saja. Tahu-tahu, besok Mama sama Papa sudah harus pergi lagi. Aku jadi mendadak sedih. Jauh dari orang tua itu ternyata enggak enak banget.
***
S
iang ini aku sudah standby, duduk di salah satu kursi kayu panjang yang berjajar di sepanjang peron kereta, bersama Mama dan Papa. Setelah tadi sempat keliling area The Shambles of York selama hampir dua jam, akhirnya kami tiba di sini. Kereta yang akan membawa Mama juga Papa kembali ke London sepertinya masih belum datang. Jadwal keberangkatannya memang masih sekitar tiga puluh menit lagi.
Aku duduk manis sambil memandang sekeliling. Aku suka banget sama bangunan stasiun ini. Walaupun kelihatan tua, tetapi masih sangat terawat dan dijaga kebersihannya. Kebetulan di sekitar tempat kami duduk ada beberapa kedai penjual makanan dan minuman. Jadi aku bisa jajan camilan sambil benar-benar menghabiskan sisa waktu bersama kedua orang tua.
"Mia, pokoknya Mama nitip, ya. Kamu sama Radit jangan sering berantem. Kalau ada beda pendapat, dibicarain baik-baik. Jangan sampai diem-dieman berhari-hari. Apalagi sampai teriak-teriak terus pecahin barang. Astagfirullah ... amit-amit. Jangan sampai pokoknya. Kamu lihat aja Mama sama Papa, nih. Sengambek-ngambeknya Mama ke Papa atau sebaliknya, palingan satu hari juga baikan. Oke? Kamu ngerti, kan? Diinget baik-baik loh, Mia," ucap Mama memberi petuah. Aku serius mendengarkan sambil mengangguk beberapa kali.
"Masalah anak-"
"Udah atuh, Ma. Hentikan, hentikan. Gini-gini, Mia tuh, tertekan tahu," potongku cepat.
"Oke, deh. Mama diem." Akhirnya Mama menutup mulut.
Untuk mencairkan suasana, aku memeluknya dari samping, kemudian mencium pipinya sambil bermanja-manja. Lalu beralih ke Papa juga biar adil. Aku tahu jelas, Papa memendam kekhawatiran yang semakin menjadi-jadi, begitu mendengar curahan hatiku kemarin. Namun, aku selalu menekankan, kalau semua pasti akan baik-baik saja.
"Pah, BTW itu kartu Papa mau diambil lagi apa enggak?" tanyaku dengan agak berbisik, supaya enggak terdengar sama Mama. Papa kelihatan berpikir, lalu menggeleng.
"Udah, buat kamu aja. Disimpen, yah. Pakenya pas lagi terdesak aja," jawab Papa ikutan berbisik.
Mama tiba-tiba menoleh ke arah kami berdua, menatap dengan penuh kecurigaan. Feeling Mama itu kuat banget. Pasti dia tahu kalau ada rahasia di antara aku dan Papa yang Mama enggak tahu.
"Kalo Mia sama Papa udah bisik-bisikan, pasti enggak jauh dari ...," ujar Mama sembari mengisyaratkan kata uang dengan jari-jarinya.
Tuduhan Mama langsung kena sasaran, tetapi aku dan Papa sudah lebih jago bersandiwara sekarang. Kami selalu belajar dari pengalaman. Sejak dahulu, Papa memang suka diam-diam membelikan aku barang atau uang lebih dari jatah uang jajan bulanan yang dikasih Mama setiap bulan.
Aku sempat heran, mengapa Papa harus memberiku uang lebih secara sembunyi-sembunyi. Padahal kan itu uangnya Papa. Akan tetapi, semenjak menikah dan menjadi seorang istri, aku mulai paham alasan Papa. Ternyata hubungan di antara suami dan istri itu memang jauh lebih rumit dari yang aku kira.
Seruan Papa yang mengingatkan kalau keretanya sudah datang menghadirkan perasaan galau yang tiba-tiba menyerang. Aku mendadak sedih dan mataku mulai berkaca-kaca. Enggak ingin pisah rasanya.
"Ayo, Mia. Anterin sampai ke keretanya, ya," ajak Mama. Aku mengangguk, lalu ikut berdiri dan membantu Papa membawa koper-koper.
Sampai tiba waktunya mereka berdua harus masuk ke dalam kereta, mataku enggak beralih, terus memandang dan mengikuti pergerakan kedua orang tuaku dari balik jendela kereta. Bunyi peluit dan tertutupnya pintu kereta menjadi penanda kalau mereka akan segera pergi.
Tanganku melambai heboh. Mama dan Papa juga melakukan hal yang sama. Sekuat tenaga aku menahan tangis, menunggu sampai mereka enggak bisa melihatku lagi. Seperti ada rasa enggak enak kalau aku kelihatan menangis di depan mereka. Aku takut dikira belum bisa mandiri. Nanti jadi pikiran Mama dan Papa lagi.
Kereta itu mulai bergerak perlahan dan semakin menjauh. Sementara aku masih diam, enggak beranjak barang sedikit pun. Akhirnya, dengan berat hati aku berbalik untuk pulang. Langkahku berbelok ke kursi yang barusan kutempati. Cairan bening yang sedari tadi sudah mau keluar akhirnya bebas mengalir karena enggak dicegah lagi. Aku menangis tersedu-sedu sampai jadi tontonan orang-orang yang ada di sekitar. Malah sampai ada yang memberiku tisu dan menepuk punggungku. Mereka kira aku pisah sama pacar kali, ya, padahal bukan.
Setelah hampir lima belas menit meluapkan emosi, aku berniat untuk berdiri dan pulang ke apartemen. Aku baru ingat, tadi belum sempat masak nasi. Kalau lauknya sudah ada, kebetulan tadi Mama masak sop daging andalannya.
Pergerakanku terhenti ketika menyadari ada sosok lelaki yang sedang berdiri di hadapan. Dia menyambutku dengan senyuman sembari membawa satu cup kopi dari kedai kopi kesukaan. Yup, siapa lagi kalau bukan Raditku tersayang. Padahal tadi pagi dia bilang enggak bisa ikut mengantar. Eh, tahunya sekarang muncul tiba-tiba. Meskipun dia telat, tetapi aku tetap bahagia sekali begitu melihatnya.
Aku langsung memeluk Radit kencang-kencang. Keberadaannya selalu berhasil membawa rasa tenang. Aku yakin, pasti Radit bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Sorot matanya Radit tuh jujur banget. Kalau dia bohong, pasti langsung ketahuan. Dia juga tahu kalau aku anaknya galak. Jadi dia enggak akan berani macam-macam.
Eh, kok jadi begini pikiranku. Hm, pokoknya ... aku percaya dia adalah jodohku yang terakhir, dan aku juga jodohnya yang terakhir. Semoga kita berdua bisa selalu sama-sama sampai kapan pun. Amin ....
"Kamu kayaknya cinta banget, ya, sama aku?" tanyanya tiba-tiba. Radit juga memelukku erat-erat sampai bikin aku megap-megap.
"Menurut Kakak gimana?" kataku balik bertanya.
"Hm .... Kelihatannya sih, begitu," jawabnya agak ragu-ragu.
"Nah, itu tahu. Hm .... Kak," panggilku seraya meregangkan pelukan, supaya bisa melihat wajahnya dengan jelas. Perhatiannya terfokus padaku. Dia menunggu jawaban dengan sangat sabar.
"Kamu mikirin apa, sih? Lama banget. Jadi mau ngomong apa enggak?" tanya Radit mengagetkan. Aku sampai lupa tadi mau berbicara karena terlalu banyak berpikir. As always, Mia.
"Kak Radit, sebenernya udah mau dan siap punya anak belum? Di luar faktor keadaan, ya," tanyaku dengan menatap lurus ke bola matanya. Radit terlihat kaget. Alis ulat bulunya sampai hampir menyatu. Mukanya kelihatan lucu banget sekarang. Aku jadi gemas.
Setelah berpikir keras selama beberapa detik, Radit menatapku mantap. "Insyaallah siap! Aku memang sudah enggak sabar ingin ngelihat Mia dan Radit junior," jawabnya penuh semangat.
"Sebentar, sebentar. Mia dan Radit junior? Maksudnya dua anak gitu, Kak?" aku bertanya dengan mata memelotot. Radit mengangguk beberapa kali seraya tersenyum lebar.
"Iya! Masa cuma satu? Sepi dong nanti. Minimal dualah. Yah? Yah?"
Lelaki berkemeja abu gelap yang bagian lengannya sengaja digulung ini, mengguncang pundakku berkali-kali. Seperti anak kecil yang sedang membujuk orang tuanya untuk dibelikan mainan. Aku jadi mendengkus sebal, tapi enggak mampu marah.
Mau punya anak satu saja, butuh proses panjang sampai aku setuju. Ini dia malah langsung meminta dua. Ya ampun .... bisa stres, entar. Namun, lagi-lagi aku enggak bisa menolak. Rasa cintaku pada Radit kayaknya sudah terlampau besar. Aku jadi penurut banget sekarang.
"Ya, udah, deh. Hm, Kak. Mau mulai bikin anaknya hari ini, enggak?" ajakku sembari memalingkan muka. Radit melepaskan tangannya. Dia meraih daguku dan menatapku tanpa berkedip.
"Kamu yakin?? Terus, syarat-syarat yang kamu bilang kemarin, gimana? Aku tetep harus belajar cara merawat bayi, enggak?"
"Iyalah. Wajib pake banget itu, mah. Maksud Mia itu, proses bikin tanpa pengamannya dimulai hari ini."
"Oh ...," Radit tampak agak kecewa. "But, it's okay. Aku udah mulai belajar, kok. Tadi sempet tanya-tanya ke Fred juga. Sekarang, ayo kita pulang! Kita bikin anak seharian!" seru Radit dengan suara cukup kencang sampai dilihat orang-orang.
Dia benar-benar sudah enggak peduli lagi sama keadaan sekitar, dan segera merangkul serta menyeretku keluar dari dalam stasiun. Mukanya happy banget kayak habis menang undian.
Dasar lelaki! Setenang apa pun, kalau diajak enak-enak, tetap saja heboh luar biasa.
Besok Mia as a Wife bakal tamat, nih.
Gimana kesan-kesannya selama baca kisah Mia dan Radit? Semoga seru dan menghibur kalian, yaa!
Terima kasih ~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro