Bab 31 - Seminar Keuangan ala Radit
Tindakan ceroboh dan tanpa pikir panjangku di hari ulang tahun Radit berujung pada seminar keuangan selama tiga hari yang diadakan setiap jam makan malam. Radit mengomeliku hampir habis-habisan karena sudah menghabiskan banyak uang yang aku enggak berani tanya berapa jumlah tepatnya hanya untuk merayakan hari jadinya yang kedua puluh sembilan.
Radit menganggap apa yang aku lakukan itu pemborosan. Padahal itu kan bukti cintaku ke dia. Entah dia paham apa enggak sampai ke situ. Hal yang jelas, aku sempat sedih dan kecewa karena perubahan sikap Radit. Awalnya dia bahagia banget. Namun, begitu tahu berapa uang yang harus dikeluarkan, wajah Radit langsung berubah suram.
Akhirnya Radit memiliki profesi baru: penceramah cara mengatur keuangan rumah tangga. Isi materi ceramah atau seminar Radit ini seputar cara bagaimana supaya uang belanja bulanan yang dia kasih tiap bulan enggak habis di dua minggu pertama. Katanya dia sudah bisa menebak, pasti sisa uang yang aku pegang sudah tinggal sedikit sekarang.
Mentang-mentang dia jago menghitung uang, aku jadi kena getahnya. Sedih, tetapi aku tahu ini demi kebaikan kami bersama. Sebagai istri, aku harus mau berusaha. Aku pernah baca sebuah artikel yang mengatakan kalau sebetulnya istrilah yang bertanggung jawab mengatur keuangan dalam rumah tangga, bukan suami. Radit sudah capek-capek cari uang, masa harus yang mengelola juga. Kan kasihan dia pusing.
Materi Seminar Keuangan ala Radit Pramana Putra
Pertama, setiap setruk belanja yang aku dapat setelah membeli sesuatu harus disimpan di dompet. Terus, setiap malam pengeluaran per hari dicatat di buku atau note ponsel, untuk mencegah aku lupa apa saja yang sudah aku beli dan berapa total pengeluarannya.
"Jangan pakai alasan enggak sempat, tapi giliran nonton drama Korea atau nonton drama lainnya, kamu bisa begadang sampe malam," ujar Radit ketika aku mencoba mengelak.
Kedua, jangan keseringan belanja ke grocery store. Bilangnya yang habis cuma beberapa jenis bahan makanan, tetapi pulang-pulang bawa dua gembolan. Radit kayaknya sudah sadar. Setiap aku belanja dengan alasan "Butuh ini aja, kok", pasti yang kubeli enggak cuma itu saja. Feeling-nya Radit tuh memang kuat, apalagi yang berhubungan sama uang.
Ketiga, bagi uang bulanan sama rata per minggunya. Kalau bisa, dimasukkan ke amplop-amplop, biar ketahuan sudah tinggal berapa sisa uang bulananku. Nah, untuk yang ketiga ini aku agak malas sebenarnya. Aku bukan tipe orang yang selalu membawa uang tunai banyak di dompet. Aku lebih suka gesek-gesek kartu, apalagi kartu ATM Radit.
Sementara hanya tiga materinya. Karena dalam satu kali pertemuan, cuma satu materi yang dikupas tuntas sama Radit. Mulutnya sampai berbusa saat menjelaskan itu semua di depanku. Kadang aku malah melamun sambil memandangi bibir juga jakunnya yang naik-turun. Alis tebalnya sampai suka mengerut pas dia lagi bicara serius. Biasanya kalau sudah mulai bosan, aku langsung cium saja bibirnya. Habis itu dia diam dan sadar kalau aku sudah sampai di ambang batas. Jadi seminar dilanjutkan di malam berikutnya.
Oh ya, ada satu hal yang paling bikin aku bad mood. Uang jajanku bakal dipotong setiap bulan karena Radit cuma mau bayar setengahnya saja. Coba bayangkan bagaimana perasaanku. Aku baru tahu kalau Radit perhitungan banget soal uang. Untung saja dia tampan, baik, saleh, sabar, penyayang, dan suka membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau enggak, mungkin aku sudah ilfeel sekarang.
"Mia, kapan rencananya kamu mau beli kasur tiup? Mama sama papamu datang dua hari lagi, kan?" tanya Radit di sela-sela sarapan.
"Iya, katanya hari Minggu atau Senin sampai sini. Beli kasur tiupnya besok aja, deh. Biar bareng Kak Radit. Mia takut salah pilih. Entar diomelin lagi," jawabku dengan nada menyindir. Radit jadi menghela napas, lalu meletakkan sendok yang tengah dipegangnya. Dia memandangiku penuh cinta sambil menopang dagu dengan kedua tangan.
"Kamu masih kesel sama aku, ya?" tanyanya pelan. Aku cuma mengedikkan bahu, enggak berusaha mengelak.
"Kan kamu tahu, tujuanku itu baik. Ini demi kebaikan bersama, loh," kata Radit, meminta pengertian.
Aku mengiakan dengan sebuah anggukan lambat. Sebenarnya aku sudah enggak kesal sih, tetapi masih trauma. Takut salah arah dan salah ambil keputusan lagi. Jadi lebih baik aku cari jalan aman saja.
"Oh, iya. Setelah kursus masak, kamu udah kepikiran mau ngapain lagi?"
Pertanyaan Radit segera membuat gerakan tanganku yang tengah menyendok makanan, berhenti total. Aku membeku. Enggak berani mengangkat kepala. Gawat! Aku lupa belum mencari ilham mau melakukan apa selain kursus memasak. Ini nih, salah satu kebiasaan jelekku yang sulit dihilangkan. Suka bicara sangat meyakinkan di awal, lalu bingung kemudian.
"Kenapa gitu, Kak?" tanyaku pura-pura santai, padahal mulai gelisah.
Radit tersenyum simpul dengan mata yang menyipit. "Pasti kamu belum kepikiran apa-apa, kan?" tebaknya.
Aku tertawa datar, sambil menyengir lebar. Sengaja mengulur waktu, sementara otakku sedang berpikir keras.
Oh, iya. Aku baru ingat kalau beberapa hari terakhir ini lagi enggak enak badan. Coba pakai alasan itu dulu, deh. Siapa tahu, besok besok Radit sudah lupa dan enggak membahas ini lagi.
Aku menaruh sendok di pinggir piring, lalu memangku sebelah wajah dengan tangan kanan.
"Belum nih, Kak. Dari kemarin badan Mia kayak enggak jelas gitu. Jadi ... Mia belum sempat mikirin masalah itu lagi," keluhku, lalu sengaja menarik napas tanpa semangat supaya terlihat lemah enggak berdaya.
Radit mengangkat tangan dan mendaratkannya di keningku. Wajahnya terlihat kebingungan saat mendapati kalau enggak ada yang aneh dariku. Aku memang enggak demam, kok. Suhuku aman sentosa. Cuma lemas enggak jelas saja. Kayak kehilangan tenaga di siang hari, tapi menjelang malam tiba-tiba segar lagi.
"Kamu masuk angin kali. Makanya jangan kecapekan. Beres-beres rumahnya dicicil aja, Sayang. Pasti gara-gara Mama sama Papa mau dateng, kamu jadi kerajinan begini, deh," kata Radit antara perhatian atau menyindir. Semoga saja maksudnya perhatian.
"Kayaknya Mia stres deh, Kak."
Kedua alis lebatnya terangkat tinggi. "Hah? Stres kenapa?"
"Ya ... karena insiden kemarin itu, Kak. Kayaknya mental Mia kena, deh. Gimana dong, Kak?"
Mungkin pernyataanku terdengar asal, padahal enggak. Aku lagi serius. Namun, Radit malah berdiri, lalu berjalan ke bak cuci piring. Dia mencuci piring dan cangkir yang habis dia pakai, tanpa merespons keluhanku. Aku jadi ikut berdiri untuk menghampirinya. Alih-alih menagih jawaban, aku malah memeluk Radit begitu melihat punggung bidangnya dari jarak dekat. Aroma harum tubuhnya segera menyergap indra penciuman. Kedua mataku pun langsung terpejam rapat, sementara tautan tangan semakin erat. Rasanya aku hanya ingin memeluk Radit seharian.
"Kak, hari ini bolos kerja, dong. Atau kerja dari rumah, gitu. Mia enggak mau sendirian."
Rayuan manjaku berhasil menghentikan pergerakan tangan Radit. Helaan napas panjangnya pun terdengar jelas. Dia berbalik, lalu menatapku sambil memiringkan kepala. Dari posisi ini, aku jadi merasa seperti anak kecil yang sedang memohon dibelikan permen. Tinggiku yang hanya mencapai pundak bawahnya membuat dia harus menunduk untuk menyejajarkan pandangan.
"Kamu kenapa, sih? Tadi katanya stres, sekarang tiba-tiba gelayutan begini," tanyanya heran sambil mencubit kedua sisi pipi tembamku.
Aku mempererat pelukan. Takut Radit kabur, karena sebentar lagi waktunya dia berangkat kerja. Padahal besok juga sudah weekend. Aku punya waktu dua hari penuh untuk bermanja-manja. Anehnya, aku enggak mau berjauhan. Aku kenapa, ya?
"Enggak tahu, Kak. Mia juga bingung. Kayak males ngapa-ngapain, tapi enggak mau sendirian."
Radit kembali menghela napas, lalu menyentil ujung hidungku. "Kalau misal aku bolos kerja, nanti aku bakal dianggurin, dong? Katanya kamu males ngapa-ngapain?"
"Pokoknya Mia pengen deket Kak Radit terus deh seharian. Bolos aja, yah? Please," pintaku dengan amat sangat.
Aku masih mempertahankan posisi, bergelayut manja sambil menenggelamkan wajah di dadanya yang bidang. Radit enggak menjawab. Pasti dia lagi kebingungan sekarang.
"Aku coba tanya kantor dulu, deh," katanya sembari ingin melepaskan diri. Namun, aku bergeming. Radit menatapku bingung, seolah bertanya lewat tatapan matanya.
"Tanya di sini aja. Mia juga mau denger."
Radit enggak menolak. Dia cuma bisa pasrah, kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Enggak lama, Radit mulai berbicara dengan bahasa Inggris. Lumayan lama, mungkin hampir sepuluh menit. Radit berusaha banget meyakinkan atasannya, kalau istrinya yaitu aku, lagi sakit dan enggak bisa ditinggal sendirian. Padahal mah, ya, enggak dusta-dusta amat, sih.
Dengan sabar aku mendengarkan percakapan Radit sambil mengendus-endus wangi parfumnya. Terus aku peluk kencang-kencang sampai dia enggak bisa napas. Lalu aku tertawa tanpa suara melihat dia yang kesulitan berkonsentrasi. Rasanya puas banget bisa menjaili Radit seharian.
"Gimana, boleh enggak?" tanyaku enggak sabar ketika Radit selesai berbicara di telepon. Radit tersenyum, lalu mengangguk.
"Alhamdulillah dibolehin, tapi aku tetap harus buka laptop. Diminta standby sebisa mungkin," jawabnya. Aku langsung happy. Senyumku merekah selebar-lebarnya.
"Asyik! Tiga hari penuh bersama suami tersayang," seruku kegirangan.
"Jadi, sekarang kita mau ngapain?" tanya Radit. Matanya enggak berpaling dari wajahku. Seperti menanti jawaban berbobot dari bibirku yang sedang merekah maksimal.
"Hm." Aku pura-pura berpikir keras, padahal sudah punya jawabannya sejak beberapa menit lalu. "Mia pengen pisang goreng, Kak. Tolong cariin, dong."
Seketika Radit mengerutkan kening. "Waduh, pisang goreng? Beli di mana? Kalau bikin sendiri bisa kan seharusnya? Kamu beli pisang aja gih. Di grocery store pasti ada itu."
Perasaan aku jelas-jelas meminta dibelikan, deh. Kok Radit malah menyuruhku beli sendiri, sih.
"Enggak ada, Kak. Mia udah sempet meriksa, kok. Cuma ada pisang yang mirip sama pisang cavendish gitu. Enggak enak buat dibikin pisang goreng."
"Loh? Terus, kalo adanya cuma itu, aku harus gimana?"
"Ya usaha dong, Kak. Coba tanya-tanya ke temen Kak Radit. Siapa tahu di York ada resto Indonesia yang jualan pisang goreng," kataku mulai emosi. Habis Radit kelihatan malas banget mengabulkan permintaanku. Walaupun misalnya enggak ada yang jual, minimal dia usaha dulu, gitu. Jangan langsung menolak.
Setelah berkomat-kamit sambil berpikir keras, akhirnya Radit mengalah. Dia setuju untuk coba mencari pisang goreng keliling kota. Aku lega, dan senyumku kembali tercipta. Enggak lupa aku menghadiahi dia sebuah kecupan mesra supaya Radit semakin semangat berburu pisang goreng.
"Tapi kalo nanti malam aku lembur, kamu jangan protes, ya!"
Aku mengangguk cepat penuh semangat.
"Aku ganti baju dulu kalau gitu. Kamu mau ikut apa tunggu di rumah?" tanyanya masih agak galak, sebelum beranjak dari dapur.
"Mia mager, Kak. Makanya minta tolong."
Jawaban malas dariku bikin Radit cemberut. Untungnya, suamiku yang sangat tersayang ini, tetap berjalan ke arah kamar dengan wajah yang ditekuk. Sebelum dia benar-benar masuk, aku memanggilnya sekali lagi. Radit segera menoleh, menatapku penuh harap.
"Kenapa lagi?"
"Sekalian tolong beliin greentea latte di kafe bawah, ya, Kak. Terus beli es krim juga, yang Mia beli waktu itu. Yang rasa cokelat." Aku sengaja memberikan jeda sebelum lanjut berbicara. Ekspresi Radit sudah enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pasti dia kesal luar biasa sama aku.
"Terima kasih, suamiku tersayang. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu pada istrimu yang manis dan menggemaskan ini. Aamiin ...," lanjutku sembari mengaminkan doa. Setelahnya aku langsung memalingkan muka. Enggak berani melihat ke arah wajah Radit yang mulai berubah menyeramkan.
Tenang, muka Radit nggak semenyeramkan itu kok.
Nah ini baru bonus aib Radit vol. 2
THANK YOU
SEE YOU TOMORROW
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro