Bab 3 - Kehebohan Tiga Sahabat
Hal yang pertama kali aku lakukan begitu selesai sarapan, adalah menelepon Nadhira. Sang detektif amatiran tapi cukup bisa diandalkan dalam hal mengorek informasi seseorang, lewat Whatsapp voice call. Tanpa buang waktu, nada sambung panggilan mulai terdengar. Enggak lama, suara khas Nadhira yang sedikit lebih rendah dari suaraku menyapa lewat pengeras suara.
"Siang, Beb Nadhira," sapaku begitu ramah ketika ia mengangkat telepon.
"Hei, Mia! Ya ampun, udah kepo banget ya lo sampe nelfonin gue. Hahaha ...," balas Nadhira sambil tertawa puas.
"Iyalah gue kepo. Calon suami gue itu," jawabku santai setelah menyandar nyaman ke bingkai tempat tidur.
Nadhira enggak langsung menjawab. Ia terdiam, bahkan sepertinya sampai lupa bernapas. Bisa kutebak, pasti sekarang matanya sedang memelotot dan mulutnya terbuka lebar.
"WHAT? DEMI APA LO, MIA! LO MAU NIKAH? KOK ENGGAK BILANG-BILANG?!" Nadhira berteriak heboh. Suaranya terdengar sangat keras sampai telingaku berdengung.
"Nad, santai dong! Suara lo kenceng banget, ya ampun," protesku sambil mengusap-usap telinga.
"Ya sori, Mia. Habis lo gitu, sih. Tapi seriusan beneran ini? Lo telepon si Aysha juga, deh. Biar sekalian ceritanya," ujar Nadhira menyarankan. Aku langsung setuju dan mencoba menghubungi Aysha. Biasanya sebelum jam sebelas siang, dia masih tidur. Semoga saja dia sudah bangun sekarang.
"Ya, Mi. Ada apaan?" tanya Aysha begitu mengangkat panggilanku.
"AY! TAHU ENGGAK SIH LO?! SI MIA MAU KAWIN! EH, NIKAH, AY!" teriak Nadhira yang lagi-lagi heboh. Aku sampai mengelus dada. Astagfirullah, teman siapa, sih.
"HAH? NIKAH? Bercanda kali si Mia. Mau nikah sama siapa? Kan dia mah jomblo, Nad," jawab Aysha enggak percaya.
"Beneran! Masa gue bohong, Ay. Tanyain aja tuh. Mia, lo jelasin pokoknya sekarang!" seru Nadhira masih heboh.
"Jadi begini, Para Sahabatku Tersayang .... Gue jelasin dulu dari awal, ya. Ceritanya agak panjang soalnya."
"Oke, lanjut, Mi," jawab Nadhira dan Aysha kompak.
Aku berdeham sebelum mulai bercerita. "Kemarin setelah pulang dari Sabuga, Teh Nuri nelepon gue, ngucapin selamat gitu. Tapi ujung-ujungnya dia nawarin, gue mau dijodohin apa nggak sama adik teman pengajiannya? Ya awalnya gue ragu-ragu, sih. Nikah itu 'kan enggak ada di planning hidup gue dalam waktu dekat ini. Makanya awalnya gue sempet takut untuk bilang iya.
"Tapi, setelah gue pikir-pikir, daripada hidup gue enggak jelas karena belum tahu mau ngapain setelah kuliah, mendingan gue terima aja rencana perjodohannya. Kebetulan Teh Nuri juga jago marketing. Dia promoin si calon gue ini, yang bagus-bagusnya aja. Tampangnya oke sih, gue mengakui itu dan dia stay di York, guys. Yang ada pertokoan mirip Diagon Alley itu, loh. Kalian tahu 'kan kalo gue pecinta Harpot.
"Gue kan pengen banget jalan-jalan ke Inggris dari dulu. Dan tiba-tiba dikasih kesempatan buat tinggal di sana. Itu yang bikin gue semakin tertarik. Eh, tahunya doi juga mau dijodohin sama gue. Ya sudahlah. Gue juga baru tahu beritanya tadi pagi, kok. Makanya baru bilang ke kalian sekarang," kataku menjelaskan panjang lebar sampai mulai kehabisan napas.
"Oh ...."
"Hm ...."
Begitulah respons mereka berdua. Tumben enggak heboh lagi, jadi bingung.
"Kok respons kalian datar amat, sih? Tadi aja heboh-heboh," protesku enggak terima.
"Gue mikir dulu sebelum ngomong, Mi. Tapi lo yakin mau nikah? Sumpah ya, gue juga belum kepikiran nikah masa. Pacar aja gue nggak punya. Miris banget hidup gue," ujar Aysha jadi ikut curhat.
"Yakin enggak yakin sih, Ay. Bismillah aja gue. Tadi juga nyokap udah ngobrol banyak. Gue dinasehatin panjang lebar tentang pernikahan gitu. Intinya, pernikahan kan, hal yang baik. Jadi pasti mendatangkan banyak yang baik juga. Iya, enggak?" kataku meminta persetujuan sekaligus dukungan.
"Bener sih apa kata lo, Mia," jawab Nadhira akhirnya.
"Hmm .... Bolehlah, bolehlah," gumam Aysha.
"By the way, calon laki lo tuh, Radit Pramana Putra. Gue udah cari-cari info tentang dia. Gue ketemu akun Instagram sama Twitter-nya doang. Berhubung akun Instagram-nya di-private, gue nggak bisa kepoin dari situ. Bisa sih cari dari hashtag tapi gue mager. Maaf ya, Mi. Kalau dari Twitter dia, enggak ada yang aneh sih, standar aja. Dia juga udah enggak aktif sejak tahun lalu.
"Gue sempat cari-cari dari sumber yang lain, dan nggak ada jejak yang aneh-aneh. Chat flirting pun nggak ada. Jadi gue enggak bisa nemu informasi siapa mantannya yang terakhir. Oh iya, dia kerja di perusahaan asal Swiss dari akhir 2019, dan gue juga ngecek rate gaji dia, dong. Hahaha ...." Nadhira mulai heboh lagi.
"Wih .... Emang berapa rate gaji doi?" tanya Aysha penasaran. Aku juga ikut penasaran, tetapi gengsi kalau terlalu memperlihatkannya.
"Gue cek di Mbah Google. Dia kan sekarang jabatannya senior internal auditor. Gue lihat dari Linkedln dia, average salary-nya itu sekitar 36.500 pound, alias hampir tujuh ratus juta rupiah per bulan!" seru Nadhira hampir berteriak. Mulutku sampai menganga saking terlalu kaget dan terlalu enggak percaya. Tujuh ratus juta sebulan? Wow. Aku speechless.
"Eh, tapi jangan senang dulu, Saudara-saudara. Biaya hidup di sana juga mahal, loh," sambung Nadhira. Benar juga, aku hampir saja lupa.
"Gue nemu video Youtube orang Indonesia yang tinggal di London. Dia cerita kalau biaya hidup di Inggris per bulannya itu kurang lebih sekitar 3000-4000 pound untuk dua orang, tapi itu hitungan kasarnya aja. Totalnya tergantung dari gaya hidup lo gimana. Kalau lo suka jalan-jalan, jajan, sama belanja, jelas jauh lebih mahal dari itu," jelas Nadhira.
"Masih sisa banyaklah itu mah," sahut Aysha.
"Bener sih, tapi 'kan kita nggak tahu si Radit ini banyak cicilan apa nggak," kata Nadhira lagi.
"Cicilan? Ya ampun .... Enggak kepikiran ke sana gue. Lo tahu aja, Nad," pujiku sambil mengangguk-angguk.
Kuakui, pengetahuan sahabatku yang satu ini memang luas banget. Dari kita bertiga, yang sudah pernah mencicipi dunia kerja sesungguhnya, baru dia doang. Waktu kerja praktik, Nadhira memilih bekerja di majalah fashion yang sangat hectic, sampai dia sempat menyesal enggak ikutan bekerja di bagian produksi butik dari desainer seperti aku dan Aysha. Namun, dari pengalaman itu wawasannya dalam banyak hal jadi bertambah pesat. Kadang aku suka dibuat kagum sama isi otak Nadhira. Seperti sekarang. Tahu-tahu dia menceletuk masalah cicilan. Kalau bukan karena perkataannya barusan, mungkin aku enggak bakal memikirkan masalah keuangannya Radit.
Ah, apa karena sahabatku ini suka kepo, ya?
"Iya dong, Nadhira gitu. Tapi kerjaan dia oke kok, Mia. Maksud gue, dengan posisi itu pasti dia dapat banyak benefit lainnya. Lo jangan terlalu kepikiran apa gimana, ya. Gue ngasih tahu supaya lo ada bayangan aja," jelas Nadhira.
Apa seharusnya aku kenalan lebih jauh dahulu sama Radit sebelum lamaran, ya? Kalau tanya-tanya soal finansial, Radit bakal tersinggung enggak, ya? Duh, kok jadi ribet banget, sih.
"Mia? Aysha? Kok pada diem? Gue jangan dicuekin dong," tegur Nadhira. Aku terlalu sibuk berpikir sampai lupa menjawab perkataannya.
"Eh, maaf, Nad. Gue lagi mikir, nih," jawabku cepat.
"Ya udah, lo merenung dulu gih. Nanti berkabar lagi. Pokoknya, secara umum yang terlihat dari luar, Radit is a decent man. But, kita nggak bisa tahu aslinya dia gimana hanya dari stalking aja, ya. Lo berdoa aja, semoga Radit sebagus yang terlihat," kata Nadhira bijaksana. Tumben.
"Aamiin .... Terima kasih lho, Beb. Ini si Aysha ke mana, sih? Kok ngilang?"
"Gue di sini, Guys. Sambil masak Indomie gue. Maaf, ya," jawab Aysha akhirnya. Tetap dia mah suka mengerjakan dua pekerjaan sekaligus. Dasar Mbak multitasking.
"Okelah. Gue mau siap-siap dulu, nih. Mau makan siang di luar. Nanti teleponan lagi ya, Mia, Ay. Bye!" pamit Nadhira. Aku pun ikut pamit, lalu sambungan panggilan kami bertiga selesai.
Punggungku melorot hingga sekarang aku tiduran terlentang di kasur yang empuk. Awalnya, yang kulihat hanya plafon putih polos, sebelum akhirnya berganti jadi memandang ke sekeliling kamar. Satu embusan napas lolos perlahan. Enggak lama lagi, aku bakal berpisah sama kamar ini. Kenapa rasanya belum rela, ya. Pasti aku bakal kangen banget, deh.
Sambil mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran yang membuat bimbang, aku putuskan untuk duduk dan memandang ke luar jendela. Matahari bersinar sangat terik. Wajar sih, sudah mau tengah hari. Aku harus mandi, tetapi kok males, ya.
Tiba-tiba, ponselku kembali berdering. Aku meraihnya lalu melihat ke arah layar yang menyala. Di sana tertera sebuah nomor yang tidak kukenal. Awalnya aku kira itu Radit, tetapi nomornya berasal dari Indonesia, jadi enggak mungkin itu dia. Ketika panggilan kuangkat, suara merdu seorang perempuan terdengar menyapa.
"Assalamualaikum, Mia. Ini Teh Ranti, kakaknya Radit."
Aku enggak menyangka secepat ini Teh Ranti akan menghubungiku.
"Waalaikumsalam. Halo, Teh Ranti," jawabku hati-hati. Jantung ini mendadak berdetak lebih cepat. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di kening karena terlampau gugup.
"Mia, hari ini ada waktu? Bisa kita ketemuan sore ini?" tanya Teh Ranti.
"Bisa kok, Teh. Nanti Mia ajak Mama juga? Atau ketemu Mia aja?"
"Habis ini Teteh mau telepon mamanya Mia juga, kok. Biar Teteh aja yang ngajak ketemuannya. Kita ketemu di restoran aja, ya? Nanti Teteh chat alamat restonya. Oh, iya. Insyaallah bundanya Radit juga akan datang."
Wah, aku mau ketemu calon kakak ipar sama calon mertua!
"I-iya, boleh, Teh. Sampai ketemu nanti sore kalau begitu ya, Teh. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Mia. Sampai ketemu ya."
Begitu keheningan kembali menyapa, aku terdiam dengan mulut menganga. Percakapan tadi menyisakan gejolak yang sulit dijelaskan. Ada bahagia, antusias, sekaligus takut yang melanda.
Bagaimana ini? Aku harus pakai baju apa, ya? Aku harus bicara apa saja nanti? Teh Ranti bakal suka sama aku enggak, ya? Aduh, kalau ternyata aku enggak sesuai ekspektasi, gimana?
Hah .... Ketemu sama Teh Ranti dan bundanya Radit saja sudah bikin aku gugup begini. Enggak terbayang pas aku ketemu Radit nanti. Jangan-jangan, aku bakal pingsan di tempat.
Hari ini sampai Bab 3 dulu, ya. Bab selanjutnya insyaallah bakal dipublish secara bertahap, ya.
Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro