Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 25 - Roller Coaster

Seperti ada, tapi enggak terlihat. Pagi tadi aku bangun, Radit sudah menghilang. Dia sengaja berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Hanya cucian piring dan cangkir kotor yang dia tinggalkan. Notifikasi ponsel juga sepi. Gara-gara ini semua, wajah tampan para oppa sama sekali enggak menghibur.

Seharian aku cemberut. Suntuk, juga mengutuk. Tapi, mau mengutuk siapa? Keadaan? Ini kamu yang pilih sendiri, lho. Terus apa, dong? Apa atau siapa yang bisa aku salahkan, di balik keras kepalanya Radit pengin beranak secepatnya? Masa mau menyalahkan Ayah? Manusia mana yang mau sakit, Mia? Astagfirullah... Aku mikir apaan, sih?

Dentingan kencang si layar lebar membuatku langsung memalingkan kepala. Kalimat iklan singkat dari aplikasi pemesanan hotel dan tiket pesawat tampak dan terbaca. Kalau dilihat pas lagi bahagia, mungkin perasaannya beda. Masalahnya, sekarang aku lagi bad mood parah. Baca rangkaian kata yang menawarkan solusi tempat berlibur, malah bikin aku merasa tersindir.

Kulkas di dapur akhirnya jadi tujuan. Kedua sudut bibirku terangkat tipis saat melihat satu laci penuh oleh camilan cokelat beraneka merek dan rasa. Inilah salah satu keuntungan punya suami yang bekerja di perusahaan makanan. Produknya selalu tersedia di lemari penyimpanan. Aku mengambil satu bungkus yang berwarna merah dan kembali duduk ke sofa.

Aku mengunyah tanpa memberi jeda lama di antara setiap gigitan. Sayangnya, mengunyah camilan manis tetap saja enggak mampu mengusir kegundahan. Desahan sedih masih lolos dari mulutku, saat sadar kalau jam pulang kantor Radit masih lama.

Kalau galau pas lagi di Bandung, aku bisa berkelana sendirian pakai mobil. Kalau di sini kayaknya lebih seru jalan kaki, sih. Apa coba-coba pergi ke taman, ya? Radit pernah bilang kalau ada taman bagus enggak begitu jauh dari apartemen.

Ide spontan tadi berhasil membawaku keluar dari persembunyian. Dengan berbekal tas berisi dompet dan ponsel yang baterainya penuh, akhirnya kedua kakiku menginjak trotoar di depan apartemen yang selama beberapa hari ini hanya aku lihat saja. Embusan angin sejuk terasa menyapa. Membangkitkan semangat jiwa petualang yang telah tersimpan lama. Gara-gara terlalu fokus dengan prahara rumah tangga, aku sampai lupa sama tujuan awalku menerima perjodohan ini. Berpetualang di York! Yeay!

Aku sudah sempat memeriksa rute menuju tujuanku. Menurut petunjuk di Google Maps, aku tinggal berjalan menyusuri jalanan yang ada di sebelah kiriku. Melewati kafe bercat biru muda yang bikin aku ingin mampir dan restoran makanan khas India. Wewangian rempah yang aku enggak tahu apa, sempat menusuk hidungku barusan. Perutku juga sempat tergelitik, tapi enggak lama. Penampakan studio melukis keramik, segera menarik perhatian. Etalase yang diisi oleh pernak-pernik berwarna-warni, membuat aku sampai berdiri cukup lama sembari memandangi satu per satu hasil kerajinan dengan mata yang terbuka lebar.

Puas memanjakan indra penglihatan dan jiwa seni yang mulai meredup, aku lanjut berjalan santai. Untungnya, jalanan di sekitar sini enggak begitu ramai. Tanpa usaha lebih, aku sudah berhasil menyeberangi pertigaan jalan dan tiba di sisi di mana pintu masuk tamannya berada. Aku kembali melihat petunjuk di layar ponsel, dan melihat ke sekitar. Memastikan rute yang harus aku ambil selanjutnya. Namun, sebelum kembali melangkah, pandanganku malah berhenti di sebuah galeri seni yang berdiri kokoh di hadapan.

Sebetulnya, tulisan Free Admission yang paling menarik mata. Aku hampir tergoda, tapi langsung ingat dengan tujuan utama. York Museum Gardens! Di manakah engkau berada wahai taman museum York?

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati jalan beraspal berukuran sempit yang kayaknya bakal pas banget kalau dilewati sebuah mobil. Jalannya tepat berada di sebelah area parkir mobil dan gedung tanpa identitas. Awalnya aku ragu untuk masuk ke jalan itu. Terlihat suram dan sepi. Namun, begitu melihat seorang ibu muda yang tengah mendorong stroller bayi berbelok masuk ke sana, aku pun bergerak mengikutinya.

Beberapa langkah setelah memasuki jalan sempit ini, baru terlihat dua orang lainnya yang sudah berjalan jauh di depan. Aku memutuskan untuk berjalan santai. Bukan karena capek atau apa. Aku hanya tertarik mendengarkan obrolan ibu dan anak balitanya yang kini berada enggak jauh di depanku.

Sang ibu menjelaskan rencana piknik pada anaknya yang mungkin masih berusia sekitar dua tahun. Aku menebak dari kemampuan bicaranya. Dulu waktu anak-anak Teh Nuri seusia itu, cara berbicara mereka masih enggak begitu jelas. Baru beberapa kata saja yang bisa mereka ucapkan dengan tepat.

Saat perhatianku mulai beralih jadi asyik mengamati gedung berdinding batu yang berdiri di sisi kanan, enggak sengaja aku melihat ada barang yang terjatuh dari stroller merah milik sang ibu. Sepertinya wanita muda itu enggak sadar. Buktinya dia masih terus berjalan dan berceloteh dengan riang. Aku segera berjalan cepat, mengambil barang yang tergeletak di jalan dan memanggil pemiliknya dengan suara lantang.

Excuse me!” panggilku sembari berteriak.

Langkah kaki wanita bergaun biru terang itu memelan dan kepalanya menoleh ke belakang. Aku melambaikan handuk tangan miliknya yang tadi terjatuh, sambil berlari ke arahnya. Mata wanita itu membola, kelihatan kaget. Buru-buru dia berjalan menghampiriku sampai rambut pirang panjangnya berayun ke sana kemari.

Here.” Aku berkata sembari menyerahkan kain berbentuk persegi dengan motif binatang padanya.

Wanita itu tersenyum lega. Membentuk bulan sabit yang semakin mempercantik wajah putihnya. “Thank you so much, Miss.”

Aku mengangguk dan membalas senyumannya. “You’re welcome.” Lalu mataku beralih ke anak perempuan di dalam stroller yang tengah memandang takut-takut ke arahku. “She’s so cute. May I know her name?” tanyaku meminta izin.

Wanita itu berpikir sebentar. Mungkin meragukanku. Perasaan style-ku siang ini oke, kok. Sweter pink cerah bergambar bunga dan celana jins biru gelap. Bahkan bibirku berwarna merah muda juga. Cantik bangetlah. Dijamin enggak mengecewakan. Eh, apa sih.

Her name is Sofia,” jawab sang Ibu akhirnya.

Aku berjongkok di depan Sofia dan memamerkan senyuman termanis. “Hi, Sofia,” sapaku seraya menyentuh sekilas telapak tangan mungilnya yang tengah menggenggam erat pegangan stroller.

Wajah balita cantik dan menggemaskan itu, perlahan melonggar. Bibir mungil merah mudanya ikut tersenyum. Dalam sekejap, ada perasaan haru aneh yang menyebar di hati. Aku jadi membayangkan bayiku sendiri. Apakah akan menggemaskan seperti Sofia? Kira-kira mukanya nanti mirip sama aku atau Radit, ya?

Sebelum semakin melantur ke mana-mana, aku kembali berdiri dan mempersilakan wanita itu untuk melanjutkan perjalanan. Kami saling berpamitan dengan anggukan kepala dan lambaian tangan yang lebay. Setelahnya aku malah berdiri diam di tengah jalan. Melamunkan bayangan masa depan yang jelas-jelas sudah aku tolak.

***

Dua hari penuh berlalu dalam kesunyian. Saat makan malam di hari aku pergi ke taman, Radit sempat serius mendengarkan cerita pengalamanku pergi sendirian ke York Museum Gardens. Aku dibuat terkagum dengan keindahan taman yang begitu luas. Ada beragam jenis bunga yang warnanya begitu memanjakan mata. Juga beberapa sisa-sisa bangunan bersejarah dari abad pertengahan. Kalau enggak salah, ada sisa-sisa bangunan benteng dan menara.

Radit memang memujiku yang sudah berani jalan-jalan sendiri, tetapi setelah itu dia cuek lagi. Kalau TV enggak menyala, mungkin apartemen ini sudah kayak kuburan. Hanya ada suara air mengalir, barang pecah belah yang saling bergesekan, atau suara bersin dan batuk yang terus-menerus keluar dari mulutku. Kupikir kalau terlihat lemah tak berdaya, Radit bakal kasihan terus luluh hatinya. Ternyata enggak, dong.

Pendirian Radit teguh banget. Suamiku ini selalu menghindar setiap kali tatapan kami bertubrukan. Meski kunci dari masalah ini ada pada keputusanku, tetapi tetap saja. Bukannya sebagai seorang suami, dia harus mau mempertimbangkan alasanku juga? Kalau begini, sama saja dia juga egois. Aku tersiksa. Sungguh. Masa pernikahan seumur nyamuk ini mau begini terus? Keadaan ini enggak bisa dibiarkan lagi. Harus aku selesaikan hari ini juga! Harus!

Dengan langkah teguh, aku berjalan cepat ke tempat suamiku berada. Suara pintu yang kubuka cepat sempat mengagetkan kami berdua. Radit yang baru saja beres mandi, langsung bersembunyi di balik pintu lemari baju.

“Kak Radit! Mau sampai kapan kita diem-dieman begini? Mia enggak bisa kayak gini terus, Kak!”

“Aku pake baju dulu sebentar,” serunya langsung sibuk.

Aku duduk bersedekap di tempat tidur, sembari menunggu dia selesai. Bisa dibilang aku ini agak nekat. Berani mengambil inisiatif, padahal sebenarnya aku belum tahu akan memulai pembicaraan dari mana. Bismillah saja, deh.

Aku mengambil ancang-ancang untuk berbicara ketika Radit sudah selesai memakai setelan kantornya. Dia ikut duduk di sebelahku. Kali ini enggak menyisakan jarak selebar kemarin-kemarin, tetapi ekspresinya masih enggak acuh.

“Kak Radit kenapa tega banget, sih, sama Mia? Memangnya enak, dicuekin berhari-hari kayak begini? Kalau mau membujuk tuh, bukan begitu caranya, Kak!” tegurku lumayan keras.

Kepala Radit sampai menoleh secepat kilat, akibat suara lantangku yang menggelegar. Matanya membulat, tetapi enggak lama. Detik berikutnya dia kembali membuang muka.

Merasa masih enggak diacuhkan, aku jadi semakin emosi. Bukan hanya karena gejolak amarah, tapi juga ada kerinduan di sana. Napasku memburu, bersamaan dengan sembabnya kedua kelopak mataku.

“Mia. Maaf—”

“Mia kangen, tahu!”

Hah, akhirnya isi hati terdalamku keluar juga. Lega... Eh, tapi kenapa Radit diam saja? Matanya malah menatap lurus ke depan. Ini ceritanya, aku enggak dianggap gitu, ya? Batal lega kalau begini caranya.

“Kak Radit!” seruku masih berapi-api.

Dia menghela napas, sembari memejamkan mata. Namun, aku enggak berhenti menatapnya dengan tatapan paling memelas. Suasana sempat hening. Sampai perlahan, tubuhnya mulai bergerak. Radit memutar arah hingga duduk menyamping, menghadapku.

Tangan hangat yang begitu aku rindukan, akhirnya menggenggamku lagi. Bibirnya mulai melengkung ke atas. Bertahap, tapi pasti. Radit tersenyum lagi setelah sekian lama.

“Oke. Aku mengerti, Mia. Sebenernya … aku juga enggak mau memaksa kamu. Maaf, ya? Butuh waktu berhari-hari sampai aku sadar kalau udah egois,” ucap Radit, dengan suara rendahnya.

“Maaf juga ya, Kak. Mia udah egois.”

“Udah, jangan ditekuk terus mukanya. Cantiknya hilang nanti. Sini, sini. Peluk dulu sebentar,” pinta Radit seraya membuka kedua tangannya lebar-lebar. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghambur ke dalam dekapan yang sudah aku rindukan sejak tiga hari yang lalu. Suara detak jantungnya terdengar begitu jelas di telinga. Menenangkan, sekaligus menghangatkan jiwaku yang mulai kesepian.

“Sebenernya aku juga kangen banget sama kamu,” ucapnya lembut.

“Hm …. Jadi Kak Radit beneran udah nerima keputusan Mia?” tanyaku pelan, hampir berbisik. Aku bisa merasakan kalau kepala Radit mengangguk.

“Setelah aku pikir-pikir, mungkin, kita memang butuh waktu lebih lama untuk saling mengenal. Insyaallah, Bunda, Kak Ranti, dan terutama Ayah bisa mengerti. Tapi … aku enggak bisa ngasih waktu satu tahun. Kondisi Ayah udah enggak begitu baik, Mia. Kalau enam bulan, gimana?” Dia melepaskan tautan kedua tangannya, lalu menatapku penuh harap.

Hm, kayaknya enam bulan cukup, sih. Aku bisa ambil les selama satu tahun, dan bersiap melahirkan. Ya ampun, melahirkan! Aku jadi membayangkan Sofia lagi. Bayi bule itu memang lucu banget, deh.

Setelah hampir tiga menit berpikir, aku putuskan untuk mengangguk. Radit setuju saja sudah alhamdulillah. Kalau aku menolak lagi, bisa-bisa durhaka sekali aku jadi istri.

“Makasih banyak ya, Kak.”

Radit tersenyum seraya menghapus sisa-sisa air mata yang sempat keluar dari kedua kelopak mataku.

“Aku sayang banget sama kamu, Mia. Jangan pernah meragukan itu, ya?” bisiknya hangat.

“Mia … juga sayang banget sama Kak Radit.”

Tetapi, kenapa wajahmu masih kayak kurang ikhlas begitu?
Maafin Mia, ya, Kak.
Maafin Mia yang egois.
Maaf.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro