Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22- Sesi Curhat

Nada sambung panggilan dari aplikasi chat mulai terdengar di telinga. Enggak butuh waktu lama, teriakan Ayhsa dan Nadhira sudah menggema berbarengan. Memang sedikit menyakitkan gendang telinga, tapi suara mereka ampuh membuat hatiku tenang.

"Mia!" seru Ayhsa dan Nadhira. Senyumku langsung merekah begitu mendengar suara kedua sahabat. Aku kangen banget sama mereka. Ya, ampun. Bisa enggak sih, mereka dikirim ke York pakai jasa ekspedisi? Biar aku enggak kesepian gitu.

"Hai, Gengs! What's up! How are you doing?" tanyaku ikutan heboh.

"Ah, elu .... Baru beberapa hari di Inggris aja udah sok ngomong bahasa Inggris. Lo tetep harus cinta bahasa Indonesia, dong!" protes Nadhira galak. Cara bicara Nadhira memang sering membuat orang lain salah paham. Intonasinya suka tinggi dan cara bicaranya juga cepat tanpa basa-basi. Padahal dia lagi enggak kesal atau marah sama sekali. Memang orangnya seperti itu.

"Kan maksudnya sekalian latihan, Beb. Ini kalian lagi barengan semalem ini?" tanyaku heran. Sebab, aku baru menghubungi Nadhira saja, tetapi suara Ayhsa juga sudah terdengar.

"Gue lagi nginep di rumah Nadhira, nih. Mumpung belum mulai kerja kita. Pengangguran harus saling men-support satu sama lain," timpal Aysha asal. Aku terbahak mendengar perkataannya yang memang suka out of the box.

"Bolehlah, bolehlah. Gimana hidup? Aman, kan?"

"Ya .... Gitu-gitu aja hidup kita mah, Mia," jawab Aysha datar.

"Mia! Video call, dong. Gue kepo sama apartemen si Radit," pinta Nadhira begitu Aysha selesai berbicara.

"Oke, wait!" Aku mengusap tanda video di layar, lalu enggak lama penampakan Aysha dan Nadhira terlihat. "Haloooo .... Gue kangen!" ucapku tiba-tiba sendu.

"Jangan sedih dong, Mia. Kan sekarang ada Radit. BTW, doi ke mane? Kok enggak kelihatan?" tanya Nadhira setelah mencoba menghiburku. Padahal tadi aku sudah berhasil mengempaskan kegalauan, tetapi begitu melihat mereka berdua, aku jadi galau lagi.

"Radit kerja! Dia berangkat ke kantor tadi. Enggak lama setelah kita sampai. Doi sibuk banget. Gue kesepian," curhatku sedih sekaligus emosi. Aysha dan Nadhira sempat diam sebelum kembali berbicara. Mata mereka juga saling lihat-lihatan. Kaget melihat responsku.

"Itu udah risiko, Beb. Kan sebelum lo setuju dijodohin, udah dikasih tahu sama Teh Nuri tentang kerjaannya Radit. Jadi seharusnya lo sempat membayangkan gimana keseharian lo setelah pindah ke York," ucap Nadhira menasihati.

"Nah, tuh dengerin apa kata si Nadhira, Mia," timpal Aysha.

"Iya, Ay, Nad. Gue lagi homesick kali, ya? Tadi tuh, begitu Radit pergi, gue langsung galau. Kayak kesepian parah. Padahal mah nanti malem juga dia pulang."

Lalu sesi curhatku seputar kehidupan rumah tangga pun berlanjut sampai sekitar tiga puluh menit kemudian. Aysha dan Nadhira dengan setia mendengarkan setiap keluh kesahku. Tentunya mereka juga memberiku solusi-solusi. Walaupun ada yang masuk akal ada yang enggak, sih. Tadi aku juga sempat home tour sebentar, karena mereka berdua penasaran banget bagaimana penampakan apartemen yang menjadi tempat tinggalku sekarang.

"Eh, Ay! Gue lupa mau tanya. Kalau pake kondom tuh, betulan enggak akan keboboloan walau rajin berbuat, kan? Gue agak kepikiran, nih. Kan gue udah bilang ke Radit, kalau belum mau punya anak. Tapi kayaknya omongan gue enggak dianggap serius sama dia," tambahku jadi agak sedih setelah mengatakan kalimat terakhir.

"Wah? Seriusan? Kok dia enggak menghargai pendapat lo sebagai istri, sih. Enggak bener, tuh, si Radit!" sahut Aysha mulai mengomel.

"Makanya, Ay. Gue mau mencoba bermusyawarah sama dia secepatnya. Nah, biar dia setuju, gue sekalian mau memberikan solusi. Itu maksud gue nanya ke elo. BTW, si Nadhira ke mana?" Aku baru sadar kalau sosok Nadhira enggak terlihat lagi di layar ponsel.

"Noh." Aysha mengarahkan kamera ponselnya ke arah Nadhira yang sudah tertidur pulas. Bahkan suara dengkurannya bisa terdengar jelas lewat pengeras suara.

"Jadi, Mi. Setahu gue pake itu memang cukup ampuh buat mencegah kehamilan. Tapi, tergantung cara pemakaian sama bahan pembuatnya. Kalo cara pakenya salah, ya efektivitasnya menurun. Ini kalau enggak salah, ya. Mendingan lo cari di Google deh, biar yakin gitu. Gue kagak hafal sampe ke sana. Sekilas doang."

"Ah ... gitu ya, Ay."

"He-eh. Oh, ya Mi. Kayaknya gue tahu satu cara lain supaya lo aman dan damai tanpa bikin si Radit keberatan. Lo mau tahu kagak?"

"Ya maulah. Apaan tuh, Ay?" Jiwa kepo Mia pun semakin meronta-ronta. Sebelumnya aku enggak pernah tertarik sama hal-hal berbau reproduksi. Baru sekarang saja karena terdesak situasi.

"Jadi begini, Mi—"

Sedari tadi aku manggut-manggut tanpa henti. Sesekali imajinasi aneh masuk ke dalam otakku ketika Aysha dengan gamblang membeberkan semua yang dia ketahui. Sahabatku yang satu ini, memang ajaib. Belum pernah berpacaran, tetapi pengetahuannya luas sekali. Mungkin karena pergaulannya kali, ya? Anak Jakarta sama anak Bandung, cenderung beda, kan? Apa sama saja? Ah, entahlah.

"Nah, begitu, Mia. Gimana? Ngerti kagak lo?" tanya Aysha memastikan ketika materinya selesai.

"Lumayan .... Nanti kalo gue bingung, gue chat lo deh, yah?" jawabku. Satu jam sudah hampir berlalu, tetapi masih ada sisa dua jam lagi sampai Radit pulang. Itu juga kalau dia bisa on time.

"Sip. Anytime. Mumpung gue masih nganggur."

"Thank you, Ay. Lo udah mau tidur?"

"Belom. Why?"

"Mau nanya lagi, nih."

"Sok atuh mangga." Aysha mendadak jadi orang Sunda, padahal bukan.

"Gue bingung, mau ngapain sehari-hari di sini. Lo ada saran, enggak? Gue kepikiran mau les bahasa Inggris atau les masak. Maybe ambil S2 atau pelatihan singkat apa, gitu. Biar gue ada kegiatan," tanyaku gelisah.

Aysha enggak langsung menjawab. Aku bisa mendengar tarikan napasnya berkali-kali. Tepat sebelum aku menegur, sahabatku ini akhirnya bersuara.

"Sori lama. Gue mikir dulu. Apa ya, Mi? Kalau S2 gue enggak menyarankan, sih. Lo kan anaknya mageran."

"Hm .... Tahu aja lo."

"Menurut gue, mendingan lo ambil les aja, Mi. Yang ilmunya paling bermanfaat di kehidupan sehari-hari lo. Les masak, oke sih. Biar skill ibu rumah tangga lo meningkat. Jadi makin disayang suami, deh. Hahahaha."

"Ketawa lo renyah banget ya, Ay. Kayak gorengan baru mateng," balasku bermaksud menyindir. Akan tetapi,  dia kayaknya enggak ngeh, deh. "BTW, thank you banget, yah. Nanti gue diskusiin dulu sama Radit."

Aku kembali melihat ke arah jam dinding yang ada di sampingku. Semenjak tiba di sini, aku jadi sering banget melihat ke arah sana. Rasanya, ingin sekali aku percepat putaran jarum jamnya. Andai saja bisa.

"Mia, be strong, okay? Hidup tuh enggak pernah mudah. Tapi, gue yakin lo pasti bisa cepet beradaptasi, kok. Kalo butuh curhat-curhat, calling gue ama Nadhira aja," tambah Aysha lagi, langsung ampuh meredakan kegelisahanku. Pasti dia tahu jelas kalau sebenarnya aku masih kepikiran.

"Makasih ya, Ay. I love you to the moon and back, deh, pokoknya. Salam buat si Nadhira, ya! Gue mau mandi dulu, nih. Sekalian cicil beres-beres barang."

"Oke, Mia! Fighting! Lo drakoran aja sambil nunggu Radit balik. Ada drama rame tuh, ntar gue share link web-nya."

"Siap! Bye, Ay!"

"Bye, Mia!"

Setetes air mata berhasil lolos dari sudut kelopak mata kananku, setelah panggilan kami selesai. Sekali lagi aku mengingatkan diri sendiri. Bersyukur Mia. Bersyukur.

***

Dalam keadaan sudah segar, aku diam mematung di tengah ruang keluarga dengan handuk yang masih bertengger di pundak. Mataku memindai setiap sudut ruangan. Betul-betul rapi dan minim perabotan. Sepertinya Radit benar-benar cinta kebersihan. Tadi aku sempat mencolek permukaan meja makan. Debu yang tertinggal tipis banget. Bukan hasil timbunan beberapa minggu. Aku yakin, sebelum pulang ke Bandung, dia mengelap semuanya sampai bersih. Bahkan kloset dan lantai kamar mandinya pun bersih mengkilap.

Langit di luar mulai meredup. Senja pertama di York yang seharusnya penuh kesan, terasa sedikit hampa. Aku harus menikmatinya sendirian di tempat asing ini. Tanpa suami, tanpa siapa pun. Hah. Daripada terus galau sendiri, lebih baik aku cari sesuatu yang bisa diminum atau makan, deh.

Aku mulai berjalan dan berhenti di depan meja dapur panjang. Aku membuka lemari penyimpanan yang ada di atas kepala dan langsung berhasil menemukan beberapa sachet kopi hitam dan satu kotak teh kamomil. Hal sederhana ini saja bisa membuat senyumku terulas. Aku mengambil satu bungkus kantung teh, dan beralih ke depan meja kompor.

Namun, begitu berhadapan dengan beberapa tungku dan jajaran kenop yang belum aku tahu fungsinya, keinginan untuk menyeduh teh langsung sirna dalam sekejap. Seharusnya aku bertanya cara menyalakan kompor ke Radit sebelum dia pergi tadi, atau siapa tahu dia menyimpan teko pemanas air seperti yang selalu disediakan hotel.

Radit sih, pakai menyebalkan segala.

Lagi-lagi rasa malas menghalauku untuk berusaha mencoba. Saking magernya, aku malah melipir ke kamar dan berakhir tiduran di kasur sambil menonton tayangan TV seadanya. Satu jam lagi, Radit pulang. Kira-kira dia bawa oleh-oleh apa, ya? Mcd enak, sih. Apalagi Big Mac lengkap sama kentang gorengnya. Aduh, makin melilit ini perut.

Aku mengambil ponsel dari atas meja nakas. Membuka kunci dan menggeser layar beberapa kali. Enggak ada pesan apa pun dari Radit hingga saat ini. Dia juga enggak mengabariku kalau sudah sampai kantor. Mungkin dia enggak sempat. Mungkin rapatnya juga berlangsung alot sampai bikin dia sakit kepala. Ya, bisa jadi.
Ayo, Mia. Kamu harus positif thinking.

Akhirnya aku menghela napas, mengembalikan ponsel ke tempat semula dan berbaring memunggunginya. Selimut tebal bermotif garis-garis yang masih terlipat di bawah kaki, aku tarik sampai menutupi wajah.

Tenang. Aku enggak akan menangis hanya karena ini doang. Aku pasti kuat. Aku pasti bisa melewati semuanya. Iya, kan? Aku pasti bisa, kan?

Batin dan pikiran yang saling bertentangan terus mengusikku hingga pada akhirnya aku kelelahan sendiri. Perlahan, cahaya yang menerangi penglihatan pun meredup. Aku menyerah. Menanti Radit enggak akan ada habisnya. Lebih baik aku tidur sebentar, deh. Siapa tahu Radit sudah pulang saat aku bangun nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro