Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21 - Realita Pertama

Radit menunjuk ke arah sebuah pintu hitam, tepat di samping mobil. Aku yang masih duduk di dalam, otomatis menoleh ke arah yang Radit tunjuk.

Mataku membulat berbarengan dengan mulutku yang terbuka lebar. Setelahnya aku menatap cemas ke arah Radit, tapi dia malah menepuk-nepuk kepalaku pelan sembari menahan tawanya.

"Jangan lihat dari luarnya aja, Sayang. Renovasinya udah selesai, kok. Tapi belum diangkut aja besi-besinya," jelas Radit lembut kemudian mencubit pipiku. Aku meringis sembari mengusap-usap pipi, berusaha kembali bersikap biasa saja.

Radit memegangi tanganku, membantu aku keluar dari dalam mobil. Sedangkan Pak sopir sudah sibuk mengeluarkan koper-koper kami dari dalam bagasi. Radit ikut membantu setelah memastikan aku berdiri di tempat yang seharusnya.

Aku segera memperhatikan keadaan sekitar. Memang benar apa kata Radit. Jalanan di sini cukup ramai dan banyak pertokoan, tapi justru aku suka, sih. Aku enggak begitu nyaman tinggal di tempat yang sunyi senyap jauh dari keramaian.

Kafe yang Radit ceritakan tadi, sekarang tepat berada di samping belakangku. Warna cat biru mudanya sangat eye catching sekali. Bikin penasaran. Kalau dilihat dari luar, bagian dalam kafenya enggak begitu luas, tapi kelihatan nyaman. Semoga saja bisa jadi tempat tongkronganku yang baru.

"Ayo, masuk!" ajak Radit dengan menarik tanganku. Tangannya yang satu lagi menarik koper, sedangkan koper lainnya dibawa oleh Pak sopir.

Radit memasukkan empat digit angka sebagai password di pintu hitam tadi. Begitu pintu terbuka, kami disambut oleh tangga putih yang enggak terlalu lebar, tetapi berhasil menjadi pusat perhatian. Di sisi sebelah kiri ada pintu lift. Di sisi kanannya hanya ada tembok, tapi di bawah tangga ada pintu kayu berwarna senada. Bisa dikatakan ini lobi dari gedung apartemennya. Enggak begitu besar, tapi rapi dan bersih.

Radit menarik tanganku menuju lift. Pintunya langsung terbuka ketika Radit menekan tombolnya. Lalu kurang dari dua menit, lift sudah berhenti di lantai 3. Ketika pintu terbuka, Radit keluar dengan masih menggenggam tanganku. Dia berbelok ke arah kanan, menuju pintu kayu yang persis seperti di bawah.

Secara keseluruhan, mayoritas warna cat di gedung ini putih semua. Hanya lantainya yang berwarna cokelat terang dan dilapisi karpet dengan warna senada. Radit kembali menekan password di pintu masuk apartemen. Kali ini terdiri dari enam digit angka. Berarti untuk masuk ke dalam apartemen ini, memerlukan dua rangkaian password. Seharusnya amanlah, ya.

“Taraaa .... Welcome home, Istriku tersayang!” seru Radit mendadak heboh sampai bikin aku kaget. Pak Sopir yang berdiri di belakangku juga dibuat terkejut. Dia sampai menjatuhkan satu koper kecilku yang sedang dia pegang.

“Kakak semangat banget, sih. Kaget semua ini,” tegurku.

Kedua alisnya terangkat. “Masa, sih?” Radit mencondongkan tubuhnya ke samping untuk mengintip keadaan Pak Sopir yang ada di belakangku. Dia menyengir dan kembali melihatku. “Ya, udahlah. Aku memang semangat, kok. Sini, Sayang. Masuk, masuk,” panggilnya enggak sabar. Aku membuka sepatu, lalu berjalan mengikuti Radit. Sedangkan Pak Sopir mengikuti dalam diam.

Setelah melewati pintu, ada sebuah lorong yang enggak begitu panjang. Mungkin hanya sekitar dua meter saja. Terdapat cermin besar di sisi kiri, dan lemari sepatu di sisi kanannya. Di ujung lorong, ada tiga buah pintu kayu berwarna putih di setiap sisi tembok. Radit membuka pintu yang berada di sebelah kiri.

“Nah, ini ruang keluarga sekaligus dapur dan ruang makan. Cukup luas, kan?” tanya Radit meminta pendapat.

Mataku berkeliling, mengamati ruangan persegi yang besar tanpa sekat ini. Ukurannya memang luas, tetapi interiornya masih kurang tertata. Jiwa tukang menghiasku jadi menggelora. Mungkin ini bisa jadi proyek menghias ruanganku yang pertama. Dapur ada di sebelah kiri, berhadapan dengan dua sofa besar yang diletakkan di depan meja TV. Hal yang paling menarik perhatianku dari ruangan ini adalah ukuran TV-nya yang enggak sesuai. Kecil banget, ya ampun. Aku enggak yakin bisa menonton TV sambil masak kalau begini.

“Wah …. Luas, Kak. Nyaman gitu, ya, ruangannya. Dapurnya juga bersih. Kak Radit pasti rajin bersih-bersih, nih,” pujiku sembari melirik ke arahnya. Radit langsung tersenyum bangga.

“Aku memang enggak begitu suka kalau tempat tinggalku kotor. Kamu juga gitu, enggak?” jawab Radit balas bertanya. Aku diam sekitar tiga detik, sebelum kembali berjalan.

“Ya …. Lumayan, Kak. Enggak bersih banget, tapi enggak kotor juga. In the middle gitu, deh,” jawabku asal. Aku berusaha mengingat keadaan kamarku selama ini. Selalu bersih, kok, walau bukan selalu aku yang membersihkan. Hehehe .…

It's okay. Nanti aku bantu bersih-bersih juga. Sebentar, ya, aku ke Pak Sopir dulu. Kasihan dia dari tadi aku cuekin,” pamit Radit sebelum berbalik pergi. Sepeninggal Radit, aku kembali berjalan ke arah dapur karena penasaran sama isi kulkasnya.

“Aku belum sempat belanja bahan makanan, Mia. Untuk makan malam, kita delivery aja, ya? Atau nanti aku beli dulu sebelum pulang,” ujar Radit yang kini berdiri di seberang meja pantri dengan pose andalannya. Pak Sopir sudah menghilang. Sepertinya tadi Radit mengirimnya keluar.

Kini, dia tengah memandangku penuh arti. Aku membalas, tetapi enggak ikutan penuh arti. Melainkan sambil menyipitkan mata sebelum memalingkan muka. Aku tahu betul arti tatapannya ini. Walau baru satu minggu menikah, aku sudah mulai hafal sama beberapa perilaku dan makna dari sorot mata Radit. Nah, tatapan yang sekarang ini, biasanya dia keluarkan kalau lagi ada maunya. If you know what I mean.

“Kak, jangan sekarang, ya. Mia lagi capek. Kak Radit juga harus buru-buru pergi ke kantor, kan?” tanyaku tanpa diminta dengan penuh kelembutan. Itu tuh, kode maksudnya.

“Aku ... enggak bilang apa-apa, kok.” Radit langsung salah tingkah. Dia membetulkan posisi berdirinya, lalu menghampiriku. “Ya udah, sini. Aku lihatin kamar kita. Sopirnya aku suruh tunggu di bawah, biar sekalian anterin ke kantor,” sambungnya. Aku menurut dan mulai berjalan di belakangnya.

“Kak, TV-nya boleh ganti jadi yang lebih besar, enggak? Terus posisinya dipindahin ke dekat kotak hijau itu. Biar Mia bisa masak sambil nonton,” pintaku sembari menunjuk ke arah dua benda yang aku maksud. Kotak itu terlihat seperti perapian mini. Ada batu-batu putih di dalamnya. Perapian listrik kali, ya. Imut banget penampakannya.

“Oh, ya udah. Besok kita beli. Sekalian beli barang-barang yang kamu butuhin. Besok aku masih libur, lusa baru masuk kerja.”

“Lho, kok? Bukannya Kakak baru mulai masuk kerja minggu depan? Katanya dapet cuti tambahan buat honeymoon?” protesku sambil merengut.

“Eh? Aku kan udah bilang sama kamu kalau cutinya ditunda. Baru bisa diklaim beberapa bulan lagi, karena tanggal auditnya enggak bisa dimundurin,” jawabnya santai tanpa merasa bersalah. Aku kaget banget. Perasaan Radit enggak pernah bilang apa-apa, deh. Apa aku yang lupa, ya?

“Kapan Kak Radit bilang ke Mia? Kok Mia enggak inget?”

“Ah.” Radit tiba-tiba mengangguk, seperti baru mengingat sesuatu. “I think I told you when we ....” Perkataannya berhenti. Menggantung di udara. Terganti dengan kerlingan matanya yang berusaha menggodaku.

“Ya ampun, Kak! Mana Mia inget kalo Kak Radit bilangnya pas lagi begituan? Tujuannya apa coba? Supaya Mia enggak ngambek?” geramku kesal. Radit malah tertawa canggung.

“Yah, ketahuan… Maaf banget, Sayang.”

Begitu kalimat yang dia ucapkan selesai, kepalaku langsung berpaling. Bersamaan dengan dengusan kasar yang keluar dari mulutku. Hah. Menyebalkan sekali lelaki ini. Kalau umur kita enggak beda tujuh tahun, sudah aku maki dia detik ini juga. Ini sama saja kayak penipuan enggak, sih? Aku pikir dia cuma masuk sore ini doang karena ada meeting, tahunya enggak. Argh!

“Pokoknya Mia mau ngambek, ah!” seruku sambil kabur ke arah kamar.

“Yah, jangan ngambek, dong.” Radit mengikuti langkah kakiku dari belakang. Aku enggak menghiraukannya dan membuka pintu kamar. Emosiku semakin melonjak naik saat melihat ukuran TV yang ada di kamar.

“Kenapa TV di sini pada kecil semua sih, Kak?”

“Bawaan dari sananya, Mia. Belum sempat aku ganti. Lagi pula biasanya aku pergi pagi pulang malam. Aku lebih suka kerja di kantor daripada bawa kerjaan ke rumah,” balas Radit menjelaskan. Emosiku langsung bercampur aduk dengan rasa panik.

“Terus, Mia bakal ditinggalin terus, gitu?”

Radit menghela napas, lalu menarikku ke dalam pelukan. Punggungku dielusnya. Pelan dan begitu menenangkan. Namun, itu semua masih belum bisa menghilangkan kepanikan yang melanda hatiku.

Radit melepaskan pelukan. Dia menatapku sembari meremas pundak kiri dan kananku. “Hei, udah dong ngambeknya. Mulai sekarang aku janji akan selalu berusaha pulang secepatnya. Nanti aku bisa lanjutin kerjaannya setelah makan malam. Kamu jangan panik dulu, Mia,” katanya lembut.

Pundakku merosot. Kepalaku pun langsung menunduk. Aku pasrah. Ya, mau bagaimana lagi. Inilah risiko menjadi istri seorang auditor.

“Ya udah, aku pergi dulu, ya. Setengah jam lagi meeting-nya mulai. Nanti pulang kantor, Insyaallah aku bawain oleh-oleh, deh.” Sebelah tangan Radit mengangkat wajahku, agar tatapan mata kami sejajar.

“Engak bawa oleh-oleh juga enggak apa-apa, Kak. Yang penting Kak Radit cepet pulang. Pokoknya, jam delapan malam harus udah pulang, ya!” ancamku.

“Waduh, jam delapan? Oke, deh. Aku usahain. Kalo kamu lapar, ke bawah aja. Beli roti-rotian di kafe tadi. Sekalian beli latte-nya. Oh ya, satu lagi. Apartemen ini aman, kok. Enggak ada yang mistis-mistis. Kamu tenang aja. Sama … nanti beres-beresnya, dicicil aja ya, Sayang. Besok aku bantuin. Kamu jangan kecapekan. Aku pergi kerja dulu. Assalamualaikum.”

Aku kembali dibuat takjub, dengan betapa lancarnya dia ketika berbicara. Kayaknya benar, deh. Radit ini memang sudah punya gen bawel sejak lahir.

“Eh, lupa belum cium,” sahutnya. Dia berputar arah, setelah sempat berjalan beberapa langkah. Radit menyesap bibirku sekejap, lalu mencium keningku agak lama.

“Pergi dulu, ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawabku pelan.

Kedua mataku terus memandang punggungnya sampai menghilang di balik pintu. Embusan napas panjang mengalir dari mulutku. Terbiasa melihat Radit setiap hari, jadi bikin aku langsung merasa kehilangan begitu dia pergi. Buktinya, baru beberapa menit saja, aku sudah kangen parah sama dia. Kenapa aku jadi mellow begini, sih?

***

Selama hampir tiga puluh menit, aku hanya duduk diam di kursi bar yang ada di dapur. Entah dari mana asal mulanya, tiba-tiba aku diserang perasaan aneh. Seminggu terakhir ini rasanya seperti mimpi. Dalam waktu singkat banyak sekali yang terjadi di dalam hidupku. Sampai-sampai aku enggak sempat untuk menyadari kalau di balik mimpi indah ini, terselip kenyataan yang harus aku jalani. Siap atau enggak siap.

Aku mendadak kangen banget sama kota Bandung beserta isinya. Aku kangen Mama, Papa, Teh Nuri, Aysha, juga Nadhira. Aku rindu pada hidupku yang selalu dikelilingi banyak orang. Sekarang, aku cuma punya Radit. Orang yang bisa aku andalkan hanya dia saja.

Helaan napas panjang dan embusan yang juga panjang secara bergantian keluar-masuk lewat hidung dan mulutku. Aku menopang dagu dengan satu tangan, menatap sendu langit biru yang terlihat lewat kaca jendela. Ponsel pintar yang biasanya selalu aku acuhkan, kini teronggok di tempat. Enggak ada hasrat untuk menyentuhnya. Aku takut menangis kalau melihat isi chat dari Mama dan kedua sahabat. Mereka semua begitu bersemangat menantikan kabar dariku. Sementara aku malah termenung begini.

Aku enggak menyesal, sungguh. Hanya masih belum sepenuhnya bisa menerima semua yang sudah terjadi. Kalau dipikir-pikir, aku sudah melalui salah satu fase penting di hidupku dengan sangat instan. Bisa dibilang, aku melewati proses yang biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun bagi orang lain, hanya dalam waktu beberapa hari saja.

Seharusnya aku bersyukur. Di luar sana masih banyak perempuan yang belum dipertemukan sama jodohnya. Sudah merasa siap, tetapi belum ada yang melamar, atau malah sudah siap dan sudah punya pasangan, tetapi enggak kunjung dilamar sama pasangannya. Aku beruntung banget bisa dipertemukan dan dijodohkan sama Radit. Jarang-jarang kan ada lelaki tampan, mapan, saleh, dan semanis ini yang masih single?

Kekurangannya, ya, itu saja, sih. Suka baper sama sibuk banget.
Aku percaya. Ada harga, ada kualitas. Ada kesuksesan, ada juga yang harus dikorbankan. Sebagai istri yang baik, aku akan mencoba untuk mengerti sampai bisa benar-benar mengerti. Toh, Radit kerja juga buatku.

Aku mengangguk-angguk sendiri. Merasa bangga karena sudah berhasil meyakinkan diriku yang tadi sempat galau. Perasaan aneh itu sudah sukses aku empaskan jauh-jauh. Bersyukur dan bersyukur. Hal itu yang harus selalu aku ingat dan lakukan setiap hari. Semangat!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro