Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18 - Harry Potter Tour

Radit memesan Harry Potter Tour hari ini, dan sekarang kami sedang dalam perjalanan ke Warner Bros. Studio Tour , yang ada di kota Leavesden. Setelah sempat melewati drama telat bangun dan susah jalan, karena you know why, akhirnya aku bisa juga mendatangi beberapa tempat lokasi syuting film Harry Potter yang ada di London.

Tadi kami telat hampir tiga puluh menit! Mr. Felix, sang tour guide sudah datang tepat jam sepuluh pagi. Sedangkan kami baru bangun jam sepuluh kurang lima belas menit. Aku yang enggak tahu apa-apa tentang rencana Radit hari ini, jelas enggak memasang alarm. Padahal dia sudah pasang, tetapi katanya enggak terdengar. Sepertinya tidur kami terlalu nyenyak, setelah bertempur tadi malam.

Sumpah, deh, aku baru tahu kalau melakukan itu sangat melelahkan. Anehnya, Radit enggak kelihatan capek. Dia ... hm, entahlah. Padahal aku sudah terang-terangan bilang, kalau belum mau punya anak. Akan tetapi, tadi malam, dia seperti berusaha keras banget mau menghamili aku.

Ya, intinya, gara-gara dia kami berdua telat bangun dan aku kesusahan jalan. Untungnya dia booking tur yang pakai mobil pribadi, bukan yang ramai-ramai pakai bus. Terbayang kalau kami telat terus yang lain menunggu, atau lebih parahnya lagi, kami ditinggalkan. Pasti Radit menangis, sih.

Dia sempat cerita sekilas sama aku waktu lagi menunggu lift. Katanya harga tur yang dia book ini, hampir sembilan juta rupiah. Aku masih enggak menyangka, ternyata hidup di sini tuh serbamahal. Sembilan juta dihabiskan dalam satu hari saja. Luar biasa.

Tujuan pertama hari ini ke adalah stasiun King's Cross untuk foto di depan peron 9¾ yang iconic banget, lalu ke Piccadilly Circus, Trafalgar Square, dan Lambeth Bridge. Di sana kami foto-foto sebentar. Habis itu lanjut lagi ke Millenium Bridge, Borough Market, dan terakhir ke Leadenhall Market sebelum akhirnya berangkat ke Warner Bros. Studio. Aku enggak beli apa-apa di sana karena sudah nge-tag Radit buat membelikan apa yang aku mau di souvenir shop-nya Warner Bros. Studio.

Tur di kota Londonnya saja sudah menghabiskan waktu hampir tiga jam. Itu pun kata Mr. Felix masih ada yang belum dikunjungi karena waktunya sudah mepet. Dengan berat hati, aku harus melewatkan beberapa tempat supaya bisa sampai sesuai jadwal di sana.

"Ehm, masih sakit?" bisik Radit di telingaku.

Aku menyandar ke pundaknya karena ingin tidur. Eh, dia malah mengajak bicara. Lagi pula kenapa harus bisik-bisik, sih? Orang Mr. Felixnya juga enggak akan paham kami membicarakan apa.

"Udah enggak begitu ngilu, sih. Tapi dari betis ke bawah nih, Kak. Pergelangan kaki Mia juga pegal banget," keluhku sok lemah enggak berdaya. Radit jadi menghela napas. Dia terlihat sangat merasa bersalah.

"Maaf, ya. Nanti aku pijitin deh, pas sampai hotel," bisiknya lagi.

Aku sudah terlalu lelah jadi enggak terlalu mendengar apa kata Radit. Cuma aku jawab iya-iya saja biar cepat beres. Setelah itu aku langsung merem. Pura-pura tidur sampai betulan ketiduran. Tidurku baru terusik, lagi ketika ada yang mencubit pelan pipiku.

"Mia, kita udah sampai, nih," panggil Radit hampir berbisik.

Dia sengaja mengembuskan napas tepat di telingaku sampai bikin aku kegelian. Begitu bangun, aku langsung meregangkan badan. Sekarang baru terasa kalau badanku nyeri semua. Akan tetapi, mengunjungi studio tempat pembuatan film Harry Potter ini adalah impianku sejak lama. Jadi aku harus menghipnotis diri sendiri agar semangat berjalan dan bisa melupakan rasa pegal-pegal ini barang sebentar saja.

"Sini." Radit menarik tanganku saat aku sempat berjalan salah arah. Maklum baru bangun tidur. "Jangan dilepasin, ya. Aku takut kamu hilang. Soalnya di dalam suka penuh," imbuhnya ketika kami berjalan ke arah antrean. Aku menjawab dengan sebuah anggukan.

Sebelum masuk ke dalam, kami harus mengantre dahulu, dan melewati pos pemeriksaan keamanan. Radit menempatkan aku di hadapannya, sambil memeluk pundakku dari belakang. Dia sudah enggak segan-segan lagi menyentuhku. Seperti memeluk, cium kening, atau cium pipi. Pokoknya setelah semalam, dia jadi berubah total. Mungkin karena dia lumayan lama tinggal di luar Indonesia, jadi kebiasaan dan batas wajar bermesraan di depan umum versi Radit berbeda denganku.

Sebenarnya aku sempat malu banget waktu dia tiba-tiba mengecup pipiku. Mr. Felix biasa saja, sih, melihatnya. Mungkin karena dia tahu kalau kami pengantin baru, jadi paham. Berbeda denganku yang masih butuh penyesuaian. Bukannya enggak suka. Aku suka banget diperlakukan seperti ini. Akan tetapi, aku kan jadi mikir yang enggak-enggak. Jangan-jangan, Radit sama mantannya begini juga. Mendadak insecure aku. Ah, sudahlah.

Dari tadi kepala Radit bertengger di atas kepalaku. Sesekali dia juga ndusel-ndusel ke rambutku yang sudah berantakan akibat ulahnya. Kadang dia bisik-bisik juga di telinga. Pokoknya kami bermesraan terus seharian. Kayak enggak peduli sama orang sekitar. Mohon maklum, lagi kasmaran. Hehehe ....

Setelah mengantre hampir lima belas menit dan selesai diperiksa para petugas keamanan, akhirnya kami berhasil masuk ke dalam area utama. Mr. Felix juga ikut masuk. Dia selalu siap sedia di sekitar kami, tetapi membiarkan aku dan Radit berkeliling sepuasnya. Ketika ada yang harus dia jelaskan, Mr. Felix langsung menghampiri. Dia juga yang berperan sebagai juru foto. Hampir semua gambar yang kita kami ambil hari ini, Mr. Felix yang foto.

Lelaki yang sepertinya berumur sekitar empat puluh tahunan ini, orangnya sabar banget. Aku sudah enggak segan lagi untuk mulai bawel dan bertanya ini-itu. Ya, hitung-hitung latihan conversation sama bule. Mulai sekarang kan, di sekitarku orang bule semua. Semoga saja di York nanti aku bertemu orang Indonesia.

Berkeliling di tempat seluas ini sama sekali enggak membuatku kelelahan. Mungkin karena aku sedang bahagia maksimal banget sekarang. It's a dream comes true. Aku serasa lagi nonton film langsung dari tempat pembuatannya. Banyak banget set tempat-tempat yang ada di film Harry Potter.

Ada ruang kerja Dumbledore, Asrama Gryiffindor, Slytherin, ruang makan yang selalu ada di setiap film yang atapnya kayak langit atau disebut The Great Hall. Lalu ada area pertokoan Diagon Alley, ada Platform juga lengkap sama Hogwarts Express, Forbidden Forest, Gringots Wizarding Bank, dan area pameran berbagai macam properti yang dipakai syuting film. Sampai ada miniatur rumah keluarga Dursley di 4 Privet Drive.

Pokoknya aku selalu enggak bisa berhenti terkagum-kagum sama apa yang aku lihat di sana. Radit juga kelihatan bersemangat. DiIa mengikuti aku ke sana-kemari tanpa melepaskan tangannya. Radit mengaku bangga pada dirinya sendiri karena sudah merencanakan ini semua. Aku pun lega banget. Suamiku ini punya selera dan inisiatif yang bagus. Jadi makin cinta, deh..

Hampir empat jam kami habiskan di dalam area studio. Sekarang kami sudah kembali ke area lobi setelah melewati souvenir shop dan membeli beberapa barang. Aku beli gelas, syal Gryffindor, sama cokelat kodok yang dimakan Ron pas di kereta.

Ternyata bahagia banget, ya, membelanjakan uang suami. Sayangnya sampai sekarang, aku sama Radit belum juga membicarakan berapa jatah uang jajanku per bulan. Padahal itu krusial banget dalam kelangsungan hidup berumah tangga.

"Mia, kamu enggak laper? Makan dulu aja, yuk, sebelum pulang," ajak Radit sambil melihat ke arah jam tangannya. Aku sampai lupa kalau sebentar lagi sudah masuk ke waktu makan malam. Radit kelihatan sudah lapar sampai meminta makan. Jadi enggak enak.

"Ya udah, Kak. Di Food Hall sini aja, ya? Daripada pusing lagi cari tempat makan di luar," jawabku menyarankan.

Radit langsung mengangguk setuju, lalu berbicara pada Mr. Felix. Kami bertiga berjalan ke area Food Hall setelah melewati patung naga super besar yang digantung di atas hall. Kalau enggak salah ini adalah naga yang membantu Harry, Hermione, dan Ron untuk melarikan diri dari Gringotss.

Radit menuntunku sampai tahu-tahu aku disuruh duduk di salah satu kafe. Aku memilih fish and chips untuk menu makan malam, sedangkan Radit memesan burger. Mr. Felix tadi sempat ikut duduk, tetapi pamit untuk makan di tempat lain.

"Are you happy?" tanya Radit begitu duduk di hadapanku setelah memesan makanan. Tentunya aku langsung mengangguk heboh.

"Happy banget, dong, pastinya. Thank you so much, ya, Kak," jawabku sambil menatapnya penuh cinta. Radit ikut tersenyum, lalu mencubit hidung dan kedua pipiku.

"Kamu tuh, menggemaskan sekali, sih," katanya lagi. Tawaku keluar begitu saja saat mendengar pujiannya. Ya, aku memang menggemaskan, sih.

Begitu selesai makan, mataku enggak sengaja menangkap sosok Mr. Felix yang sedang meminum kopi dari cup-nya. Dia minum Starbucks. Aku jadi penasaran, di mana konternya. Sudah dua hari aku enggak minum kopi. Rasanya kayak ada yang hilang dari hidupku.

"Kak, Mia mau nyamperin Mr. Felix dulu, ya. Mau nanyain dia beli Starbucks di mana."

Setelah Radit mengangguk, baru aku berjalan menghampiri sang tour guide.

"Mr. Felix, where did you buy that coffee?" tanyaku penasaran.

"There," tunjuk Mr. Felix ke arah konter berbentuk setengah bulat, tidak jauh dari tempat aku berdiri.

"Thank you," balasku. Mataku lalu beralih ke Radit yang sedang mengawasiku dari meja. Dengan langkah cepat, aku kembali menghampirinya.

"Kamu mau beli kopi?"

Aku mengangguk. "Iya mau, Kak. Penasaran kopi Inggris kayak gimana rasanya," jawabku seraya tersenyum.

"Ya, udah. Beli, gih. Mau ditemenin, enggak?"

Aku menggeleng. "Deket kali, Kak. Lihatin Mia dari sini aja. Insyaallah enggak akan nyasar," jawabku percaya diri. Radit mengizinkan, lalu mengambil dompet dari saku celananya. Dia mengeluarkan sebuah kartu ATM berwarna emas, dan memberikannya padaku.

"Pinnya tanggal pernikahan kita, ya, Sayang. Aku titip espresso satu."

Aku menerima kartu ATM Radit dengan senang hati, lalu mengangguk sebelum pergi ke konter toko kopi favoritku.

Enggak ada antrean di depan tempat pemesanan. Jadi aku bisa langsung membeli minuman yang aku mau. Setelah sekitar sepuluh menit, aku sudah berjalan kembali ke meja. Aku membeli caramel frappuccino dan espresso untuk Radit.

"Terima kasih, Sayang," ujar Radit saat menerima pesanan minumannya dari tanganku.

"Sama-sama, Kak. Ini kartu ATM-nya." Aku menjulurkan tangan ke arahnya, tetapi Radit malah menggeleng.

"Itu ATM buat kamu. Nanti setiap bulan aku transfer uang untuk keperluanmu dan dapur ke situ, ya. Sorry, aku sampai lupa bicarain ini sama kamu, padahal udah kusiapin dari awal," balasnya sebelum mengulas sebuah senyuman penuh arti.

Aku agak terkejut dan langsung berterima kasih. Sebelum memasukkan kartu emas ini ke dalam dompet, aku sempat mengamatinya dahulu. Dalam hati, aku penasaran. Berapa, ya, jatah bulanan yang ditentukan Radit? Semoga saja sesuai harapan.

"Yuk, pulang. Kamu udah puas, kan?"

"Iya, udah, Kak. Mia juga udah lelah banget ini."

"We're going back to the hotel, Sir," sahutku kepada Mr. Felix menggantikan peran Radit. Mr. Felix mengangguk, lalu berjalan memimpin ke arah pintu keluar.

"Besok kita ke mana, Kak? Kalau agak siangan perginya, boleh? Kayaknya Mia bakal tepar, deh," kataku kepada Radit sambil berjalan beriringan dengannya. Radit menoleh ke arahku, lalu mengangguk sambil tersenyum. Lengkap dengan lesung pipinya yang selalu memikatku.

"Boleh, dong. Apa sih yang enggak buat kamu? Aku punya satu kejutan lagi buatmu besok."

"Wah, kejutan apa nih?"

"Kalau dikasih tahu, bukan kejutan lagi dong namanya."

"Ah, iya. Bener juga. Hehehe ...."

Jadi enggak sabar besok. Kira-kira Radit mau mengajak aku pergi ke mana, ya?

***

Leadenhall Market

Piccadilli Circus

Stasiun King's Cross

Peron 9 3/4

Passport sebagai tanda masuk ke Warner.Bros Studio Tour - The Making of Harry Potter

Set Diagon Alley

Kantor Prof. Dumbledore

Area lobi utama

Display kostum

Asrama Griffindor

Ceritanya ini Mia, difotoin Radit.

Semua foto-foto aku ambil dari Pinterest yah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro