Bab 16 - Kado Yang ...
♡
"Kak, kok lama banget mandinya?" tanyaku sangat penasaran.
Radit sudah memakai pakaian santainya. Dia kelihatan segar banget. Rambutnya masih basah, tetapi gantengnya sudah maksimal. Bikin aku deg-degan saja.
Dia berjalan cuek melewatiku sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Matanya sama sekali enggak melirik ke arahku yang sedang menanti jawaban. Sebegitu kesal kah, dia?
Sungguh, aku enggak paham sama jalan pikiran laki-laki. Terlebih Radit adalah lelaki dewasa yang pasti memiliki pemikiran berbeda dengan dua orang cowok yang pernah menjadi pacarku dahulu. Mantan-mantanku enggak ada yang pendiam, bawel semua. Malah ada yang lebih bawel dari aku, makanya kami putus.
Radit ini lelaki dengan pembawaan paling tenang yang pernah aku kenal, sepanjang dua puluh dua tahun aku hidup di muka bumi. Papaku saja masih lebih banyak bicara dan mudah ditebak. Beda banget sama Radit. Menikah itu ternyata sangat memeras otak, ya. Sama saja kayak kuliah. Huh.
Aku mengikuti setiap pergerakannya dari posisi duduk. Ingin menghampiri, tetapi ragu. Jariku malah menghitung sudah berapa hari kita kami resmi menjadi suami- istri.
Baru empat hari! Wajar kan kalau kami belum melakukan yang seharusnya? Lagi pula, pas malam pertama aku sedang datang bulan. Kemarin sudah selesai, sih. Yang jadi masalah, mental dan batinku yang belum selesai menyiapkan diri.
Apa Radit kecewa karena itu? Karena sejauh ini yang kami lakukan cuma cium-cium saja? Ah, daripada terus bingung, lebih baik aku mandi dulu, deh.
"Kak, Mia mandi, ya," pamitku setelah membawa perlengkapan mandi dan baju ganti.
Radit cuma mengangguk sekilas sambil melihat dari balik pundaknya. Dia lagi fokus menikmati pemandangan di balkon kamar, sama sepertiku tadi. Aku menghela napas panjang, lalu masuk dan mengunci pintu.
Begitu berbalik, aku langsung dibuat terperangah. Mataku membulat penuh. Mulutku pun menganga. Kegalauanku hilang sudah. Kamar mandinya ternyata keren dan luas banget. Dinding serta lantai dan warna wastafelnya putih semua. Mewah sekali. Pantas saja Radit betah. Aku juga bakal betah kalau mandi lama di tempat begini.
Setelah menggantung piama, aku berjalan ke meja wastafel. Mataku mengabsen satu per satu perlengkapan mandi yang disediakan hotel. Lengkap banget. Bahkan alat cukur jenggotnya itu yang yang elektrik, bukan yang manual seperti yang biasanya disediakan hotel yang di Indonesia. Keren. Jubah mandi juga tersedia. Mereka berdua tergantung rapi di dekat pintu.
Aku mulai membuka baju dan siap-siap mandi. Berendam kayaknya enak. Biar rileks semua badanku. Duduk belasan jam di pesawat ternyata sesuatu banget. Leher, punggung, tangan, dan kakiku kaku semua.
Terkejut sekaligus terharu, itu yang aku rasakan saat mendapati kalau bathtub-nya sudah penuh oleh air hangat. Setelah penolakanku tadi, Radit masih saja perhatian. Aku jadi merasa jahat banget sebagai istri.
Tanpa buang waktu, aku segera melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Aku berendam sampai tinggal kepala saja yang menyembul di udara. Sensasi air hangat langsung terasa di setiap jengkal tubuhku. Seiring dengan mulai menghilangnya rasa pegal yang sejak tadi mengganggu. Mata ini juga mulai menutup setelah mendapatkan posisi yang ternyaman. Hingga kegelapan perlahan berganti menjadi sebuah bunga tidur yang melenakan.
***
Saat sedang mengeringkan badan, edaran mataku jatuh pada jubah mandi yang masih tergantung rapi dan belum tersentuh sama sekali. Ada ide gila yang tebersit di pikiranku. Namun, segera aku cegah dan lupakan secepat kilat. Aku kan masih polos. Kalau sampai melakukan hal nekat lagi dalam satu hari yang sama, bisa-bisa Radit kira aku aneh. Aku harus bisa menjaga imej.
Sekuat tenaga aku enggak menatap lagi ke arah sana. Meski jubah mandi itu seperti sedang menari-nari untuk berusaha menggodaku. Aku berbalik dan berjalan ke arah piama katun berwarna pink cerah yang aku gantung di pintu. Sesudah memakai pakaian dalam, tanganku malah diam. Padahal tadi otakku sudah menyusun rencana yang normal. Namun, yang terjadi sungguh di luar keinginan. Bukannya mengambil piama, tanganku malah mengambil jubah mandi berwarna putih bersih yang sudah mengganggu sejak tadi.
Kegiatan mandiku baru saja selesai beberapa menit yang lalu, tetapi sekarang badanku sudah berkeringat lagi karena kelewat gugup. Apa ini yang dirasakan Bella saat dia mandi dan Edward menunggunya di dalam laut?
Kepalaku menggeleng sembari terus menarik napas panjang sampai akhirnya aku mulai tenang. Butuh waktu beberapa menit, hingga aku berhasil membulatkan tekad. Sambil memakai jubahnya, kedua mataku terus menatap ke arah cermin besar di tengah ruangan. Aku tampak cantik, kok. Walau enggak begitu seksi dan menggoda. Namun, untuk saat ini, sepertinya sudah cukup.
Setelah melatih beberapa pose aneh, aku tersadar kalau ikatan talinya terlalu kencang. Apa aku ikat satu kali saja, ya? Akan tetapi, nanti jadi terlalu gampang kalau hanya satu ikatan.
Ah, aku jadi pusing. Baiklah, aku ikat pita saja, deh. Kan, ceritanya aku kado. Hahaha ....
Saking gugupnya aku hampir gila. Ya, ampun! Sudah Mia, keluar sekarang! Sekarang!
Aku berhasil melangkah keluar dengan tingkat kepercayaan diri yang melonjak drastis. Namun, keadaan itu enggak bertahan lama ketika aku sadar kalau Radit enggak ada di balkon. Kedua mataku otomatis menoleh ke arah tempat tidur yang berada di balik tembok.
Lalu, pundakku langsung memerosot. Bahkan kakiku mendadak lemas. Kalau enggak pegangan ke lemari yang ada di sebelah, mungkin aku sudah terjatuh ke lantai. Ingin teriak-teriak rasanya. Aku kesal banget. Sudah semangat begini, tahunya si Radit malah molor. Dia tidur pakai bergaya segala lagi. Merentangkan tangan dan kaki selebar-lebarnya kayak bintang laut.
Dasar Patrick! %$#$%&*$#*$%^&#$$*
Setelah puas mengomel dalam hati, aku berusaha mengatur napas. Ingin aku jitak kepalanya, tetapi aku tahu itu enggak boleh. Enggak sopan. Radit kan umurnya tujuh tahun lebih tua dari aku. Sama saja aku menjitak orang tua kalau kayak begitu.
Sembari menggelengkan kepala, aku berusaha menerima situasi, dan tetap berpikiran positif. Radit pasti kecapekan sampai tertidur karena menunggu aku yang terlalu lama mandi. Ya, itu masuk akal, sih. Akan tetapi, bisa-bisanya dia tidur pas lagi kelaparan. Kalau aku sih, enggak akan bisa.
Daripada penasaran, aku putuskan untuk berjalan mendekat. Dia kelihatan polos banget. Sejujurnya aku sering merasa gemas sendiri ketika diam-diam memandangi wajah Radit saat dia lagi tidur. Cuma aku sering menjaga imej karena enggak mau ketahuan kalau aku mulai jatuh cinta sama dia.
Gara-gara melihatnya dari dekat, rasa kesalku mulai berangsur hilang. Semua kata-kata umpatan di kepalaku juga sudah keluar semua. Jadi perasaanku sudah sedikit lebih lega. Aku memutuskan untuk duduk di tempat tidur. Di antara tangan dan kakinya yang melintang berlawanan arah. Mataku terus memperhatikan Radit yang sedang tertidur nyenyak. Tarikan napasnya teratur. Dia juga enggak mendengkur atau membuka mulut saat tidur. Pokoknya ganteng banget, deh.
Lama-lama aku mulai tertawa sendiri, sambil membayangkan ide jail yang akan aku lakukan sebentar lagi. Kebetulan aku belum punya foto Radit, kecuali yang dikasih Teh Nuri waktu itu. Aku juga baru ingat, kita kami belum pernah foto bareng sampai sekarang, selain foto pernikahan.
Padahal, kalau lagi bertemu sama Aysha dan Nadhira, aku sering banget foto-foto. Sedikit-sedikit, cekrek, cekrek. Bertemunya cuma satu jam, tetapi fotonya bisa ratusan. Anehnya jika bersama Radit, aku enggak berani mengajaknya mengambil foto. Semacam mati gaya gitu. Dia juga cuek-cuek aja orangnya. Jadi, ini adalah kesempatan emas. Aku makin tambah semangat.
Sambil mengendap-ngendap kayak maling, aku berjalan ke meja kaca yang ada di depan sofa, untuk mengambil ponselku. Lalu aku kembali ke samping tempat tidur dengan melangkah sepelan mungkin. Setelah berhasil jalan tanpa suara, aku mulai duduk sepelan mungkin supaya kasurnya enggak goyang. Berjaga-jaga, agar rencanaku enggak gagal.
Jempol kananku sudah berhasil menekan ikon kamera dan mengarahkan lensa tepat di depan wajah Radit yang masih tertidur pulas. Sekuat tenaga aku menahan tawa sampai sesak napas. Aku berpikir untuk memilih mode foto rangkaian supaya dengan sekali tekan bisa langsung mengambil sepuluh gambar. Maksudnya ingin irit waktu, tetapi dapat hasil maksimal. Lalu aku tekan ikon kamera di layar ponsel, dan ....
Cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek.
Suara cekrek sepuluh kali berbunyi cukup kencang, bergema hingga ke sekeliling ruangan. Walau enggak sampai lima detik, tetapi rentetan bunyi itu berhasil membuat mata Radit langsung terbuka lebar. Dia bangun karena kaget, dan aku kaget karena dia bangun. Dengan gerakan cepat dia duduk, lalu kepalanya menoleh ke arahku.
"Kamu ngapain?" tanyanya agak berteriak dengan mata memelotot. Aku meringis. Ketawa sendiri kayak orang aneh sambil mengambil ancang-ancang untuk kabur.
"Enggak ngapa-ngapain kok, Kak. Tadi Mia lagi foto-foto pemandangan aja. Hehehe .... Mia pipis dulu ya, Kak," kataku sebelum mengambil langkah seribu kabur ke kamar mandi.
"STOP! Berhenti di situ!" teriaknya tegas. "Kamu mau ke mana? Sini balik! Duduk. Kita harus tentuin mau makan di mana," perintahnya galak.
Dengan gerakan cepat, aku berbalik menghadapnya. Sorot mata Radit kelihatannya belum fokus. Sepertinya dia enggak sadar apa yang sedang aku pakai sekarang.
"Terserah Kakak aja, deh. Mia ngikut. Mau pipis dulu ya, Kak. Kebelet, nih. Maaf."
Begitu berhasil menutup pintu kamar mandi dan menguncinya, aku langsung terduduk lemas di lantai. Dari tadi aku terus menyalahkan diri sendiri karena sudah berani melakukan ide gila tanpa memperhitungkan konsekuensinya. Aku malu banget. Hancur sudah harga diriku.
"Mia, kamu kenapa? Keluar dulu sini. Ngobrol dulu, yuk!" panggil Radit dari balik pintu. Radit memanggilku dengan suara super lembut. Dari nada bicaranya aku jadi sadar kalau pikiranku tadi salah.
"Mia enggak mau keluar. Malu!" balasku sambil berteriak.
"Ngapain malu, Mia? Ayo keluar sekarang. Kalau enggak, aku tinggal, nih," ancam Radit.
"Loh? Kok Kak Radit malah ngancem Mia, sih?"
"Eh, aku bercanda, kok. Ayolah keluar .... Aku mau pesen makanan enak, nih. Masa kamu enggak mau makan? Aku mau pesen steik, loh. Tenderloin pake saus mushroom. Hm, yummy ...," ujar Radit dengan nada yang dibuat-buat. Aku jadi sedikit tertawa tanpa bersuara.
"Tapi, Mia sukanya pake saus blackpepper, Kak."
"Ya, udah. Aku pesenin pake saus blackpepper." Kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauh. Aku bangkit dan menempelkan telinga ke pintu. Berusaha mencuri dengar untuk memastikan situasi.
"Mia! Aku udah pesenin makanannya, ya! Sebentar lagi makanannya datang. Kalau kamu enggak keluar aja, nanti aku habisin semua steiknya!" teriak Radit, berusaha membujukku untuk keluar.
Suaranya terdengar kecil. Mungkin dia teriak dari sofa atau tempat tidur. Sepertinya ini waktu yang tepat kalau aku mau keluar. Jadi pas buka pintu, enggak langsung melihat mukanya.
Kakiku melangkah cepat ke arah pintu, karena takut kehilangan momen. Sebelum benar-benar keluar dari tempat persembunyian, aku menarik napas panjang, lalu aku embuskan perlahan. Detak jantungku masih berdegup kencang, tetapi perutku sudah enggak bisa diajak kompromi lagi. Aku sudah sangat lapar sekarang.
Sepelan mungkin aku memutar kenop, supaya enggak menimbulkan suara berisik. Kepalaku sempat celingak-celinguk di ambang pintu untuk memeriksa situasi. Radit enggak kelihatan. Mungkin dia lagi duduk di kursi dekat tempat tidur, atau di mana lah.
Aku menegakkan badan sebelum berjalan mantap ke arah sofa. Baru beberapa langkah, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara Radit yang ternyata ada di belakangku selama ini. Sial! Niat banget dia bersembunyi di balik lemari.
"Kamu ngapain jalan ngumpet-ngumpet begitu? Kayak maling aja," tegur Radit iseng.
Kepalaku otomatis berputar seratus delapan puluh derajat, tepat ke arahnya. Dia berdiri menyandar ke lemari sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Sumpah, dia sok keren banget sekarang. Menatap aku pakai tatapan mempesonanya lagi. Memang, sih, wajahnya tampan. Mirip sama aktor-aktor asal Korea Selatan yang aku tonton di Netflix, tapi sekuat tenaga aku menahan diri. Imejku yang jadi taruhannya.
"Hm, Mia enggak ngumpet-ngumpet, kok. Cuma jalan pelan-pelan aja. Kan hati-hati itu nomor satu," elakku asal. Sedetik kemudian aku menyesal sudah mengatakan alasan yang enggak masuk akal.
Perkataanku malah bikin Radit tergelak. Dia tertawa puas banget sampai susah napas. Aku mendengkus sebal. Lagi-lagi aku jadi bahan tertawaan.
"Kak, jangan ketawa terus, sih!" bentakku sembari berjalan ke arah sofa. Aku mengambil remote dan menyalakan TV. Radit terlihat mau menyusulku, tetapi bel pintu lebih dulu berbunyi.
Enggak lama setelahnya, Radit kembali masuk. Dia mendorong troli makanan, dan mengarahkannya ke dekat tempatku duduk sekarang.
"Kok, malah Kak Radit yang dorong trolinya? Petugasnya enggak ikut masuk, Kak?" tanyaku heran. Radit malah diam. Enggak menjawab pertanyaan. Bahkan dia terlihat enggan melihatku ketika sedang memindahkan piring-piring makanan ke meja di depan sofa.
"Aku enggak ngebolehin petugasnya masuk," jawab Radit akhirnya.
"Kenapa?" tanyaku bingung.
Radit berdiri tegak, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Dia mengamatiku sambil mengangkat kedua alisnya. "Kamu enggak sadar, gimana penampilanmu sekarang?" tanyanya dengan nada menyindir.
Ekspresi wajahnya yang serius membuatku sadar kalau ada yang enggak beres. Mataku langsung melihat ke arah yang sedang Radit tatap.
"Aaaaaaaaaaa!"
Aku berteriak kencang sekali sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. Menutupi yang tadinya mau aku perlihatkan dengan penuh rencana, tetapi berujung gagal total.
♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro