Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15 - Welcome to London!

Setelah melalui perjalanan hampir sembilan belas jam, dan sempat transit di Amsterdam, akhirnya aku dan Radit mendarat dengan selamat di Bandara Heathrow, London. Sekarang masih jam sepuluh pagi waktu London. Rencananya dari bandara kami berdua akan langsung ke hotel yang sudah dipesan oleh Radit.

Honeymoon trip selama di sini akan diatur semua oleh Radit. Dia sok misterius, gitu. Enggak mau kasih tahu booking hotel di mana atau jadwal jalan-jalannya ke mana saja. Katanya, biar jadi kejutan. Jadi, aku tinggal mengikuti dia saja. Aku senang sih, enggak sabar mau lihat. Semoga saja selera Radit sesuai dengan ekspektasiku.

Selama di perjalanan tadi, kami berdua mengobrol terus sampai lupa tidur. Membicarakan banyak hal yang belum sempat didiskusikan sebelumnya. Mulai dari prinsip hidup, sampai pandangan kami soal pernikahan. Jangan membayangkan obrolan berat yang serius, ya. Selama mengobrol tadi kami lebih banyak ketawa.

Maksudnya, Radit yang tertawa karena menertawakan pemikiranku. Radit bilang katanya aku lucu. Isi otakku pun, lucu. Hm, itu pujian atau hinaan, ya? Aku juga masih bingung. Pokoknya obrolan panjang nan menyenangkan tadi bikin kami cuma tidur sekitar empat jam saja. Makanya Radit kekeuh mau istirahat di kamar hotel dulu karena dia capek. Ya, maklumlah. Dia kan sudah mulai menua. Beda sama aku yang masih belia.

Aku sampai tergelak karena pemikiran konyolku barusan.

"Ngelamunin apaan, sih? Dari tadi aku perhatiin kamu senyam-senyum sendiri terus," tegur Radit. Dia lalu menarik dua koper besarku ke arah taksi yang sudah dia pesan tanpa menunggu jawaban.

Sejak tadi aku memang terus melamun sambil menunggu Radit pesan taksi. Habis cuaca London lagi cerah berawan. Bikin betah berkhayal.

"Ayo, Mia!" panggil Radit yang sudah berdiri di samping pintu taksi.

Aku langsung berdiri dan berjalan cepat ke arahnya. Dia memintaku masuk ke dalam taksi dengan sebuah anggukan kepala. Radit juga menaruh tangannya di atas kepalaku waktu aku menunduk untuk masuk ke dalam taksi. Sweet banget kan, suamiku ini?

"Marriot County Hall, please," ucap Radit pada sopir taksi yang langsung disambut dengan anggukan halus.

Aku sempat bertanya ke Nadhira, harus naik apa ke pusat kota dari bandara. Kebetulan dia sudah pernah ke London sebelumnya. Kata Nadhira, kalau bisa jangan pakai taksi. Pakai kereta underground saja, karena tarif taksi bandara mahal. Namun, begitu melihat Radit cari taksi, aku langsung manggut-manggut sambil tersenyum.

Radit bilang, perjalanan dari bandara ke hotel menempuh waktu sekitar tiga puluh menit kalau jalanan lancar. Akan tetapi, ternyata lalu lintasnya lumayan ramai hari ini. Mungkin karena sudah mau masuk waktu makan siang jadi orang-orang pada cari makan di luar.

"Mia, kamu mau makan apa nanti? Cari makanannya di sekitar hotel aja, ya? Atau mau pesan makanan hotel?" tanya Radit tanpa jeda. Aku dengar sih, tetapi enggak begitu jelas. Jadi aku pura-pura enggak mendengar saja, ah.

"Mia?" Kali ini dia bersuara tepat di dekat telingaku.

"Eh, apa, Kak? Mia enggak begitu jelas dengarnya," jawabku sekilas, lalu kembali melihat ke luar jendela.

"Kamu mau makan di mana? Di luar apa di kamar hotel aja?" Radit mengulangi pertanyaannya dengan sabar.

"Terserah Kak Radit aja," jawabku singkat.

Radit jadi mengembuskan napas, lalu menggelengkan kepala. Aku mengintip dari balik bahu. Kelihatannya dia kesal karena aku terlalu serius melihat ke luar sampai enggak begitu memperdulikan suami sendiri.

"Sori, Kak. Mia terlalu terpesona sama kota London," kataku jujur.

"It's okay. Aku ngerti, kok. Tapi, jangan sampai enggak menjawab pas suami tanya. Terus, kalau lagi ngomong ditatap gitu, akunya. Jangan dikasih lihat belakang kepalamu aja," tegur Radit pelan.

Aku mengangguk sambil menyengir lebar. "Siap, Pak! By the way, ini masih jauh hotelnya, Kak?" tanyaku penasaran. Sedetik kemudian, mataku langsung membulat ketika melihat landmark kota London yang selama ini hanya aku lihat dari foto atau video saja.

Detak jantungku semakin cepat. Aku makin enggak sabar.

"Wah .... Itu Big Ben, ya? Wah .... ada Ada London Eye juga. Pengen naik itu, deh. Mahal enggak sih, Kak?" tanyaku heboh saking kagumnya.

"Udah dekat, kok. Kamu mau naik London Eye?"

Aku mengangguk. Mulutku melengkung sempurna. Pipiku pasti jadi tembam banget sekarang.

"Ya, udah. Sekalian nanti malam, deh," jawab Radit setuju. Aku langsung memeluk erat lelaki yang baru tiga hari ini menjadi suamiku.

"Thank you, Kak Radit Sayang," ujarku dengan nada manja. Radit tergelak, lalu menyentil hidungku.

"Kalau ada maunya aja baru manggil Sayang," sindirnya. Aku jadi ikut tertawa salah tingkah.

Yah, ketahuan, deh.

***

Taksi yang kami tumpangi akhirnya berbelok masuk ke halaman sebuah gedung yang tampilan eksteriornya seperti dari Abad Pertengahan. Dindingnya terbuat dari bebatuan. Berbeda dengan hotel-hotel di Indonesia pada umumnya. Aku terperangah dan terkagum-kagum ketika taksi memutar mengelilingi air mancur super besar sebelum berhenti di depan pintu lobi utama. Dari luar saja sudah bagus begini. Bagaimana di dalamnya?

Kami berdua disambut hangat oleh seorang petugas hotel berseragam lengkap. Persis seperti yang pernah kulihat di film-film. Kalau enggak salah sebutannya porter atau concierge. Petugas lelaki berambut pirang cepak itu dengan sigap membantu Radit dan supir taksi memindahkan koper-koper dari dalam bagasi.

Aku menunggu di depan pintu lobi, sementara Radit membayar biaya taksinya. Begitu selesai, dia menghampiriku. Tentunya langsung meraih tanganku dan menggenggamnya. Enggak pakai menawarkan dahulu seperti sebelumnya. Porter yang tadi juga ikut masuk dan menunggu kami menyelesaikan proses check-in di sudut lobi yang mengarah ke lorong lift.

Lobi hotel ini luas dan megah. Setiap dindingnya ditempel oleh panel kayu. Ada satu lampu gantung super besar di tengah ruangan yang langsung menjadi pusat perhatian begitu aku melangkah masuk. Di dekat sofa juga ada ceruk perapian warna hitam. Pokoknya klasik banget deh, interiornya.

Mataku kembali beralih ke Radit yang sejak tadi berbicara pakai bahasa Inggris. Aku mengerti sih, tetapi kalau diajak mengobrol sama bule betulan, aku masih takut. Sebenarnya kemampuan bahasa Inggrisku lumayan. Hanya kosa-kataku yang belum banyak. Sepertinya mulai sekarang aku harus latihan terus biar cepat lancar.

"Ayo, Mia. Aku udah beres," ajak Radit.

Dia merangkul pundakku setelah memasukkan kembali paspor dan kartu kreditnya ke dompet. Sekilas aku bisa melihat isi dompet Radit. Kelihatannya kartu dia banyak, deh. Kira-kira, aku bakal dikasih pinjam enggak, ya?

Aku memikirkan itu sampai tersenyum lebar.

"Kamu lagi mikirin apa? Kayaknya hari ini doyan banget ngelamun," tegur Radit. Lagi-lagi aku kepergok keasyikan mengkhayal.

"Maaf, Kak. Habis banyak banget yang baru pertama kali Mia lihat. Jadi masih di fase terkagum-kagum gitu Mia-nya," jawabku sambil garuk-garuk kepala. Radit mengangguk. Pastinya dia paham sama kelakuanku.

Porter yang tadi, pamit setelah diberi tahu nomor kamar kami oleh Radit. Dia kayaknya mau naik lift yang berbeda, terus nanti ketemu di depan kamar. Aku enggak sabar banget. Ingin melihat kamarnya seperti apa. Sebab tadi, tepat sebelum taksi berbelok ke area hotel, kami menyeberangi jembatan yang super panjang dulu. Nama jembatannya Westminster Bridge. Tadi aku langsung cari tahu sembari menunggu Radit. Tepat di belakang gedung hotel ini, ada London Eye. Pasti asyik banget bisa memandangi Sungai Thames dan London Eye dari jendela kamar.

Angka di monitor lift berhenti di lantai enam. Kami pun keluar dari dalam, dan ternyata porter tadi sudah standby di dekat lift yang kami pakai. Aku sempat bingung beberapa detik. Namun, rangkulan Radit membuat perhatianku kembali terfokus padanya. Dia berjalan memimpin sekaligus sedikit menyeretku. Dalam waktu beberapa hari, entah sudah berapa kali dia harus menyeretku ketika fokusku teralihkan. Di kasus ini yang salah Radit, ya. Bukan aku. Kakinya saja yang terlalu cepat melangkah.

Setelah berhenti di depan pintu kamar dengan plakat bertuliskan angka 612, jantungku berdetak semakin cepat. Sebetulnya sekarang aku sangat gugup, karena sepertinya kali ini akan menjadi bulan madu yang sesungguhnya untuk kami berdua. Bukan cuma kecup-kecup manja seperti kemarin lagi, tapi .... Ah, sudahlah.

Dengan gerakan cepat, Radit sudah mengambil kartu kamar dari saku celananya. Enggak butuh waktu lama, suara beep terdengar. Radit langsung membukakan pintu untukku dan membiarkan aku menjadi orang pertama yang masuk ke dalam kamar bulan madu kami.

Begitu melangkah maju, aku langsung dibuat kehabisan kata-kata. MasyaAllah, bagus banget kamarnya. Pemandangannya apalagi. Cuma perasaan bahagia sekaligus haru yang memenuhi hatiku saat ini.

Tanpa buang waktu aku segera berjalan cepat. Meninggalkan Radit dan porter tadi yang sedang mengurus koper-koper. Hal pertama yang aku serbu tentu saja balkonnya. Lagi-lagi aku dibuat takjub. Kamar yang Radit pilih, menghadap ke arah Sungai Thames, London Eye, sekaligus Big Ben. Mau menangis rasanya.

Setelah mengagumi serta menikmati pemandangan langsung dari balkon, aku kembali masuk ke dalam kamar. Radit masih beres-beres, tetapi porternya sudah pergi. Aku menghampirinya sambil menatap malu-malu. Awalnya dia enggak sadar kalau aku sedang memandang penuh cinta ke arahnya. Namun, begitu dia selesai membereskan barang-barang, tatapan kami bertubrukan. Radit terkejut hingga matanya melebar. Mungkin bingung juga sama sikapku sekarang.

"Kamu kenapa?"

Bukannya menjawab, aku malah mengeluarkan suara tawa super aneh. Sebetulnya aku tertawa untuk mengulur waktu, sebab otakku masih sibuk berpikir. Memikirkan akan melakukan apa untuk menunjukkan rasa terima kasih yang teramat sangat. Akan tetapi, aku enggak mau cuma lewat kata-kata doang. Biar lebih berkesan gitu ceritanya.

"Hayo, lagi mikirin apa? Sampai merah begitu pipinya?" goda Radit seraya menyentuh rahangku pelan. Aku langsung menggeleng cepat.

"Hm, Mia .... Itu, Kak. Hm .... Makasih banyak ya, Sayang," jawabku pelan, hampir berbisik di kata terakhir. Kayaknya aku masih gengsi banget mau memanggil suami sendiri pakai panggilan itu.

Radit enggak menjawab. Dia malah mengamatiku. Aku jadi makin salah tingkah. Mungkin karena merasa terpojok, aku jadi terpikirkan hal nekat. Aku yakin sih, sesuatu yang akan aku lakukan sebentar lagi bakal bikin aku malu sepanjang hari. Akan tetapi, enggak apa, deh. Sekali-kali.

Setelah menarik napas, satu detik kemudian, bibirku sudah menempel di bibirnya. Aku mengecup Radit selama lima detik sambil memejamkan mata. Apa yang baru saja aku lakukan ini benar-benar merupakan sebuah kemajuan pesat.

Kami berdua memang sudah enggak terlalu begitu canggung sekarang. Namun, kalau masalah kontak fisik seperti mencium dan lainnya, sepertinya aku dan Radit masih merasa kagok satu sama lain. Buktinya sekarang Radit malah diam. Bukannya merespons kecupanku.

"Jangan bengong gitu dong, Kak," protesku. Mata Radit akhirnya kembali bergerak.

"Eh, aku kaget banget. Kamu mulai berani cium-cium ya, sekarang," godanya seraya menyipitkan mata. Pipiku semakin panas.

"Aku ... maksudnya tuh, makasih gitu, Kak. Kan kalau bilang doang, rasanya enggak sebanding sama yang Kak Radit kasih ke Mia. Makanya Mia kecup," balasku malah menjelaskan, padahal seharusnya sih, enggak perlu.

Aku menepuk pelan mulutku ketika sadar kalau yang baru saja aku bilang bikin Radit terpancing. Dia mulai mendekat. Menatapku dengan tatapan yang sulit aku jelaskan. Bisa dibilang, antara penuh cinta atau penuh nafsu. Yang jelas, aku jadi bingung harus bagaimana. Lebih baik diam saja atau menghindar, ya?

Saat langkah Radit semakin dekat, kakiku malah bergerak mundur. Responsku ini bikin Radit berhenti. Wajahnya kelihatan sedikit kecewa. Sebenarnya aku mau-mau saja, tetapi belum yakin sudah siap. Belum terbayang di pikiranku, melakukan itu tuh, harus bagaimana.

"Kak ... jangan marah," cegahku sebelum Radit berbalik.

Dia memang sudah mau mandi sebelum aku menginterupsi tadi. Di tangannya sudah ada kaus putih dan celana pendek warna biru gelap. Namun, Radit hanya melengos. Enggak menggubrisku dan langsung masuk ke kamar mandi. Aku panik. Sepertinya kali ini aku sudah bikin Radit kecewa.

Kenapa tadi pakai mundur segala sih, Mia? Jadi kacau kan, sekarang. Argh. Saking bingung harus melakukan apa, akhirnya aku jalan bolak-balik keliling kamar. Setelah sekitar lima putaran, aku menyerah. Lebih baik rebahan sebentar, deh, sambil menunggu ilham dari Ilahi.

Aku menunggu sambil melamun. Lalu tahu-tahu sudah hampir satu jam berlalu, tetapi Radit belum juga keluar. Aku kepikiran, jangan-jangan Radit lagi luluran atau sedang berendam di bathtub yang diisi dengan air hangat. Ah, bikin sirik saja.

Terlalu lama menunggu rupanya bikin aku mengantuk. Mungkin sebaiknya aku tidur dulu. Siapa tahu pas aku bangun, perasaan Radit sudah kembali normal.

Beberapa menit setelah mataku terpejam, terdengar suara pintu yang dibuka. Aku buru-buru duduk, lalu melirik ke layar ponsel untuk memeriksa waktu. Ternyata Radit keluar dari kamar mandi setelah satu jam lima belas menit. Entah dia melakukan apa di dalam sana, sebab enggak terdengar suara apa-apa.

Kata Aysha, laki-laki juga suka lama pas di kamar mandi, tapi bukan kayak perempuan yang ritual mandinya banyak. Ritual laki-laki itu beda. Terus waktu aku tanya lebih jelas maksudnya dia apa, Aysha malah enggak mau menjelaskan. Kata dia, lama-lama aku juga paham. Memang misterius banget sahabatku yang satu itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro