Bab 10 - Kebaya Bikin Heboh dan Kunjungan Tidak Terduga
Setelah beberapa saat, akhirnya Radit membuka pintuku. Dia muncul dengan dua buah koper dan satu tas laptop yang dia gendong.
"Ayo, Mia," ajak Radit sambil mengulurkan tangan. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergerak untuk menggapai ulurannya.
"Kamu mau ganti sepatu dulu, enggak? Kelihatannya kamu susah jalan kalau pakai high heels begitu." Radit berkata sambil menatap ke arah sepatuku.
"Tapi sandalnya di koper, Kak. Kalau Mia pegangan sama Kak Radit aja, enggak apa, kan?"
Radit tersenyum mendengar pertanyaanku, lalu mengangguk. Kemudian dia mempererat pegangan tangan lebar dan kokohnya di tanganku. Setelah memastikan aku aman, kami mulai berjalan.
Selama semua proses terjadi, aku enggak bisa mengalihkan tatapan mata darinya. Diam-diam terus mencuri pandang. Aku mengamati dari sudut mata. Kelihatannya aura cuek Radit sudah hilang. Ekspresi wajahnya beda banget.
Hal itu yang bikin dari awal masuk ke lobi sampai sekarang tahu-tahu tiba di depan pintu kamar, aku sama sekali enggak memperhatikan keadaan sekitar. Aku menggelengkan kepala beberapa kali saat sadar kalau aku enggak tahu kamar kami berada di lantai berapa.
Kayaknya, ungkapan kehadiran cinta bisa mengalihkan dunia, sedang terjadi padaku sekarang. Gawat!
"Mia, kamu kenapa? Aku enggak akan apa-apain kamu, kok. Enggak usah geleng-geleng kepala heboh gitu," tegur Radit panik.
Aku buru-buru menggeleng. "Eh, bukan itu, Kak. Tadi Mia ngelamun aja, kok."
"Oh...." Radit mengangguk, terlihat lega.
Setelah membuka pintu kamar lebar-lebar, Radit mempersilakan aku masuk lebih dulu. Segera saja mataku disuguhkan oleh pemandangan pepohonan rindang yang tampak meneduhkan di luar jendela. Aku jadi membayangkan rebahan di tempat tidur sambil menikmati semua ini. Pasti bikin betah seharian, deh.
"Wah... Bagus banget kamarnya. Ini Kak Radit yang pilih?" tanyaku heboh.
Aku berjalan cepat ke jendela kaca besar yang pertama kali menarik perhatian. Begitu jendelanya aku buka, semua panca indraku langsung terpuaskan. Sepanjang mata memandang, hanya ada pepohonan rindang hijau yang seakan menghipnotis. Angin semilir berembus ke arahku. Membawa wangi dedaunan yang segar ke dalam kamar. Bahkan, aku dibuat lupa kalau di luar sana, matahari sedang bersinar tepat di atas kepala.
Kepalaku langsung sibuk merancang rencana untuk menikmati waktu kosong di siang hingga sore. Antara rebahan di tempat tidur, atau duduk santai sambil minum kopi. Apalagi kalau ditambah hujan gerimis. Mantap banget!
"Kamu suka, kan?" tanya Radit yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingku.
Terlalu asyik melamun, membuatku lupa kalau aku enggak sendirian di kamar ini. Aku menoleh perlahan, dan melihatnya sedang ikut menikmati pemandangan seperti yang aku lakukan.
"Suka banget, Kak! Sebenernya Mia udah lama pengen nginep di sini. Akhirnya kesampean juga," jawabku dengan senyum amat lebar.
"Oh, ya? Syukur kalau begitu."
Radit memalingkan wajah dan kembali memandang ke luar. Bibirnya melengkung puas, membuat lesung pipinya terlihat jelas. Tanpa sepengetahuannya, aku mengamati sekaligus mengagumi ciptaan Tuhan yang tampak begitu sempurna di mataku.
Duh, kenapa jadi deg-degan, sih. Sadar, Mia. Sadar!
Aku buru-buru menggosok mukaku agak kasar, supaya fokusku teralihkan.
"Kamu mau mandi duluan?"
Pertanyaan Radit sukses bikin aku kaget. Aku langsung terbatuk-batuk karena terlalu cepat menarik napas. Bahkan sepertinya tadi kening Radit sempat mengerut gara-gara melihat kelakukanku. Untung saja dia enggak berkomentar.
"Boleh, Kak. Kebayanya bikin nggak nyaman banget," jawabku, sambil pura-pura sibuk membenahi keliman rok yang sebetulnya enggak berantakan.
"Oke. Kalau gitu sambil nunggu, aku mau buka laptop sebentar," jawabnya.
Aku mengangguk, lalu berjalan ke arah koper. Sedangkan Radit beranjak ke arah tas laptopnya. Setelah mengambil piyama katun warna pink pastel, juga sebuah pouch berisi alat-alat untuk membersihkan make up, aku masuk ke dalam kamar mandi.
Pertama-tama aku menurunkan penutup dinding kaca yang menjadi pembatas antara kamar mandi dan kamar tidur. Kan enggak lucu juga kalau kelihatan Radit pas lagi mandi. Walaupun dia sudah sah jadi suamiku, tetapi tetap saja.
Ah, gara-gara memikirkan itu, sekarang pikiranku jadi ternodai lagi. Untung saja hari ini aku masih berhalangan. Seenggaknya bukan malam ini. Aku betulan belum siap.
Selesai membersihkan isi kepala, sekarang giliran wajahku yang harus dibersihkan. Butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk mengelap mukaku sampai bersih. Sebelumnya aku memang jarang sekali memakai riasan wajah. Aku bukan tipe yang suka dandan. Berbeda dengan Aysha atau Nadhira.
Setelah sukses menyingkirkan semua polesan di wajah sampai tuntas dan mengeringkan muka dengan handuk putih tebal yang permukaannya begitu halus, tiba saatnya membuka kebaya. Baru di detik itu aku sadar kalau kebaya yang sedang kupakai ritsletingnya berada di belakang. Meski begitu, aku tetap coba membukanya sendiri.
Percobaan yang pertama gagal. Ternyata sulit banget. Aku kembali mencoba sampai akhirnya di percobaan ketiga, tanganku berhasil menurunkan ritsleting hingga punggung bagian atas. Tahunya itu belum cukup. Kebayanya enggak bisa kulepas. Sekali lagi aku coba dengan sedikit memaksa.
"Aw! Aduh ...."
Sial, malah urat tanganku yang tertarik.
"Mia? Kamu kenapa?" Radit menyahut cepat dari balik pintu.
"Enggak apa-apa, Kak. Tangan Mia ketarik doang, kok," jawabku sambil berusaha menahan rasa nyeri yang terasa sampai ke pundak.
Dengan hati-hati, tangan kiriku memijit-mijit lengan kanan. Mulai dari jari hingga ke sepanjang lengan sambil menghirup napas panjang berkali-kali, supaya detak jantungku kembali normal. Dalam hati aku juga terus berdoa semoga sakitnya segera hilang.
"Ketarik gimana? Bisa buka pintunya? Biar aku periksa," pinta Radit enggak sabar.
Awalnya aku enggan. Pasti malu kalau kelihatan Radit lagi kayak begini. Mana mataku sudah berair gara-gara menahan sakit. Akan tetapi, sepertinya aku memang enggak punya pilihan lain.
"Iya, Kak. Sebentar."
Begitu pintu kamar mandi berhasil kubuka, Radit langsung menerobos masuk. Dia muncul dengan wajah super khawatir, dan segera memeriksa pundak juga tanganku. Tepat di tangan yang uratnya tertarik.
"Aduh, pelan-pelan, Kak. Tangan ini yang uratnya ketarik." Aku mengaduh kesakitan lagi.
Wajah Radit semakin suram. Padahal sebenarnya ini hal biasa saja. Memang sakit, tetapi seharusnya lama-kelamaan bisa sembuh sendiri, kok. Apa responsku terlalu berlebihan, ya?
"Kenapa bisa ketarik gini? Kamu habis ngapain, sih?" tanya Radit galak.
"Itu, Mia mau buka ritsleting kebaya, Kak. Tapi, tangan Mia enggak nyampe. Terus Mia paksain. Jadi ketarik, deh," jelasku sebelum menyengir kikuk. Mata Radit beralih ke arah punggungku yang sudah sedikit terbuka. Spontan aku bergerak sedikit mundur, menghindari tatapannya.
"Aku bantu bukain aja, gimana?"
"Enggak usah, Kak. Mia malu."
"Terus, kamu enggak jadi mandi? Katanya mau rebahan?" tanyanya lagi.
Benar juga apa kata dia. Tubuhku memang sudah sangat lelah dan butuh istirahat. Akhirnya aku membalas tatapan Radit yang menungguku dalam diam.
"Tapi ... Kak Radit merem, ya? Jangan buka mata sampai Mia nutup pintu kamar mandinya," pintaku.
Radit mengangguk setuju dan menutup matanya tanpa aku suruh. Dengan perlahan, aku berbalik hingga membelakanginya. Tangan Radit mulai bergerak. Meraba-raba pundakku, untuk mencari letak ritsleting. Setelah berhasil menemukan sumber masalah, Radit menurunkan kepala ritsleting dengan hati-hati. Sentuhan tangannya di punggungku yang terbuka membuatku merasa geli. Malah sejujurnya, sekarang aku sedang mati-matian menahan diri supaya enggak bergidik.
"Stop, Kak. Udah cukup segitu," seruku.
Radit segera berhenti dan kembali berdiri kaku tanpa membuka matanya. Persis seperti perintahku.
"Sekarang Kak Radit keluar, ya. Inget, jangan buka mata sampai Mia tutup lagi pintunya," titahku tegas.
Radit mengangguk. Mulutnya sedikit melengkung, seperti busur yang hampir sempurna. Tanganku jadi gatal sekali ingin mencubit pipinya. Akan tetapi, jangan, deh. Bisa bisa Radit mengira aku lagi menggoda dia, lagi.
Kepalaku menggeleng heboh agar pikiran ngaco tadi menghilang. Untungnya Radit merem, jadi dia enggak menyaksikan tingkah aneh yang barusan aku lakukan.
"Mia, aku takut nabrak, nih," keluh Radit.
"Eh, iya, Kak. Maaf, maaf."
Dengan segera aku memutar tubuh Radit dan mendorongnya pelan supaya enggak menabrak dinding. Setelah menutup pintu, baru aku bisa bernapas lega. Akhirnya ... bisa mandi juga.
**
"Kak, Mia udah selesai mandinya, ya." Aku mengabarkan begitu keluar dari kamar mandi. Raut wajah Radit terlihat kusut. Keningnya berkerut dan alisnya hampir menyatu karena terlalu fokus menatap layar laptop, tetapi suaraku berhasil membuatnya menoleh.
"Eh, iya, Mia," jawabnya sekilas.
Aku menaruh kebaya yang aku pakai di gantungan lemari. Lalu dengan satu loncatan, aku berhasil merebahkan tubuh lelah ini di tempat tidur. Nyaman sekali rasanya. Aku sampai memejamkan mata dan menggerak-gerakkan kedua tangan juga kakiku, seperti sedang bermain di atas salju.
"Kamu mau tidur?" tanya Radit.
Mataku mengerjap. Terkejut melihat Radit yang sudah berpindah tempat dari sofa ke samping tempat tidur. Aku pun langsung duduk dengan tegak.
"Enggak, Kak. Mau rebahan aja sambil menikmati pemandangan," jawabku cepat.
Radit hanya mengangguk lalu berlalu, masuk ke kamar mandi. Tubuhku beringsut ke kasur yang empuk. Rasanya segar juga membahagiakan. Aku jadi termenung sembari fokus melihat ke luar jendela. Udara segar terus mengalir, melewati celah besar yang aku biarkan terbuka. Baru saja beberapa menit aku bersantai, eh, perutku tiba-tiba berbunyi.
Pantas saja, sekarang sudah waktunya makan siang. Kayaknya aku enggak bawa bekal camilan apa pun di tas, deh. Tadi malam otakku sudah enggak bisa dipakai berpikir. Tidur nyenyak saja susah.
Akhirnya, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar untuk mencari secercah harapan. Siapa tahu kelihatan camilan yang bisa aku makan sekarang. Lalu, pandanganku berhenti di tumpukan welcome snack yang tersusun rapi di meja TV. Kebetulan banget ada keripik singkong kesukaanku, walau di kemasan terkecilnya. Masih ada cokelat sama biskuit juga. Lumayanlah buat ganjalan.
Namun, suara pintu kamar yang tiba-tiba diketuk, membuat langkahku berhenti. Aku terpaksa berbelok, dan memeriksa siapa yang ada di baliknya. Saat aku semakin dekat, mulai terdengar suara-suara yang sangat aku kenal. Aysha dan Nadhira!
Tanganku bergerak cepat dan membuka pintu kamar. Dua pasang mata langsung menyambutku dengan senyuman lebar. Kami berpelukan tanpa berkata apa-apa. Kehadiran mereka benar-benar mujarab.
"Kok kalian tahu kamar gue di sini?" Aku terharu.
"Kita tanya ke Teh Nuri tadi. Gue enggak bisa stay lama di pesta lo nanti, Mi. Besok ada interview. Makanya kita mampir sebentar ke sini. Ganggu, enggak? Suami lo mana?" serbu Nadhira tanpa henti.
"Kak Radit masih mandi, Nad. Kalian nunggu di mana, dong?" tanyaku seraya menatap mereka berdua.
"Tenang aja. Kita mau numpang di rumah si Putu, Mi. Jadi nanti malam bisa pergi barengan. Anak-anak Kriya yang lain juga mau pada dateng," balas Aysha. Aku mengangguk paham.
"Oh, iya. Kita mau ngasih ini, Mi." Nadhira menyodorkan sebuah paper bag warna cokelat terang. Aku sempat mengintip ke dalamnya. Sepertinya ada dua buah wadah plastik, lengkap dengan alat makan. Tahu aja, kalau aku lagi lapar.
"Kesukaan lo, nih. Seblak Mang Jebred," sahut kata Aysha.
"Wah!" Mataku dibuat membulat sempurna. Camilan kesukaanku datang tanpa susah payah. Alhamdulillah, rezeki anak salihah.
"Thank you, yah .... Jadi terharu gue."
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, dan Radit keluar hanya dengan mengenakan handuk. Dia langsung terpaku ketika sadar kalau ada tiga pasang mata yang menatapnya kaget. Butuh waktu beberapa detik sampai aku menyadari situasi.
"Maaf, Kak!" seruku cepat, sebelum menutup pintu kamar dan berbalik menatap kedua sahabatku yang masih diam mematung dengan mulut yang terbuka lebar.
"Oy! Sadar, sadar!" panggilku cukup keras hingga membuat Aysha dan Nadhira tersentak. Aku tertawa cukup keras melihat tingkah konyol mereka berdua.
"Harusnya gue foto muka kalian barusan. Sumpah! Epic banget. Hahaha ....," candaku sambil tertawa lepas.
"Mi, gile, gile! Lo bisa nyuci baju di perut laki lo, tuh!" celetuk Aysha asal. Seketika wajahku memanas. Aku baru sadar kalau tadi itu pertama kalinya aku melihat Radit bertelanjang dada. Jadi aku sama terkejutnya dengan mereka berdua.
"Oy, muka lo kenapa merah, gitu? Pasti mikir yang aneh-aneh, kan, lo?" serbu Nadhira iseng. Kepalaku menggeleng cepat.
"Apaan sih, Nad." Aku mengelak.
"Eh, Mi. Teh Nuri masih punya stok laki macam Radit enggak, ya? Gue mau deh satu," ujar Nadhira, kali ini dengan wajah serius. Aysha ikut mengangguk setuju.
"Lo tanyain sama Teh Nuri aja, gih. Guys, gue masuk dulu, ya? Enggak enak kalo kelamaan ngobrol. Btw, nanti jangan telat datengnya! Awas, loh!" seruku memperingati.
"Oke, deh. Kita pamit dulu kalo gitu. Salam buat suami lo, ya, Mia. Kita tunggu review-nya besok pagi. Hahaha ...," goda Aysha lagi.
"Ah, kalian mah. Ada-ada aja," balasku malu-malu. Pipiku terasa semakin memanas ketika adegan demi adegan terlarang itu muncul di dalam kepala.
"Nah, kan! Ngebayangin kan, lo? Senyum-senyum sendiri gitu," sindir Nadhira. Kedua sahabatku ini memang hobi banget menggodaku.
Akhirnya dengan sedikit paksaan, mereka berdua mulai berjalan menjauh. Kami masih saling melambaikan tangan sampai Aysha dan Nadhira menghilang di belokan. Begitu berbalik menghadap pintu kamar, aku baru sadar kalau pintunya terkunci otomatis. Bodoh sekali aku ini.
"Kak Radit, tolong bukain pintu, dong!" teriakku sembari mengetuk pintu beberapa kali. Enggak lama, Radit muncul dengan tampang cool-nya.
"Udah selesai ngobrolnya? Kok enggak diajak masuk?" tanyanya lembut. Suara dia tiba-tiba berubah jadi manis sekali.
"Mereka mampir sebentar doang, kok." Aku berjalan melewati Radit, sambil menjawab sekilas pertanyaannya.
"Oh ya, Kak. Aysha sama Nadhira bawain seblak, nih. Kak Radit mau, enggak? Kebetulan ada dua porsi," tawarku.
Aku duduk di sofa, lalu mengeluarkan isi paper bag dengan tidak sabar. Semerbak wangi pedas gurih langsung tercium jelas oleh hidungku.
"Oh, iya. Kita belum makan. Kamu yakin mau makan itu aja? Mau ke restonya juga, enggak? Atau mau makan keluar? Eh, tapi kamu capek, enggak? Apa mau tambah pesan room service?" tanyanya panjang kali lebar.
Aku sampai geleng-geleng kepala, takjub. Kayaknya baru kali ini Radit bisa berbicara sepanjang itu tanpa jeda.
"Kak Radit kok ikutan bawel, sih? Baru juga tadi pagi kita nikah. Tapi, kayaknya Kak Radit udah ketularan bawelnya Mia, nih," sahutku iseng.
Radit tampak terkejut dengan perkataanku barusan. Dia mengatupkan mulut dan menggeleng kikuk. "Ah, enggak, kok. Perasaan kamu doang itu," elaknya.
Aku malah tertawa sekaligus terharu. Virus bawelku sudah mulai menjalar rupanya. Apa jangan-jangan sebenarnya Radit memang ada bawaan bawel, ya? Hm ....
"Hei! Jangan mikir aneh-aneh, ya! Aku enggak bawel kayak kamu, kok. Tadi, pertanyaannya ngalir gitu aja," sambungnya membela diri.
Aku hanya mengiyakan tanpa terlalu memedulikan. Saat ini, seblak yang ada di hadapanku lebih penting. Di York mana ada yang jual seblak. Jadi harus aku nikmati dengan sebaik-baiknya karena belum tentu besok aku sempat mampir untuk membelinya lagi.
"Nih, Kak. Mau, enggak?" tawarku lagi setelah menumpahkan menuangkan isi bungkus pertama.
"Buat kamu aja. Kayaknya kamu udah kelaparan," balasnya enggan.
"Oke deh, Kak. Kalo mau pesen room service, Mia nitip yang seger-seger ya, Kak," imbuhku.
"Yang seger-seger? Maksudnya minuman dingin?" tanyanya sambil menatapku bingung. Aku membalas dengan sebuah anggukan. Radit malah tersenyum sampai mau tertawa.
"Memang ada yang aneh, Kak?"
"Enggak, sih. Kosakatamu lucu," sahutnya.
Dahiku mengernyit. Meski enggak paham apa maksud dari perkataannya, aku tetap merespons dengan senyuman. Yang penting, seblak dulu, deh. Selamat makan!
Mana yang kemarin bilang kurang banyak babnya??
Udah aku tambahin, ya! Hehe...
Terima kasih udah mampir ke sini.
Sampai ketemu di bab selanjutnya, ya!
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro