Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2

Burhan pulang dengan langkah tergesa. Malam semakin larut serta udara dingin kian menusuk tulang. Darah di jemari lelaki itu pun telah mengering, tetapi masih menyisakan rasa perih.

"Gagal! Padahal malam ini sudah lama kutunggu-tunggu. Bisa saja aku memaksa, tapi akan berakibat buruk ke depan. Dia pasti tidak akan pernah mau lagi jika aku datang menjenguk."

Burhan menggerutu sambil mempercepat langkah. Dia menyesali aksi gagalnya ingin memadu kasih dengan Meutia. Meskipun gila, menurutnya Meutia itu begitu menggairahkan. Rona kecantikan masih saja terlihat meski kondisi dalam kondisi kumal dan bau. Atau bisa jadi Burhan yang sudah tidak waras, masih saja tertarik dengan orang yang hilang ingatan.

Meutia sebenarnya adalah keponakan istri Burhan. Ibu Meutia adalah kakak kandung istri lelaki tersebut. Sudah sangat lama menjadi janda. Suaminya meninggal sejak Meutia masih di dalam kandungan. Di saat usia kehamilan lima bulan, ayah Meutia pergi untuk selama-lamanya. Kabarnya ia jatuh ke jurang saat mencari kayu bakar di hutan. Namun, lelah sudah masyarakat mencari, mayatnya tak kunjung ditemukan. Mereka beranggapan mungkin saja sudah menjadi santapan hewan buas.

Akhirnya Zainab--ibu Meutia--terpaksa berjuang hidup untuk menafkahi dirinya sendiri. Di tengah kehamilan yang semakin membesar, Zainab tetap harus kuat untuk bekerja. Bekerja apa saja sebisa yang ia lakukakn. Tidak berani meminta tolong kepada saudara, kondisi ekonomi mereka pun setali tiga uang, sama saja.

Wanita itu berjuang tak kenal waktu, hingga akhirnya Meutia kecil pun lahir ke dunia. Tentunya menambah beban Zainab untuk menghidupinya juga. Di tengah kegundahan yang melanda, adik kandung Zainab mengabarkan jika mereka akan pindah ke kampung. Selama ini ia merantau ke kota dan telah menikah belasan tahun lamanya. Namun, Allah belum memberikan rezeki buah hati pada pasangan tersebut. Setelah mendengar kabar bahwa kakaknya telah melahirkan, besar hati sang adik untuk mengangkat Meutia kecil sebagai anaknya juga. Tentu saja Zainab mengizinkan. Mengingat ekonomi sang adik lebih mapan dari pada dirinya. Burhan adalah seorang pekerja keras. Ia tidak takut jika melepaskan Meutia ke tangan mereka. Setidaknya Meutia tidak akan kelaparan dan semua kebutuhannya akan terpenuhkan.

Zainab dan adiknya tinggal hanya berjarak beberapa rumah di desa. Mereka membawa serta Meutia tinggal bersama. Zainab tak berkecil hati, karena kapan pun ia rindu, wanita itu bisa menjenguk anaknya. Bahkan adiknya itu juga mengizinkan jika Zainab ingin membawa Meutia menginap di rumahnya. Meutia kecil tumbuh sehat dan cerdas. Ia pun disekolahkan oleh paman dan bibinya.

Meutia tetap mengenali Zainab sebagai ibu kandung yang telah melahirkan, serta paman dan bibi ya g tah merawatnya. Semakin hari, Meutia tumbuh menjadi gadis desa yang cantik. Wajahnya khas dengan hidung mancung dan dagu lancip memesona. Rambut ikal keperangan bergelombang menyatu dengan kulitnya yang kuning langsat. Meutia menjelma menjadi belia yang digandrungi banyak pemuda.

Melihat hal itu, Burhan tidak tinggal diam. Dia tidak mau Meutia dipacari oleh orang lain. Menurutnya dia lah yang berhak atas Meutia. Dia yang telah lelah merawat dan membesarkan gadis itu. Tidak ada seorang pun yang bisa memiliki Meutia.

Untuk memuluskan rencananya tersebut, Burhan pun pergi menjumpai sang dukun kampung yang menetap jauh dari desanya. Ia meminta ramuan khusus agar Meutia dibenci oleh setiap pemuda. Ia mengingankan agar sang gadis berambut ikal itu terlihat jelek di mata setiap laki-laki. Tidak ada yang boleh menaruh hati.

Sang dukun memberikan ramuan berupa minuman yang harus diminum Meutia.

"Minum air ini tiga kali berturut-turut, makan keinginanmu akan terkabul."

Burhan pun berani membayar duku dengan  sejumlah uang yang telah ditentukan. Ia rela agar Meutia tetap akan menjadi miliknya. Lelaki paruh baya itu pulang dengan wajah semringah. Ia telah membayangkan gadis muda kesayangan yang sedang menanti di rumah. Air ramuan harus segera diminumkan.

***

"Meutia sayang, ini minumlah air perasan jeruk nipis. Biar batuknya segera reda." Lelaki bertubuh besar itu menghampiri Meutia yang sedang berbaring di kamar bersama bibinya. Baik Meutia atau pun istri Burhan tidak menaruh curiga, disebabkan Meutia memang sedang tidak sehat. Gadis itu sedang batuk-batuk dan tubuhnya agak meriang.

"Minumlah, Nak. Biar cepat sembuh." Bibinya pun ikut berujar.

Tanpa ragu gadis itu pun meminum air tersebut hingga habis. Kemudian mengembalikan gelas kepada sang paman. Burhan tersenyum senang. Rencana awal yang begjtu manis pikirnya. Hingga tiga kali berturut-turut, sang paman berhasil membujuk Meutia untuk meminum air jampi-jampi tersebut. Tidak susah sama sekali. Niat busuknya tidak terendus oleh istri atau pun Meutia.

"Aku harus bersabar hingga waktunya tiba. Anak itu akan kumiliki. Sabar ... sabar!"

Burhan berusaha untuk menenangkan hatinya yang kian berdebar. Setiap hari debaran itu semakin menjadi-jadi. Melihat Meutia berjalan saja, ia sudah pusing tujuh keliling.

"Kau membuatku gila, Meutia!"

Beberapa hari telah berlalu setelah pemberian air minum jampi-jampi tersebut. Tidak ada perubahan, tetap saja Meutia menjadi buah bibir di desa. Malahan, kabar tersiar begitu cepat hingga desa-desa tetangga. Meutia teesohior ke mana-mana. Usianya yang masih tiga belas tahun, akan tetapi bisa menggemparkan para lelaki desa.

Burhan kesal. Ia merasa telah ditipu oleh sang dukun tua. Siang harinya lelaki tersebut kembali mendatangi rumah sang dukun. Ia ingin menanyakan perihal air yang telah dijampi. Tidak ada efek apa-apa. Setiba di tempat sang dukun, Burhan tidak ingin menunda waktu. Segela kekesalan ia ruahkan penuh amarah.

"Aku sudah bayar mahal, tapi air itu tidka berfungsi. Kau jangan berniat untuk menipuku!" Burhan berujar sambil berkacak pinggang.

Sang dukun terkekeh melihat aksi lelaki tersebut.

"Bawakan besok anak itu ke sini. Sepertinya kau salah membaca mantera yang kuberikan."

Burhan kaget! Bagaimana caranya untuk mengajak Meutia ke dukun itu. Dia pasti curiga dan menolak untuk ikut. Lelaki itu memutar otak tak menghiraukan lagi ucapan sang dukun.

"Jangan lupa, bawa pakaian ganti anak itu. Dia akan bermalam di sini untuk beberapa malam!" Fukun tua itu kembali berucap.

"Apa? Bermalam?" Burhan bertanya heran.

"Ya. Jika kau ingin agar rencanamu berhasil!"

"Apa aku juga ikut bermalam?"

"Tidak! Cukup anak itu saja. Dia bisa tidur di kamar kosong itu jika ritual telah selesai!" seru sang dukun sambil menunjuk ke arah sudut sebelah kanan. Tampak sebuah ruangan yang pintunya terbuka. Ada sebuah ranjang kayu di sana. Tidak ada kasur, hanya selembar tikar pandan terletak di atas ranjang tersebut.

Burhan pun pulang dengan pikiran canpur aduk. Bisakah ia membawa Meutia berjumpa dengan sang dukun. Apa istrinya nanti tidak curiga? Bagaimana dengan ibunya Meutia? Burhan tidak mau semuanya gagal. Ia harus mengatur semuanya dengan baik dan matang. Tidak boleh gegabah apalagi terburu-buru. Burung kecil nan cantik itu harus bisa dijinakkan.

***

BERSAMBUNG

Ayo, dong, kasih likenya teman-teman😇

Kira-kira Meutia berhasil gak dibawa pamannya ke dukun?
Duh, Meutia. Malang benar nasibmu😥

Semoga kita semua masih Allah pertemukan dengan Ramadhan😊🙏

Salam sayang dari Aceh untuk teman-teman semua.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro