Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 1

"Lepas!" teriak Meutia memecah keheningan malam. Wanita itu ditarik oleh pemilik dua tangan kekar dengan otot besar. Tubuh ringkih Meutia tidak sanggup melawan tarikan tersebut. Kakinya terpaksa menurut ke mana kehendak sang pemilik tangan kekar membawa. Wanita dengan wajah kumal tersebut tak henti berteriak, mengumpat dan lain sebagainya. Keringat sebesar biji jagung sudah sejak tadi membasahi kening serta pelipis perempuan tersebut. Baju serta rok yang ikut menyentuh tanah sudah tidak lagi berwarna. Penuh robekan dan tak layak lagi untuk dikenakan. Rambut panjang tergerai acak. Kumal dan tidak terurus.

"Ka Peulheuh lon, haram jadah!" (Lepaskan aku, anak haram!")

Mulut dengan bibir pucat itu masih saja menyambung umpatan. Namun, lelaki itu terus saja berjalan. Sebelah tangannya menarik lengan Meutia yang terikat dengan tali. Mulut sang gadis meringis menahan sakit. Tenaganya sudah sangat jauh berkurang. Ia mulai kelelahan. Rasa haus menyerang tanpa ampun. Mana mungkin permintaannya untuk meminta minum akan dikalbulkan oleh lelaki berotot itu. Meutia sudah sangat lemah, tubuhnya limbung ke sisi kiri jalan setapak. Namun, lelaki paruh baya itu dengan sigap menangkap tubuh sang gadis. Merangkul dan meletakkan ke atas bahunya. Bukan sebuah beban yang berarti. Tubuh Meutia terlalu kurus dibanding dengan kekuatan yang ia miliki.

"Malang benar nasibmu, Meutia!"

Lelaki itu yang tidak lain adalah paman Meutia meraup wajah menggunakan tangan kosong. Sedangkan tangan satunya lagi ia gunakan untuk memegang tubuh keponakannya agar tidak jatuh.

"Sabar, sebentar lagi kita akan tiba. Kamu bisa minum sepuasnya di sana."

Ia masih bergumam, meskipun sang gadis bertubuh kumal itu  tidak akan bisa mendengar perkataannya. Burhan--sang paman--berkali-kali mengelus kepala Meutia. Rasa kasihan tidak bisa ia sembunyikan. Gadis belia yang begitu malang. Menjadi gila dan telah dipasung bertahun-tahun lamanya. Ia dikucilkan serta diasingkan dari permukiman warga. Ibunya yang telah tua tidak bisa berbuat banyak untuk menolong Meutia. Terpaksa ia mengikuti kemauan masyarakat untuk mengasingkan sang anak karena perilakunya yang sudah sangat meresahkan warga.

Sebelum dipasung, hanya dia satu-satunya orang yang tidak akan disakiti oleh Meutia. Sang anak akan bersikap tenang jika berhadapan dengan ibunda. Berbeda saat ia melihat orang lain, walaupun itu pamannya sendiri. Meutia akan histeris dan mengamuk tanpa henti. Mencakar serta mengumpat mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Terkadang ia tertawa terbahak sambil merobek baju serta roknya. Sering sekali ia memilih telanjang tanpa menyisakan sehelai benang pun di tubuh. Hati ibu mana yang tidak teriris melihat putri semata wayang bernasib muram. Gadis belia yang tidak lagi memiliki masa depan. Tidak pernah memberikan pengobatan yang berarti karena ketidakmampuan ekonomi. Hanya mengandalkan dukun kampung yang masih memiliki hubungan saudara untuk mengobati sang buah hati.

Burhan sudah tiba di tempat tujuan. Ia menurunkan Meutia dari atas bahu kemudian merebahkan tubuh ringkih dan bau tersebut di atas sebuah tikar pandan lusuh. Lelaki paruh baya itu menyapu pandang ke atas tubuh Meutia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tampak olehnya bagian-bagian tubuh yang tak pantas dilihat.

"Meskipun tak terurus, tapi kecantikanmu masih tersimpan erat anakku."

Burhan pun mulai meraba wajah sang gadis. Menyapu mata milik Meutia yang terpejam rapat. Tangan itu sedikit turun menyentuh pipi serta telinga yang tertutupi rambut.

"Ah! Jika saja kau masih waras tentu kecantikanmu akan membius seluruh lelaki di desa ini."

Mata Burhan tak lepas menatap lekat wajah Meutia. Jemarinya kembali menjalar ke arah hidung mancung milik sang gadis. Menyapu-nyapunya dengan jari telunjuk, sejurus kemudian dia mengarahkan jemari-jemari liarnya ke arah mulut wanita malang itu. Perlahan jemari nakal sang paman mulai meremas perlahan bibir tipis yang cenderung pucat milik Meutia. Lelaki itu terus memainkan jemarinya. Mengelus-elus bibir sang keponakan sambil memejamkan mata. Di saat itu pula Meutia membuka mata dan mulutnya lebar-lebar. Tak bisa mengelak, sang paman kaget bukan kepalang karena tiba-tiba merasakan sakit di setiap jemarinya. Matanya terbelalak melihat Meutia menggigit jari-jemarinya tanpa ampun.

"Lepas, Meutia, lepas! Aku tidak akan menyakitimu!"

Lelaki itu berusaha untuk menarik jemarinya, akan tetapi semakin ditarik gigigtan Meutia semakin kuat. Gadis itu benar-benar marah. Matanya memerah menyiratkan kebencian yang tak terhingga.

"Meutia, bisa putus jari paman. Lepas, Nak!"

Gadis itu tak menggubris. Seakan-akan ia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menyakiti orang yang akan menyakitinya. Dengan tangan terikat ke depan sang gadis terus menggigit tanpa ampun. Hingga air liurnya terasa asin akibat darah segar dari jemari milik sang paman yang telah terluka. Burhan akhirnya memukul tengkuk Meutia menggunakan tangan kirinya. Kekuatan besar yang ia miliki membuat gadis tak berdaya itu hoyong ke depan dan kembali mencium lantai tanah yang lembab. Meutia kembali pingsan.

Burhan meringis kesakitan. Terdapat luka bekas gigitan yang menyisakan darah di beberapa jarinya. Lelaki itu berjalan ke arah belakang. Ia ingin membasuh luka menggunakan air dari sumur tua yang terdapat di belakang gubuk tempat ia dan Meutia berada.

"Dasar! Kenapa pula anak itu bangun di saat yang tidak tepat. Untung tidak putus jemariku dibuatnya."

Menggunakan timba berwarna hitam, Burhan menimba air sumur di tengah kegelapan malam. Hanya ada satu pelita kecil yang berada di dalam gubuk. Dibantu cahaya pelita yang remang-remang, Burhan pun membersihkan luka-lukanya. Setelah itu ia masuk ke dalam dan melihat Meutia yang masih belum sadarkan diri. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, lelaki berbadan tinggi itu mengangkat sang gadis ke arah pasungan yang telah disediakan.

Ia menyandarkan tubuh Meutia di sebuah tiang, kemudian mengambil seutas tali dan mengikat tubuh gadis itu ke tiang yang berada di tengah gubuk. Tak lupa pula dengan kedua tangan sang gadis, Burhan juga ikut mengikat tangan kurus tersebut ke tiang kayu. Setelah itu baru kaki Meutia diluruskan oleh Burhan dan diarahkan ke sebuah kayu besar di atasa lantai tanah yang telah terbelah dua. Ada duah buah lubang di sana. Setelah itu belahan kayu besar tersebut disatukan sehingga terlihat jika kaki sang gadis dimasukkan ke dalam dua buah lubang kayu. Agar kaki sang gadis tidak bisa ditarik keluar lubang, Burhan pun mengembok kayu tersebut di tiap-tiap ujungnya.

Meutia pun terpasung sempurna!

Burhan menatap puas. Pekerjaannya sudah selesai. Saatnya ia kembali ke desa dan meninggalkan Meutia seorang diri di gubuk tua tersebut. Gubuk itu terletak di kebun miliknya. Namun, sangat berjarak jika ingin ke desa. Selain ibu Meutia, hanya orang-orang tertentu yang bisa menjenguk sang gadis. Misalkan untuk mengantar makanan dan memandikannya di saat-saat tertentu. Biasanya yang menjenguk hanya saudara-saudara dekatnya saja.

Burhan berjalan mendekati sang gadis. Dengan gesit tangan lelaki itu menyibak rambut panjang kusut milik Meutia.

"Malam besok paman akan kembali lagi, Nak. Kamu harus tenang dan jangan brutal seperti tadi. Paman ingin kamu seperti bulan lalu, menikmati apa yang kita lakukan berdua."

Burhan berbisik di telinga sang gadis yang masih belum terjaga. Kemudian lelaki berkumis itu pergi meninggalkan Meutia sendirian. Gadis malang yang terpasung dan terbuang. Entah apa yang telah menimpa gadis tersebut. Perjalanan hidup menyakitkan seperti apa yang telah ia lalui di sepanjang usianya?

BERSAMBUNG

Ikuti kisah MEUTIA TIDAK GILA di part selanjutnya, ya😊

Semoga ramai yang suka dan kisah ini akan segera juga dilanjutkan.

Tetap stay@home dan jangan panik. Semoga wabah ini segera lenyap dari muka bumi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro