Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6). Another Disaster

Kenyataan Winnie tidak menolak ketika dicium membuat Alvaro begitu senang sehingga sewaktu dia melepas ciumannya, matanya membentuk lengkungan gegara senyuman yang terlalu lebar. "See? Yang gue bilang itu bener. Lo juga suka sama gue."

"Itu, kan, hanya ciuman, Al. Gue juga perlu tau apakah gue ada rasa sama lo atau nggak," jawab Winnie polos, juga tidak ada rona merah di wajahnya seperti yang seharusnya dirasakan oleh cewek saat jatuh cinta.

Senyuman Alvaro langsung menghilang, digantikan dengan bibirnya yang manyun. "Jadi, kesimpulannya? Lo nggak ada rasa sama gue, ya?"

Winnie menghela napas panjang. "Hmm... soal itu gue nggak tau. Di otak gue malah terbayang Afin."

"Maksudnya lo ciuman sama gue, tapi ngebayangin Afin? Lo tega banget, sih!" protes Alvaro, sakit hati dengan kenyataan yang tidak mengenakkan itu.

Padahal dia sempat merasa sedang terbang ke angkasa, tetapi kesannya jadi seperti jatuh dari ketinggian tanpa pengaman.

"Nggak apa-apa. Next time mungkin kita bisa coba lagi sampai gue lupain Afin," kata Winnie santai, seakan ciuman itu sudah biasa baginya. "Atau... gue coba ciuman sama yang lain aja kali ya biar bisa bedain."

Lalu Winnie pergi begitu saja, meninggalkan ruangan serba guna dengan seringai di bibirnya. Entah kenapa, dia mulai menikmati momen ini dan merasa lucu dengan raut wajah Alvaro yang sedang ngambek.

Alvaro tentu saja menganggapnya serius. Dia mengacak rambutnya kesal dan berucap sedih, "Ciuman pertama gue kenapa bisa bikin gue seneng sekaligus sakit hati begini?"

⭐⭐⭐

"Eh, Freya, lo dipanggil ke ruang Broadcast, nih, sama Lovey Dovey Team," panggil salah satu teman sekelas Freya ketika dia masih mengobrol seru dengan Renata.

"Lovi—–apa?" tanya Freya dengan ekspresi bingung, lantas menoleh pada teman sebangkunya karena yang menyampaikan informasi sama sekali tidak berniat untuk menjelaskan lebih lanjut. "Ruang Broadcast? Emang gue harus ngapain di sana?"

"Sebenarnya pas ikut ospek, lo ada bawa telinga nggak, sih?" tanya Renata sinis. "Gue jelasin secara singkat aja, ya, karena lo keburu dipanggil ke sana. Intinya, sekolah kita udah mulai ?memberlakukan siaran radio. Biasanya ditujukan buat yang suka request lagu, jadi bisa diputar pas jam istirahat atau buat ngumumin acara, lomba, dan informasi penting. Bisa juga tentang berita terkini untuk kepentingan sekolah."

"Kalo gitu, ngapain juga, ya, manggil gue ke sana? Emangnya gue bisa berikan informasi yang kayak gimana?"

"Gue juga nggak tau, Fre. Mendingan lo ke sana, deh. Ruangannya ada di lantai tiga yang paling ujung ruangannya."

Freya mengangguk. Dia lantas bertolak menuju ruangan yang dimaksud Renata. Ternyata, sama seperti ruang siaran yang pernah dilihat Freya di layar kaca, yang mana memiliki sisi transparan pada bagian pintu agar bisa mengintip ke dalam, tetapi dia tahu ruangan itu mempunyai fitur kedap suara sehingga akan sia-sia jika dia menunggu dibukakan pintu.

"Oh... kamu yang namanya Freya, 'kan?" tanya seorang cewek yang tidak dikenali, tetapi Freya yakin yang duduk di balik audio mixer bukan murid baru alias seniornya.

Freya mengangguk. "Iya. Ada apa, ya, Kak?"

"Gue termasuk salah satu yang aktif di ruang siaran. Hari ini gue yang bertugas. Ayo duduk sini," ajak senior itu sembari menepuk salah satu kursi di sebelahnya. "Oya, gue Zenya Cassimira. Salam kenal, ya."

Freya mengangguk sebelum mendaratkan bokongnya di kursi yang dimaksud Zenya dengan kikuk.

"Hmm... lo mau request lagu apa, nggak?" tanya Zenya dengan senyum lebar.

"Kalo boleh tau, ada apa, ya, Kakak manggil saya ke sini? Apa saya sedang ditunjuk jadi anggota atau apa?"

Entahlah, Freya merasa senyuman senior itu tidaklah setulus itu. Berkesan seperti... terlalu dipaksakan dan ada sesuatu di baliknya.

Zenya tertawa. "As expected. Memang ya, yang namanya di bawah rata-rata itu selalu lebih peka dari yang seharusnya. Dulu gue juga punya teman kayak lo. Awalnya asik, tapi lama-lama menyebalkan karena naif dan terlalu munafik. Gue nggak suka."

"Maaf, ya, tapi saya rasa Kakak lebih baik terus terang aja," kata Freya yang sekarang tidak bisa menahan nada bicaranya yang mendingin.

"Oke, kalo itu mau lo. Gue cuma lagi kepo, jadi gue milih bicara sama lo berdua. Secara pribadi. Boleh, 'kan? Tenang aja walau nanti telat masuk pelajaran, lo bisa bilang lo dari Ruang Broadcast. Gue bisa pertanggungjawabkan keabsenan lo."

"Mau bicara apa, ya, Kak?"

Freya tidak sadar saat Zenya mengangkat sebelah tangannya secara diam-diam hanya untuk menggeser salah satu tombol yang berfungsi untuk menyiarkan secara langsung percakapan mereka. Tentu saja seisi sekolah akan mendengar semua yang dikatakan oleh cewek itu.

"Gue denger dari salah satu temen sekelas lo. Katanya, Winnie yang bakal tunangan sama Alvaro, bukannya Afin, ya?"

Freya, yang tidak tahu-menahu tentang siaran on air mereka, menghela napas lega. "Gue kira lo mau ngomong apa. Ternyata ini, ya. Hmm... tapi apa yang penting, sih, dari berita ini? Yang mau tunangan itu mereka, 'kan? Kenapa lo sekepo itu?"

Zenya mendengkus kesal, tetapi pada detik berikutnya, cewek itu menyeringai. "Kalo gue sekepo itu, memangnya lo nggak? Lo yang menyebarkan berita ini, 'kan? Seharusnya jika berita itu bener, apa lo berhak sebarin ke yang lain?"

"Gue cuma cerita ke Renata, teman dekat gue!"

"Juga... kenapa lo bisa deket sama Afin dan anggota A4 lainnya? Lo pasti punya tujuan, 'kan?" tanya Zenya lagi, mengabaikan pembelaan Freya.

"Sebenarnya yang mau lo tau itu apa, sih?" tanya Freya, sudah tidak respek dengan Zenya lagi. "Gue nggak ngenal lo dan kenapa sih bawa-bawa A4?"

"Karena gue penasaran bagaimana seorang Freya Gisella yang kemampuan ekonominya di bawah rata-rata bisa dengan gampangnya bergaul sama A4 yang terkenal di sekolah. Gue sebagai penyiar radio tentu saja harus meliput ini karena udah jadi tugas gue. Makanya, gue panggil lo ke sini buat nanya secara langsung dan gue yakin semua murid di sekolah pasti penasaran sama lo."

Freya membuka mulut, tetapi sebelum pita suaranya bergetar dari dalam tenggorokannya, pintu ruang siaran terbuka dari luar dengan sentakan keras, membuat dia dan Zenya kaget.

"What the hell are you doing now?" tanya Renata sembari mendekati Zenya dengan tatapan marah. "Did you turn the radio on intentionally?"

Freya membelalak ketika melihat sinar hijau pada tombol yang mengacu pada siaran langsung. "Apa lo bilang? Jadi, ini lagi siaran... siaran langsung?"

Renata menarik kerah Zenya dengan kasar, tetapi yang dikasarin tidak menunjukkan ekspresi bersalah sama sekali. Dia justru semakin memperjelas seringai di bibirnya. "If she tells the truth, we must listen, right? In case you don't understand, I have a right to ask."

"Better shut your mouth up, bitchy girl, because I also have a right to report you to our beloved Principal. You have broke the code of ethics yourself; 'Mocking, abusing, underestimating and/or ignoring the religious values, humans' dignities or ruining international relations are prohibited in live broadcast'. Am I wrong?"

Zenya bungkam, ekspresinya seakan sedang ditampar keras di wajahnya. Sedangkan Renata, dia tersenyum puas karena bisa mengalahkannya. "Oh yeah, I think I don't have to. Because it's on air now and our beloved Principal is listening to us, I'm totally sure."

Freya tidak tahu apakah dia harus bersuara atau tidak karena sepertinya Renata telah memberikan pengaruh besar dengan menolongnya hari ini.

Namun, Freya berubah pikiran pada detik berikutnya karena sekali lagi pintu dibuka dari luar, membuat cewek itu memekik keras setelah melihat siapa pelakunya.

A4 lengkap dengan Winnie. Mereka berlima berjalan dengan formasi yang sama seperti biasanya. Bahkan Freya masih bisa membayangkan adanya cahaya silau yang menjadi latarnya selagi mereka berjalan dan berhenti tepat di depannya.

Freya memundurkan kakinya ke arah Renata, lalu berbisik padanya, "Lo bisa bantuin gue keluar dari sini, nggak? Gue punya firasat nggak enak. Plis... percaya sama gue."

"Gue mau nolongin lo, tapi gue kalah jumlah. Gimana, dong?" balas Renata dengan bisikan meski percakapan mereka jelas terdengar, berhubung mereka berada di ruang tertutup.

"Masih belum matiin tombolnya?" tanya Alvaro galak, yang otomatis membuat Freya tersentak sebelum cepat-cepat menggeser turun tombolnya kembali. Cewek itu kembali ke posisinya dengan kepala tertunduk.

Alvaro menoleh pada Ars dan Andro lewat tatapan matanya. Jelas memberi kode, yang segera dipahami oleh keduanya.

"Hei, what are you guys doing? Get off! Do you listen to me? HEI!" teriak Renata, tetapi percuma saja karena Ars dan Andro telah mengangkat Renata keluar dari ruang siaran.

Freya menelan liurnya dengan gugup ketika tersisa dirinya yang tidak bisa diselamatkan. Winnie melipat tangannya, Alvaro menatapnya tajam, dan Afin hanya menghela napas panjang.

"Gara-gara lo!" hardik Alvaro galak. "Lo tau apa yang udah lo lakuin?"

Freya menundukkan wajahnya. "Maafin gue. Gue nggak nyangka jadinya kayak gini. Gue akan lakuin apa saja buat menebus kesalahan gue."

"Kalo gue suruh nyemplung ke kotoran sapi, lo mau?" tanya Alvaro, sementara Afin berusaha menahan tawanya, yang sempat dilirik tajam oleh Freya.

Sedang genting-gentingnya gini, nih cowok malah ketawa lagi!

"Daripada nyemplung, lo ikut kita, ya. Kita bicarakan gimana baiknya," ajak Winnie meski tanpa senyum. Freya yakin cewek itu juga pasti sangat marah dengan tragedi ini.

Untuk pertama kalinya Freya menyesal bersekolah di SMA Bernard.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro