11). Alvaro's Perspective
Alvaro telah memperhitungkan segalanya sejak memutuskan untuk meresmikan pertunangan dengan Winnie, menggantikan Afin. Ini adalah sesuatu yang sangat serius baginya, bahkan jauh lebih serius daripada fakta tentang dia adalah pewaris tunggal Grup Byantara.
Karena prioritas hidupnya dari masa lalu, sekarang, hingga kemudian hari tidak lain dan tidak bukan adalah Alyssa Edelwine alias Winnie.
Jika ditanya mengapa Alvaro suka sama Winnie, dia tidak akan segan-segan mengatakan Winnie adalah satu-satunya cewek yang sepadan dengannya. Tidak akan ada cewek lain sesempurna Winnie, mengingat dia sendiri sudah sangat sempurna. Mereka seolah-olah diciptakan untuk disandingkan bersama karena Alvaro percaya, fobia ringan yang dialaminya sewaktu kecil adalah takdirnya yang mempertemukannya dengan Winnie, sang belahan hati.
Soal Afin, sebenarnya Alvaro tahu dan sadar, tidak mungkin cowok itu tidak mempunyai perasaan khusus pada Winnie--Ars dan Andro saja sempat menunjukkan ketertarikan mereka pada cewek itu.
Bahkan menurut Alvaro, semua kaum berjenis kelamin laki-laki tidak akan pernah bisa menolak pesona Winnie. Begitu pula sebaliknya, dia juga tidak pernah menemukan cewek mana pun yang tidak tertarik padanya.
Buktinya? Freya saja menatapnya dengan tatapan memuja pada awal pertemuan mereka.
See? Alvaro dan Winnie memang sama-sama sesempurna itu.
Oleh karena itu, seperti di awal, Alvaro telah memperhitungkan segalanya demi mempertahankan Winnie di sisinya, termasuk rumor atau skandal apa pun yang terjadi setelah Freya menyebarkan berita pertunangan mereka.
Jadi, di sinilah Alvaro sekarang. Dia mendatangi rumah Winnie di malam hari untuk berbicara langsung pada kedua orang tuanya, yang tentu saja disambut secara terbuka.
"Al, tumben malam-malam ke sini. Dipikir-pikir, Tante udah lama nggak jumpa kamu. Makin ganteng aja kamu, Nak."
Alvaro tersenyum manis dipuji seperti itu oleh Jessie, mamanya Winnie.
"Hmm... Om mana, Tan?" tanya Alvaro setelah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
"Lagi di ruang baca, seperti biasa. Kenapa, Al? Ada yang mau kamu bicarakan sama Om, ya?" tanya Jessie karena Alvaro biasanya selalu mencari Winnie jika mengunjungi rumahnya.
Alvaro mengangguk. "Iya, Tan. Ada yang mau aku bicarakan. Tante juga ikut, ya."
Tatapan Jessie spontan berubah menjadi tatapan kagum. Selain tampan, Alvaro juga sangat sopan. Sebenarnya sudah sejak dulu Jessie memilih cowok itu sebagai menantunya kelak. Hanya saja, Winnie lebih menyukai Defian sehingga Jessie tidak mempunyai pilihan lain. Toh, Defian juga tidak kalah.
Jessie berjalan duluan, diikuti Alvaro. Benar saja, Alexander sedang menelepon seseorang di ruang baca. Ketika ekor matanya menangkap sosok Alvaro, pria itu segera menyudahi percakapannya.
"Malam, Om." Alvaro memberi salam dengan menunduk sekilas sebagai sapaan hormat, membuat Alexander tersenyum.
"Om baru aja nyuruh sekretaris untuk membuat janji temu dengan papamu besok. Tau-taunya kamu udah datang duluan. Apa ada sesuatu yang mau kamu sampaikan pada Om?" tanya Alexander terus terang karena pria itu sudah menduga tujuan kedatangan Alvaro, apalagi mendatanginya secara langsung.
Alvaro mengangguk, lantas mereka bertiga duduk di sofa nyaman di ruang baca. Kedua orang tua Winnie duduk bersebelahan sementara Alvaro duduk di hadapan mereka.
"Hmm... saya tau Om sama Tante pasti udah tau tujuan saya ke sini. Tapi saya rasa nggak akan sopan kalo saya nggak menemui Om dan Tante secara langsung. Juga... biar Om dan Tante tau kalo saya benar-benar serius mau tunangan sama Winnie."
"Baiklah, Om bisa rasain kalo kamu benar-benar serius mau menikahi Winnie. Tapi kamu pasti tau, kan, kalo Winnie sukanya sama Defian? Meski ini termasuk pernikahan bisnis, tapi Om tetap memprioritaskan apa yang diinginkan sama Winnie. Antara kamu atau Defian, tidak masalah bagi Om. Karena kalian berdua juga dekat sama Winnie."
"Kalo menurut Tante, Tante justru lebih suka sama kamu, Alvaro. Lagi pula, Defian udah jelas menolak pertunangan ini." Terselip nada tidak suka dari ucapan Jessie, membuat Alexander menoleh padanya sekilas untuk mencela. Bagaimanapun, orang tua Fransisco telah bersahabat dengan mereka selama puluhan tahun, jadi rasanya tidak nyaman saja mendengar istrinya menyelipkan nada seperti itu.
Namun, Jessie tidak peduli. Mata besarnya yang mirip Winnie diarahkan pada Alvaro dengan sorot mata penuh harapan. "Kamu harus yakinkan Winnie, ya. Tante yakin, anak perempuan Tante ini juga suka sama kamu. Buktinya, Winnie nggak bilang mau batalin pertunangannya walau Defian udah nolak."
Alvaro tersenyum lebar, jelas merasa menang karena telah mendapatkan dukungan penuh dari mamanya Winnie. "Makasih, Tante. Nggak akan aku sia-siain dukungan dari Tante."
"Sama-sama, Alvaro. Nggak usah sungkan sama Tante. Ngomong-ngomong kamu nggak sekalian ketemu Winnie? Dia ada di kamarnya, kok. Ngapelin aja sekalian. Toh nggak lama lagi udah resmi."
"Mama!" tegur Alexander.
"Nggak apa-apa, kok, Om dan Tante. Udah malam juga, mungkin Winnie udah tidur. Saya pamit aja, ya. Selamat malam, Om dan Tante."
Alvaro menunduk sekali lagi sebelum berjalan meninggalkan ruang baca.
Jujur saja, sebenarnya dia selalu merasa kangen setiap mengingat Winnie dalam pikirannya. Jika saja setiap rindu diwakilkan dengan satu bintang di langit, otaknya pasti dipenuhi miliar hingga triliunan bintang sekarang.
Jessie segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi anak perempuannya. Isi chat-nya tentu sudah dilengkapi dengan bumbu-bumbu yang Jessie yakini akan membuat Winnie menyempatkan waktu untuk menemui Alvaro sekarang.
Benar saja, Jessie melihat pintu kamar dibuka dari dalam tidak lama kemudian, lantas Winnie berlari kecil menuju pintu utama di mana Alvaro baru saja meninggalkan jejak.
Dinginnya malam membuat Winnie menggigil, tetapi dia bersyukur karena sempat membawa jaket tebal bersamanya.
"AL!" teriak Winnie, yang berhasil didengar Alvaro dari jauh. Untungnya, dia belum masuk ke dalam mobil yang diparkir di halaman rumahnya yang luas.
Alvaro tersenyum begitu lebar. Dia segera berbicara singkat pada supir pribadinya sebelum berbalik ke arah Winnie.
Tidak disangka-sangka, Alvaro membentangkan lengan hanya untuk memeluk Winnie erat di hadapannya. Cewek itu jelas kaget. Jika saja Alvaro belum memberitahu tentang keseriusannya atas hubungan mereka berdua, Winnie sudah pasti akan mendorongnya dan bertanya apa maksudnya melakukan hal itu.
Masalahnya sebelum Alvaro mengakui perasaannya, Winnie belum pernah melakukan kontak fisik dengannya sedekat ini. Selain dengan Afin maksudnya. Mungkin karena Alvaro mengira Afin juga menyukainya, jadi dia berusaha menerima. Namun, setelah mengetahui perasaan Afin yang sebenarnya, Alvaro sudah tidak sungkan lagi dengan Winnie.
Sekadar berpelukan saja sebenarnya tidak cukup bagi Alvaro. Cowok itu selalu menginginkan lebih untuk memiliki Winnie karena begitu menginginkannya.
Karena begitu mencintainya.
Alvaro melepas pelukannya sebelum menatap Winnie dengan intens, yang entah kenapa membuat cewek itu merasakan sesuatu yang hangat, padahal cuaca di luar begitu dingin.
"Thanks, ya, udah nemuin gue sebentar. Gue yakin malam ini gue bisa tidur nyenyak."
"Thanks juga karena lo udah ngomong langsung ke Papa sama Mama. Walau sederhana, bagi gue, ini cukup menaikkan nilai sebagai perempuan karena sempat ditolak Afin. Agak malu rasanya, soalnya gue belum pernah ditolak sebelumnya."
"Lo sempurna, Win, jadi lo harus disandingkan dengan gue yang sempurna," kata Alvaro dengan tatapan jenaka. "Masuk, gih. Angin malam nggak baik buat kesehatan. Jangan lupa mimpiin gue, ya."
"Gue pake jaket, kok. Jaketnya juga tebal."
"Oh, jadi maksudnya lo mau lama-lama pelukan sama gue?"
"Eh, bukan gitu," kilah Winnie, tidak sadar wajahnya mulai memerah. "Gue...."
"Gue seneng, Win."
"Kenapa?"
"You're blushing for the first time. And it's because of me."
Winnie melongo, yang malah memperparah rona di wajahnya.
Alvaro tertawa. "I'm now totally sure you will fall for me soon. I can't wait till that moment."
Lidah Winnie mendadak kelu. Di satu sisi dia ingin membantah, tetapi di sisi lain dia merasa apa yang dikatakan oleh Alvaro mungkin benar adanya. Karena pada detik perasaannya menghangat gara-gara pelukan Alvaro tadi, sempat membuatnya ragu.
⭐⭐⭐
Freya mendongak dan matanya beradu dengan netra Afin yang menyorotinya tajam.
"Kayaknya lo mulai agresif setelah mendengar sandiwara itu," ejek Afin dengan tatapan jenaka. "Apa karena lo akhirnya bisa merasakan punya pacar konglomerat, jadinya lo sesenang ini sampai masuk ke kamarnya?"
Freya berdeham keras, matanya menyalang galak tidak terima. "Bukan gitu! Beda, dong! Lagian, gue nggak beneran punya pacar konglomerat, kok. Ini, kan, cuma sandiwara."
"Sandiwara sampai lo nyamperin ke kamarnya dan masuk gitu aja? Gue yakin lo nggak senaif itu."
"Defian Fransisco!"
"Ya, Freya Gisella?"
"Gue beneran nggak seperti yang lo pikir! Gue disuruh abang lo. Kalo nggak percaya, tanya aja sendiri."
"Jadi, lo ikutin aja?" tanya Afin sembari memicingkan matanya. "Kalo dia nyuruh lo tidur di kamar gue, emangnya lo mau juga?"
Candaan Afin sepertinya keterlaluan karena Freya tampak tersinggung. Sorot matanya berubah menjadi datar saat berbicara, "Sori demi sori, tapi gue bukan cewek gampangan kayak gitu. Terserah, deh, mau percaya apa nggak. Yang penting gue udah nyesel ikutin saran abang tercinta lo ke sini. Maaf udah ganggu aktivitas malam lo yang berharga itu."
Lantas, Freya mendorong bahu Afin dengan bahunya kasar meski teknisnya serangan itu tertuju pada sisi lengan Afin gegara tubuh jangkungnya.
Namun sebelum cewek itu benar-benar meninggalkan kamar milik Afin, cowok itu mencekal pergelangan tangannya.
"Sori, gue nggak bermaksud buat lo tersinggung," ucap Afin pelan dengan ekspresi yang benar-benar bersalah dan itu cukup bagi Freya untuk memaafkannya.
"Oke, gue maafin."
"Cepat juga, ya, lo maafin gue. Gue kira lo bakal marah ampe seminggu."
"Jadi, lo mau gue marah lama-lama?" tanya Freya galak. Alisnya berkerut karena kesal.
"Bukan gitu!" kilah Afin.
"Kalo gitu kita lanjut ke sesi sandiwara biar nggak ketahuan nantinya," ajak Freya. "Tapi sebelumnya gue mau nanya sama lo, kenapa lo mau bantuin gue? Lo bisa aja nolak. Toh, lo nggak rugi apa-apa."
Afin tidak langsung menjawab, dia menarik tangan Freya untuk duduk di kursi berlengan yang ada di kamarnya, sementara dia sendiri menarik kursi lain yang diposisikan di hadapan cewek itu. "Gue memang nggak rugi karena setidaknya gue bisa bantuin Alvaro lebih dekat sama Winnie."
Freya hendak membuka mulut untuk mengucapkan pujian pada Afin, tetapi dipotong olehnya. "Meski itu berarti gue harus pacaran sama lo."
Pujian itu lenyap begitu saja dari pikiran Freya. Sebagai gantinya, dia merespons dengan nada sinis. "Terima kasih banyak. Setelah rumor itu mereda, gue akan pastikan langsung putus sama lo."
"Yakin? Bukannya lo mau rasain gimana rasanya pacaran sama anak konglomerat? Oya, juga... sensasi dilempar uang tunai sama Nyonya konglomerat, 'kan?"
"Tolong, ya, Defian Fransisco. Gue cukup tau diri untuk pacaran sama anak konglomerat yang jelas jauh dari jangkauan gue. Gue masih punya harga diri untuk sadar apa posisi gue dan--"
"Menurut gue, lo nggak cocok disebut nggak layak disandingkan sama anak konglomerat. Lo-nya aja yang terlalu merendahkan diri."
"Kalo gitu emangnya lo mau sama gue?"
"Bukan itu maksud gue."
"Menurut gue, lo nggak bisa memberikan nasihat di saat lo sendiri nggak bisa memenuhi nasihat itu. Gua bisa paham arti tindakan lo waktu nolak Winnie. Manusia Barbie yang perfect aja bisa lo tolak, apalagi dari kaum seperti gue. Jadi, gue cukup tau diri. Oke?"
Afin hendak membantah, tetapi tidak jadi karena Freya jelas sedang tidak ingin dibantah saat ini.
Afin hanya tidak mengharapkan Freya benar-benar mendiamkannya selama seminggu jika dia memaksakan debat di antara mereka.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro