10). Run the Plan
"Papa nggak lagi latihan drama, 'kan?" tanya Freya dengan nada tidak percaya sementara Benny menunjukkan tatapan penuh celaan karena sepanjang penjelasannya, pria itu yakin tidak ada satu pun yang diserap Freya dalam otaknya.
"Kamu dengerin Papa nggak, sih?" tanya Benny sambil mendecakkan lidah dengan tidak sabar.
"Soalnya Papa nyuruh aku sandiwara, jadi aku kira itu cuma candaan Papa doang," jelas Freya, berusaha mengabaikan penjelasan Benny, merasa semuanya tidak masuk akal.
Benny menenggak kopinya sampai habis sebelum menatap Freya dengan kesabaran yang patut dipuji. "Freya, apa Papa harus mengulang lagi? Kalo iya, sebaiknya kamu serius dengarnya karena Papa nggak akan siaran ulang. Ini udah keempat kalinya, loh."
"Jadi, Papa beneran serius, ya?" tanya Freya dengan tatapan horor. Matanya membulat hingga ke bukaan maksimal.
Cukup lebay, memang. Namun saat ini, apa yang ditunjukkannya benar-benar alamiah adanya.
Benny mengangguk. "Papa juga serius soal mengundurkan diri dari jabatan Papa sebagai Sekretaris Grup Byantara. Papa udah pindah ke Grup Delfi, milik keluarga temannya Alvaro yang namanya Defian itu. Kamu pasti kenal siapa dia."
"Iya, aku ada denger soal itu. Ada masuk ke otak aku, kok, kecuali sandiwara itu. Terlalu fana, soalnya."
Benny tergelak. "How could you look down on yourself that much? Come on, my daughter. You belong to yourself. Papa aja percaya diri bergaul sama orang-orang dalam dunia konglomerat. Masa kamu nggak bisa?"
"Bukan gitu, Pa. Aku cuma--"
"Nggak ada alasan, Freya. Lagian ini gara-gara kamu kebanyakan nonton drama. Kamu tentu berbeda dari San Chai. Papamu nggak miskin-miskin amat, kok. Kalo ada yang berani merendahkan kamu, Papa bisa nyewa pengacara terbaik."
"Ciee...." Freya auto meledek. "Iya, aku tau kita termasuk golongan menengah, tapi tetap aja aku merasa sandiwara itu terlalu berlebihan. Nggak ada solusi lain ya, Pa?"
"Ini jauh lebih baik, Freya. Kamu pilih mana, terlibat rumor antara Alvaro sama Winnie yang jelas-jelas akan bertunangan atau terlibat rumor sama Defian? Papa lebih milih dia soalnya Papa udah diskusi sama abang sulungnya, si Delpiero, yang akan jadi atasan Papa nantinya. Sandiwaranya cuma sampai rumornya mereda, kok. Tapi kalo mau lanjut juga nggak apa-apa, sih. Hehehe...."
"Harus banget, ya, Pa? Kalo aku nolak gimana?" tantang Freya coba-coba.
"Kamu nggak bisa nolak, Freya. Papa udah berhenti dari perusahaannya Pak Byantara. Emangnya kamu tega, ya, sia-siain usaha Papa buat melindungi kamu? Lagian, siapa suruh kamu salaman sama anaknya dengan ekspresi kayak gitu. Jadinya kamu dikira cinta setengah mati sama anaknya."
"Alvaro, kan, emang ganteng, Papa. Ngalah-ngalahin Dylan Wang pemeran Dao Ming Si. Siapa, sih, yang nggak bisa tahan natap dia lebih dari satu menit? Aku yakin Mama juga nggak bisa."
"Loh... kok, bawa-bawa Mama?" protes Benny tidak terima.
"Mama, kan, pecinta drama Korea, jadi kalo lihat yang ganteng-ganteng langsung nggak tahan. Apalagi ketemu langsung. Mungkin udah saingan sama mentega karena sama-sama meleleh."
"Makanya Mama jatuh cinta sama Papa karena visual Papa itu Ahjussi rasa Oppa," kata Benny pede sambil tersenyum manis, disambut cibiran dari Freya.
"Iya, sih, aku akuin Papa juga ganteng," puji Freya akhirnya setelah meneliti wajah Benny dengan mata besarnya. "Buktinya aku juga cantik, 'kan? Oke, aku nurut sama rencana Papa. Tapi si Afin udah setuju, 'kan?"
"Of course, he is." Benny menjawab cepat. Sebenarnya tidak sepenuhnya benar, tetapi pria itu yakin kalau Delpiero pasti sudah berhasil meyakinkan adik bungsunya.
Freya menghela napas panjang. "Oke. Jadi aku mesti gimana?"
Benny tersenyum gembira seakan memenangkan lotre. Lantas seolah-olah sedang mendalami peran detektif yang memberikan misi pada partner-nya, Benny menatap Freya dengan intens sambil berbisik, "Jadi anggapannya, kamu sama Afin itu udah lama pacaran diam-diam, trus terpaksa harus terbongkar karena Afin telanjur nolak Winnie meresmikan pertunangannya..."
"... dan nanti kami akan putus setelah rumor udah mereda," sambung Freya. "Tapi aku masih nggak ngerti."
"Nggak ngerti kenapa, Sayang?"
"Anggota A4 lain sama Winnie nggak mungkin bakal percaya, Pa. Jelas-jelas waktu pertama ketemu, nggak ada yang kenal sama aku. Lagian aktivitas Afin selama ini pasti kebanyakan bareng sama mereka, jadi--"
"Afin termasuk anggota yang paling pasif di antara yang lain, Freya. Abangnya sendiri bilang sama Papa. Afin itu tipe anak rumahan atau istilahnya dalam bahasa Inggris itu 'He prefers stay at home to hang out with friends'.
"Nggak usah diterjemahkan kali, Pa. Kenapa, ya... nggak Papa, nggak Renata, nggak teman-teman yang lain, selalu aja selip kalimat bahasa Inggris dalam percakapan," gerutu Freya kesal. "Kita tuh tinggal di Indonesia, bukannya--"
"Iya-iya, Papa paham. Papa terbiasa ngomong bahasa asing sama rekan kerja, jadi maklumi aja, oke?" potong Benny sebelum ucapan Freya semakin panjang ngalah-ngalahin kereta api. "Jadi, kamu udah paham, kan, sandiwaranya kayak gimana karena kamu bisa menyambung kalimat Papa tadi. Kalo ada pertanyaan lain, kamu bisa nanya Papa lagi. Papa temui Delpiero dulu, ya."
"Ngapain? Emangnya Papa udah masuk kerja sekarang? Udah malam juga."
"Buat bahas persiapan apa aja yang perlu Papa siapkan untuk kerja besok," kata Benny, lalu mendadak saja ada ide yang muncul dari dalam otaknya begitu saja. "Eh, tapi... Papa punya ide lagi."
"Apalagi, Pa? Jangan bilang Papa mau aku ikut biar bisa temuin Afin juga."
Freya berniat sarkastik, tetapi ternyata dia melakukan kesalahan besar. Benny menatapnya seakan sedang kejatuhan durian runtuh.
"Tumben anak Papa pinter. Papa yakin sandiwaranya akan sukses kalo kamu seperti ini. Yuk, kamu ikut Papa sekarang."
Benny menarik lengan Freya yang sekarang seperti cacing kepanasan, menolak untuk patuh. "PAPA! AKU, KAN, NGGAK SERIUS! LEPASIN AKU, PA! MAMAAA, TOLONG AKUUU!"
Permintaan Freya tentu tidak akan disetujui oleh Viola karena wanita itu mendukung suaminya seratus persen. Namanya juga suami-istri.
⭐⭐⭐
Freya melongo sepanjang perjalanan dari halaman rumah kediaman Fransisco hingga ruang tamunya. Desainnya benar-benar mewah seperti istana. Bahkan, dia sampai mendongak untuk mengukur ketinggian langit-langitnya yang ternyata bisa mencapai lima kali lipat jaraknya dengan ruang tamu milik rumah Freya.
"Pa, aku pulang sendiri aja, ya?" bisik Freya yang mendadak merasa tidak ada apa-apanya di sana. Jujur saja, rasa malu juga menguasainya sekarang karena pada kenyataannya, dia yang mengunjungi rumah cowok, bukan sebaliknya. Apa kata Renata jika mengetahui hal ini?
Benny melirik sekilas pada anak perempuannya, lantas berbicara seolah bisa membaca pikiran Freya. "Kamu nggak usah malu. Sekarang udah zaman canggih, jadi ngapel ke rumah pacar sendiri itu udah biasa."
"Pa, aku serius," bisik Freya dengan nada memohon seakan sebentar lagi akan dihukum pancung. "Aku berubah pikiran, bisa, kan, ya? Papa boleh potong setengah uang jajan aku. Aku rela diet atau puasa sebulan. Dua bulan pun boleh. Plisss...."
Benny menarik seringai di bibirnya. "Yakin? Porsi makan yang kayak kuli bangunan itu nggak mungkin bisa buat kamu diet, Sayang, jadi menyerah aja, ya? Pantang, loh, kalo menentang kemauan Papa. Takutnya besok-besok kamu yang cinta setengah mati ke Afin."
Freya membuka mulut untuk melawan, tetapi diurungkannya saat melihat seseorang yang mendekat. Meski sekarang ruangan sudah cukup terang dengan lampu yang disorot dari segala penjuru, Freya merasa ada tambahan sinar lain yang keluar dari sisi tubuhnya selagi dia berjalan, terutama sinarnya lebih menjurus ke wajahnya yang sangat tampan.
Freya terpesona. Mulutnya otomatis terbuka lagi saking terpesonanya dengan visual yang berjalan ke arah mereka. Bahkan ketika pria itu tersenyum, Freya merasa seperti sedang berada di antara awan-awan.
"So, is she your daughter? How cute she is," puji Delpiero, sembari duduk di hadapan Benny.
Freya masih terpesona, lalu berbisik pada Benny secara tidak sadar. "Pa, kayaknya semua keturunan konglomerat pasti cakep semua, ya? Mereka makan apa, sih, sebenarnya? Coba Papa tanyain."
Benny melirik Delpiero dengan tatapan tidak enak, sementara yang dilirik tersenyum lebar.
"Please pretend to not listen what she said just now," pinta Benny dengan nada meminta maaf, disambut gelak dari Delpiero sementara Freya menunduk, jadi malu sendiri.
"But I like her," puji Delpiero bersungguh-sungguh. "Jangan sungkan meski saya jauh lebih tua dari kamu. Saya Delpiero Fransisco, kakak sulungnya Defian. Salam kenal, ya."
Freya menyambut uluran tangan Delpiero untuk bersalaman dengan kecanggungan yang kental. "Saya Freya Gisella, adik kelasnya Afin."
"Kak Benny pasti udah ceritain semuanya, jadi kamu nggak perlu sungkan. Saya juga setuju kalau lebih baik rumornya dibantu sama Afin untuk sementara. Setelah semuanya kelar, kamu bisa berpura-pura putus sama Afin atau apa, terserah kalian. Tapi kalo mau lanjut juga nggak apa-apa, kok. Toh, Afin nggak ada calon tunangan sekarang."
Baik Benny maupun Delpiero sama-sama menarik senyum sembari melempar tatapan pada Freya yang wajahnya merona parah hingga ke telinganya.
"Hmm... iya, Kak," jawab Freya akhirnya karena merasa akan tidak sopan jika tidak merespons.
"Kalo bosan, kamu bisa temuin Afin di kamarnya soalnya saya sama Kak Benny mungkin bakalan lama karena banyak yang mau kami bicarakan."
Lantas tanpa menunggu jawaban Freya, Delpiero memberi isyarat pada salah satu asisten rumah tangga untuk mengantar Freya ke kamar Afin.
Freya ingin menolak, apalagi gagasannya adalah mengunjungi kamar pribadi cowok di malam hari. Namun, apalah daya. Juga, Freya jadi penasaran bagaimana reaksi Afin atas sandiwara yang harus mereka lakukan mulai besok. Bukankah sudah sewajarnya jika Freya berdiskusi dengan cowok itu? Bagaimanapun, mereka tidak boleh sampai ketahuan karena memberikan informasi yang tidak selaras satu sama lain.
Asisten rumah tangga tersebut berhenti di salah satu pintu, lalu mempersilakan Freya dengan gerakan tangan sekilas sebelum menunduk untuk pamit. Cewek itu spontan menarik dan mengembuskan napas panjang seakan sedang melakukan persiapan mental untuk menghadap raja. Kemudian setelah lebih tenang, dia mengetuk pintu tiga kali sebelum memutar kenop untuk membukanya.
Kesan pertama yang dirasakan Freya adalah luas kamar dan desainnya yang tampak begitu luar biasa karena tidak hanya diisi dengan kasur dan lemari. Ada banyak wahana permainan; mulai dari mainan tembak-tembakan, balap motor dan mobil, permainan basket, hingga tap dance meski Freya sempat menyayangkan tidak ada mesin penjepit boneka di dalamnya. Pikiran tersebut segera ditepisnya karena tidak mungkin seorang Afin bisa menikmati menangkap boneka seperti dirinya.
"Bukannya kalo masuk kamar seseorang, seharusnya lo nyari pemiliknya dulu bukannya terpukau sama isinya sampai lupa diri?" Sebuah pertanyaan sinis di belakang Freya terdengar, membuat cewek itu mengutuk diri sendiri karena tidak bisa mengontrol setiap terpesona pada sesuatu.
Freya juga baru sadar kalau kakinya sudah membawanya masuk ke dalam kamar Afin lebih dalam hanya untuk mengamati wahana permainan yang dimiliki cowok itu.
"Dan juga, ruangan yang lo masuk itu kamar cowok," tambah Afin dengan nada yang diulur-ulur, jelas mengejek.
Freya menunduk, berharap bisa bergabung menjadi salah satu wahana permainan saat ini. Setelah beberapa saat, dia akhirnya menoleh ke belakang dengan senyuman yang sangat canggung. "Hmm... maaf, ya. Gue nggak sengaja. Kayaknya gue udah ganggu. Maaf, ya."
Punggung Freya membungkuk canggung saat melewati Afin, berharap bisa menyembunyikan wajahnya yang sudah berubah warna menjadi semerah saga, tetapi rencananya hanya sebatas mimpi karena Afin menggeser tubuh sehingga kepala Freya bertubrukan dengan bagian tubuhnya.
Lebih tepatnya, sisi kepala Freya mengenai bagian dada Afin. Tubuh jangkungnya memberi kesan intimidasi pada tubuh mungil Freya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro