Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Pecahan Memori

— ■ —

Stephanie duduk terdiam di lantai, sambil memandang barisan bidak catur yang ada di hadapannya. Mata cokelat ambernya tak berkedip sedikitpun. Tangan kanannya mematung di udara, siap untuk meraih salah satu bidak putih yang ada. Hingga akhirnya, ia pun memilih menggerakan salah satu bidak uskupnya.

Sang wanita kemudian menghela napas. Menyandarkan punggungnya di sofa panjang yang berada di belakangnya.

"What the fucking hell this?"

Suara seseorang berhasil menarik perhatian Stephanie. Ia menoleh kemudian ke balik punggungnya, dan mendapati sosok tuan rumah yang ia tinggali untuk sementara.

"Good morning, Mr.Melrose," sapanya dengan senyum tipis.

Patrick tak menyahut. Hanya memandang papan catur yang ada di atas meja di hadapan Stephanie.

"Dari mana catur itu berasal?" tanya Patrick kemudian. Tak tertarik membalas sapaan Stephanie sebelumnya.

"It's mine," jawab sang wanita kembali memusatkan perhatiannya pada permainan strategi itu. "Karena tak ada yang menarik di rumah Anda selain obat-obatan itu, saya memutuskan untuk pulang dan mengambil papan catur, puzzle serta buku sudoku dan teka-teki silang milik saya,"

Patrick memandang Stephanie tak percaya.

"Kau baru menetap di sini selama tiga hari, dan kau sudah bertindak seenaknya?" balas Patrick terdengar tidak terima.

Stephanie ganti memandang Patrick dengan tatapan serupa.

"Maaf. Tapi Anda sendiri yang mengizinkannya," ujar Stephanie membela diri. "Hari sebelumnya, Anda mengatakan bahwa saya boleh melakukan apapun, selama tidak mengganggu Anda. Dan ini," Ia menyambar salah satu bidak catur putih yang ada, lalu menunjukkannya kepada Patrick. "Adalah milik saya. Dan apa yang saya lakukan dengan ini, jelas sama sekali tidak mengganggu Anda. Saya tidak meminta Anda bermain dengan saya. Tidak akan."

Lidah Patrick terasa kelu. Apa yang diucapkan wanita itu memang betul. Sangat betul.

Dua hari sebelumnya, saat dimana Stephanie datang kepadanya dan Patrick menyetujui masa percobaan itu, ia memang mengatakan bahwa dirinya mengizinkan Stephanie melakukan apapun. Selama apa yang dilakukan Stephanie tidak mengganggu diri Patrick. Dan hari ini--detik ini--apa yang tengah dilakukan Stephanie, jelas tak mengganggu Patrick. Bahkan wanita itu terlihat bermain sendiri.

"Anyway," Saat Patrick hendak berucap, Stephanie telah lebih dulu kembali buka suara. "Sekarang, bagaimana jika Anda pergi membersihkan diri?" tawarnya kembali meletakkan bidak caturnya di posisi semula, lalu memandang Patrick yang masih dengan pakaian tidurnya. "Dan saya akan menyiapkan sarapan." Tambahnya kemudian.

***

Patrick duduk bersandar dinding kamar mandi, diampit dengan washtafel putih di sisi kanan dan closet duduk berwarna serupa di sisi sebaliknya. Ia telah selesai membersihkan diri dan sudah berpakaian--walau itu adalah pakaian yang sama yang ia kenakan sebelumnya--sedari tadi. Tapi sang pria memutuskan untuk tidak keluar karena tak ingin melihat wajah wanita dari Metanoia tersebut. Selain itu, ada hal yang perlu dilakukan Patrick sebelum ia benar-benar selesai membersihkan diri. Dan kali ini, hal itu terpaksa ia lakukan diam-diam. Tanpa sepengetahuan Stephanie.

Sesaat, ia menyesal menerima saran yang diajukan wanita pirang madu itu.

Pria berambut cokelat tersebut meraih sebuah botol kecil bening yang tergeletak di dekat kakinya. Menatap cairan bening yang ada di dalamnya sesaat. Sebelum ganti meraih sebuah suntikan yang ada di pinggir wastafel di dekatnya.

"Well ... Old friend," Patrick memandang botol dan suntikan tersebut bergantian. "Selamat tinggal. Kita takkan bertemu lagi saat ini."

Tangan pucat itu bergerak membuang suntikan di tangan kanannya ke tempat sampah di hadapannya. Sedangkan tangan yang membawa botol kecil sebelumnya, tampak menuangkan isinya ke closet duduk putih di sisi kirinya. Dan begitu isinya telah habis tak tersisa, Patrick pun membuang botol kosong itu ke tempat sampah. Bangkit kemudian dari posisi duduknya sambil bertumpu pada washtafel putih lalu—

"PATRICK!"

Patrick mengangkat kepalanya spontan ketika mendengar teriakan tersebut. Pupil biru kehijauannya membulat, perasaan tak nyaman datang menyerangnya tiba-tiba.

'Pilihlah. Yang kanan atau kiri.'

Suara pria dewasa tiba-tiba terngiang di pikirannya.

Ia menggeleng. Mencoba untuk tidak fokus--tidak mendengarkan--suara itu.

'Patrick, mendekatlah.'

Kembali, suara itu terdengar olehnya. Membuat sang pria menutup rapat matanya, untuk melawan suara itu. Dan tidak melihat sesuatu yang sering dilihatnya, jika teringat akan suara tersebut.

'Ayah mohon padamu.'

Patrick membuka matanya kemudian. Dengan perasaan takut melirik ke langit-langit, dan mendapati seekor kadal kecil menyerupai tokek ataupun sejenisnya, berada di sana. Menempel di pinggir langit-langit dan tak bergeming dari tempatnya.

"Mr.Melrose!"

Suara Stephanie terdengar kemudian dan berhasil menarik perhatian Patrick dari hewan tersebut. Ia memandang Stephanie dalam diam, yang balik menatapnya dengan kesal.

"Kenapa Anda la—"

"A ... a ... aku ...," Ucapan Stephanie terpotong oleh perkataan Patrick. Namun cara pria itu berbicara, jelas terdengar gugup dan terbata-bata. "Aku ... akan me ... merahasiakan ... n ... nya ...,"

Stephanie memiringkan kepalanya. "Mr.Melrose?" panggilnya dengan heran, dan perlahan mendekati pria berambut cokelat itu. "Apa yang terjadi?"

Melihat Patrick tetap diam di tempatnya ketika dirinya mendekat, Stephanie pun perlahan meraih kedua bahu pria itu. Meremasnya pelan untuk meminta perhatian Patrick, tertuju padanya.

"Mr.Melrose, apa Anda bisa mendengarkan saya?" tanyanya pelan dan tidak menuntut.

Patrick menatap Stephanie dengan pandangan yang buram dari sudut pandangnya. Membuat ia harus menggelengkan kepalanya, guna memfokuskan diri pada wanita honey blonde itu.

"Will ... kerson ...?" sebut Patrick akhirnya. Yang diam-diam, membuat Stephanie menghela napas lega.

"Yes, that's me," balas Stephanie mengangguk, dan mengarahkan salah satu tangannya ke punggung Patrick. Mengusap bagian itu agar sang pria merasa tenang. "Tenanglah, Sir. Anda akan baik-baik saja,"

Usapan yang dirasakan Patrick di punggungnya, terasa lembut. Seperti usapan yang diberikan Ibunya ketika ia masih kecil dulu. Terasa menenangkan dirinya kala itu.

Stephanie terus mengusap punggung Patrick. Menyadari sang pria sedikit tenang dengan perlakuan itu, ia pun memutuskan untuk tetap melakukannya. Dan menutup rapat mulutnya. Membiarkan keheningan menemani mereka.

"Will ...?" Tiba-tiba, suara Patrick terdengar lirih. Tapi cukup untuk memecah keheningan yang ada.

"Ya?" Stephanie membalas dengan singkat. Dan sejujurnya, cukup terkejut dengan perubahan sikap Patrick padanya.

"Apa ... kau melihat sesuatu ... di sana?" Dengan tangan gemetar, Patrick menunjuk ke arah yang dilihatnya sebelumnya. Tepatnya ke langit-langit dimana hewan kadal sebelumnya itu berada.

Stephanie mengerjap beberapa kali. Tapi kemudian, ia pun menoleh ke arah yang ditunjuk Patrick. Memandang ke sudut langit-langit dalam diam.

"There's nothing in there," jawab Stephanie akhirnya, "just ... ceiling."

Jawaban itu pun membuat Patrick menoleh cepat ke arah yang sama. Dan begitu ia memandang kesana, sang pria mengerjap beberapa kali. Hewan itu tak ada lagi di sana. Membuat Patrick terpaku di tempat, sebelum menoleh ke sisi plafon lainnya.

Nothing.

There's nothing.

"Mr.Melrose?"

Suara Stephanie menarik perhatian Patrick untuk kembali kepadanya. Manik cokelat amber itu memandang balik kepadanya, dengan sorot mata ingin tahu.

"T-tidak ada apa-apa," ujar Patrick akhirnya. Dan ia baru menyadari, perasaan berdebar yang ia rasakan sebelumnya, kini telah sirna.

"Anda yakin?"

Patrick mengangguk. "Anyway, how you can coming in?" tanyanya kemudian mengganti topik, "I'm very sure, the door's locked,"

"That's easy," jawab Stephanie menggedikan bahu, "I just broke it,"

"Kau melakukannya lagi?! Bagaimana jika aku sedang mandi?!"

Stephanie memutar bola matanya. "Jangan khawatir. Saya bisa mendengar suaranya," balas sang wanita enteng, "itulah mengapa saya memilih untuk masuk, karena saya tahu Anda tidak sedang mandi,"

Patrick hendak membalas, tapi Stephanie kembali melanjutkan.

"Ngomong-ngomong, tolong segera ke ruang makan," minta Stephanie, "sarapannya akan segera dingin jika Anda terlalu lama."

Tanpa berniat menunggu balasan Patrick, Stephanie berbalik memunggungi pria itu dan melangkah meninggalkannya.

"Apa tujuanmu datang kemari?" tanya Patrick tiba-tiba. Membuat Stephanie menghentikan langkahnya dan sedikit berbalik untuk menatap Patrick.

"Posisi barang di laci bergeser," jawab Stephanie, "dan ada benda yang hilang di sana,"

"Laci?"

Stephanie mengangguk. "Botol kokain dan heroin yang ada di laci kamar Anda, tidak ada di sana," jelasnya, "yang berarti Anda mengambilnya saat saya sedang tak memerha—"

"Kau masuk ke kamarku?" potong Patrick.

Stephanie terdiam sesaat. Memikirkan jawaban itu.

"Ya," jawab Stephanie akhirnya, "secara diam-diam di hari sebelumnya. Dan saya bersumpah, saya tak mengambil apapun di sana. Termasuk obat-obatan milik Anda. Saya hanya ingin mengetahui dimana Anda menyimpan obat-obatannya, agar saya tahu kapan Anda menggunakannya."

***

Keheningan jelas terbangun di meja makan itu. Baik Patrick maupun Stephanie, keduanya tak berniat membuka topik pembicaraan apapun. Patrick sibuk dengan sarapannya, sedangkan Stephanie dengan laptop pribadinya. Duduk saling berhadapan.

"Apa yang kau lakukan?"

Setelah panjangnya keheningan--hanya ada suara keyboard yang diketik--Patrick bersuara lebih dulu. Mendengar pertanyaan itu, spontan Stephanie memiringkan kepalanya agar dapat melihat Patrick tanpa terhalangi layar laptopnya.

"Anda penasaran?" balas Stephanie justru bertanya balik, dan tampak menaikkan sebelah alisnya.

Mendapatkan balasan itu, Patrick tampak menyipitkan mata. Menyesal telah bertanya.

"Maaf, maaf. Saya tidak bermaksud mempermainkan Anda," ujar Stephanie lagi. Seolah tahu bahwa balasannya barusan telah membuat Patrick merasa kesal atau sejenisnya. "Saya hanya sedang menulis laporan,"

"Laporan?"

Stephanie mengangguk. "Laporan soal tugas saya ini," jelasnya, "sebagai bukti bahwa saya melakukan pengamatan terhadap klien saya sendiri,"

"Rasanya merepotkan sekali,"

Jemari Stephanie yang semula tengah menari-nari di atas keyboard, seketika terhenti kala mendengar komentar Patrick.

"Tidak juga," sanggah Stephanie kembali menggerakkan jarinya, "jika memang ia sadar apa perannya."

Patrick hanya membalas dengan dengusan sebal. Sebelum melahap potongan pancakenya, dan melahapnya. Merasakan rasa manis dari sirup maple di lidahnya.

"Bicara soal peran," Kembali, Patrick berucap. "Apa perusahaanmu juga menerima permintaan semacam 'itu',"

"Itu?"

Patrick mengangguk. "Partner di ranjang," jelasnya.

"Maksud Anda partner seks?"

"Yah ... aku mencoba menggunakan kata yang lebih halus,"

Stephanie mendengus dari balik laptopnya. "Terima kasih kalau begitu," ujarnya tersenyum tipis, "dan soal pertanyaan Anda, jawabannya adalah tidak. Metanoia bukanlah rumah bordil ataupun prostitusi. Kami ada untuk berperan sebagai teman ataupun partner yang sifatnya positif. Bukan sebagai budak seks,"

"Jadi, kalian akan mempertanyakan tujuan penyewaannya terlebih dulu?"

"Ya," Stephanie mengangguk, "dan mempertimbangkannya. Tidak semua tujuan penyewaan klien bisa diterima oleh perusahaan,"

"Bagaimana jika kliennya berbohong?"

"Dan bukan berarti kami--orang yang disewa--akan tutup mulut dengan kenyataan dilapangan, 'kan?"

"Oh, benar."

Keheningan kembali terbangun. Stephanie fokus dengan laporannya lagi, dan Patrick dengan sarapannya yang tersisa satu potong pancake lagi.

"Apa kau sudah makan?" tanya Patrick lagi.

Stephanie langsung mengangkat kepalanya. Terpaku, dan mengerjap beberapa kali. Lalu akhirnya menggeleng.

"Kenapa?"

"Saya tidak lapar,"

Patrick berdehem panjang akan jawaban Stephanie. Sang pria kemudian menunduk. Menatap potongan terakhir panekuknya, yang dibuatkan oleh Stephanie sebelumnya. Ia memotongnya setengah bagian, lalu menusukannya dengan garpunya dan menyodorkannya ke arah Stephanie.

"Buka mulutmu," pinta sang pria.

"Ha? Apa pu--!!" Gerutuan Stephanie terhenti ketika ia menangkap sepotong pancake mengarah kepadanya. Ia memandang dengan bingung. Sebelum ganti menatap Patrick. "Apa maksudnya ini?"

"Aku membagi makananku," jawab Patrick santai.

"Saya tahu itu. Maksudnya, apa maksud Anda melakukan ini?" Stephanie menunjuk garpu yang mengarah kepadanya itu.

"Kau harus makan,"

"Saya menolak,"

"Makan,"

"Kenapa Anda peduli?"

Pertanyaan itu membuat Patrick terdiam. Duduk kembali di kursinya, dan menarik garpunya ke tempatnya lagi.

"Bukankah kau partner-ku?" balas Patrick memiringkan kepalanya dan menggedikkan bahu.

"Ya. Secara teknis," jawab Stephanie setuju.

"Lalu, apakah salah jika aku sedikit peduli dengan partner-ku?" tanya Patrick kemudian. Yang mana sukses membuat Stephanie membelalakkan mata.

"Bukankah Anda menolak kehadiran saya?" balas Stephanie lagi.

"Yah, memang. Karena itu, ini hanya bonus dariku, sebelum kau pergi beberapa hari lagi," jawab Patrick, dan mengarahkan garpunya lagi kepada Stephanie. "Sekarang, makan,"

"Melakukan ini takkan membuat saya melunak pada Anda, Mr.Melrose,"

"Oh, killjoy."

— ■ —

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro