Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Babi Ngepet

"Piye iki, Pak? Cicilan omah durung dibayar (gimana ini, Pak? Cicilan rumah belum dibayar)," ucap seseorang.

"Yo piye maneh ta, Buk. Aku yo wes kerjo esuk nganti bengi, lak yo ameh piye maneh? (Ya gimana lagi, Bu. Aku udah kerja dari pagi sampai malam, ya mau gimana lagi?)" balas orang yang ditanya.

Wanita yang bertanya menghela napas kesal mendengar jawaban suaminya. Diambilnya dompet kulit berwarna cokelat tua yang tergeletak di meja kayu. Dilihatnya isi dari dompet itu yang hanya berisi beberapa lembar uang kertas berwarna merah dan biru.

"Ameh piye iki, Pak? Nek ora dicicil iso dikon lungo saka omah iki (mau gimana ini, Pak? Kalau nggak dicicil bisa-bisa disuruh pergi dari rumah ini)," ujarnya lagi.

Si suami dari wanita itu menundukkan wajahnya. Malu, itu yang dirasakan olehnya. Sebagai kepala rumah tangga, dia malah tidak bisa memberi istrinya kehidupan yang layak. Dia menghela napas sebentar dan berkata, "Sesok tak pikirno. Wes, kowe turu wae (Besok kupikirin. Dah, kamu tidur aja)."

Wanita berambut ikal itu mengangguk dan berbaring di ranjang kayu yang sudah terlihat usang. Agustya Rahardja-suaminya-menatap wanita tadi dalam-dalam sebelum beranjak dari ranjang.

Dia berjalan pelan ke arah teras sembari membawa segelas teh hangat yang baru saja dibuatnya. Dia lalu duduk di kursi kayu teras rumahnya dan menyesap sedikit demi sedikit teh hangat yang
ada di genggamannya.

Dipandanginya langit malam dengan bintang-bintang dan bulan yang
menjadi hiasan dari sang langit biru. Rasa bersalah menusuk kalbunya, rasa bersalah sebagai seorang suami yang tidak dapat memenuhi kebutuhan istrinya.

Tiba-tiba, dering notifikasi terdengar dari ponsel yang ada di sampingnya. Dengan malas, Agus mengambil dan menghidupkan ponselnya. Sebuah SMS berada di notifikasi paling atas, SMS
tentang ... pesugihan babi ngepet.

"Uwes ra waras ta iki sek SMS? Jaman semene kok enek pesugihan (Udah gila ya ini yang kirim SMS? Jaman segini kok ada pesugihan)," ujar Agus dengan sedikit
menggelengkan kepala.

Dilanjutnya kegiatannya yang tadi sempat tertunda, meminum teh hangat ditemani oleh syahdunya malam. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Agus lalu buru-buru masuk kembali ke rumah dan menaruh cangkir teh kotor yang dibawanya ke wastafel. Pria berumur 40 tahun itu lalu pergi kamarnya dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Tanpa sadar dia pun terlelap.

Suara ayam yang berkokok terdengar nyaring di telinga Agus. Dia sontak terbangun dari tidurnya dan mendapati istrinya yang sudah menghilang dari ranjang. Agus lalu bangkit
berdiri dan berjalan ke arah dapur. Didapatinya sang istri tercinta sedang memasak makanan untuk sarapan pagi.

"Masak opo, Buk? (Masak apa, Bu?)" tanyanya.

Yang ditanya sontak menoleh dengan kaget dan mendapati suaminya ada di belakang. Dia lalu terkekeh seraya berkata, "Rica-rica ayam, Pak." Agus tersenyum semringah mendapati
istrinya memasak makanan kesukaannya.

"Yawes, Buk. Tak enteni ya (Yaudah, Bu. Aku tunggu ya)," ucapnya sembari berjalan berbalik.

Istrinya hanya mengangguk paham dan kembali memasak dengan perasaan bahagia. Dibolak-baliknya daging ayam yang sudah dipotong dadu dan sudah dicampur dengan berbagai rempah-
rempah. Di sisi lain, Agus mengambil handuk biru dan memasuki kamar mandi untuk mandi.

Dia mandi dengan cepat dan keluar kamar mandi dengan mengenakan kemeja putih dan juga celana kain warna hitam yang menutupi hingga mata kakinya. Dia lalu mengambil sisir rambut yang tergeletak di depan cermin dekat kamar mandi. Dia mulai menyisir rambutnya dengan rapi ke
arah kanan.

"Rica-ricane gek dipangan, Pak. Mumpung anget (Rica-ricanya cepetan dimakan, Pak. Masih hangat)," ujar sang istri dikala melihat suaminya
sudah berpakaian rapi. "Wes arek mangkat kerjo ta, Pak? (Udah mau berangkat kerja, Pak)" sambungnya.

Agus mengangguk dan menarik salah satu kursi di meja makan serta mengambil piring. Diambilnya secentong nasi dan beberapa sendok rica-rica ayam lalu memakannya dengan lahap. Terkadang terdengar beberapa kali suara kecap dari Agus yang sedang memakan rica-rica itu.

Setelah makanannya habis, Agus lalu mengambil tas laptopnya dan berpamitan pada istrinya. Diambilnya sepasang sepatu tua yang tergeletak di sudut ruang tamu dan memakaikannya di kedua kakinya. Kunci motor yang ada di meja tamu disambar dengan cepat dan langsung ditancapkan di motor butut yang ditaruh di teras rumahnya.

Motor itu lalu melaju kencang menembus padatnya jalanan Kota Pasuruan pagi itu. Motor dan mobil berlalu-lalang dengan padatnya walau jam masih menunjukkan pukul 06.45 pagi. Kebanyakan dari pengendara mobil dan motor itu adalah para pekerja atau anak-anak sekolah
yang mengejar waktu agar tidak terlambat.

Setelah 15 menit Agus berkutat dengan debu jalanan, dia akhirnya melihat gedung 4 lantai yang menjadi kantornya mulai terlihat. Diparkirkannya motor butut tadi di tempat parkir begitu dia memasuki areal kantor. Dia lalu buru-buru turun dari motor dan memasuki kantor dengan menjinjing tas di tangan kanannya.

"Pak Agus, selamat pagi," sapa salah satu karyawan.

Agus membalas dengan senyuman dan buru-buru duduk di meja kerjanya. Dibukanya laptop yang dibawanya dari rumah dan dihidupkannya. Dia lalu membuka satu file dan mulai mengerjakannya dengan penuh sukacita.

Tak lama kemudian, kantor yang awalnya sepi perlahan-lahan menjadi ramai karena banyak karyawan yang berdatangan. Kursi kosong di kanan kiri Agus kini juga sudah hampir terisi sepenuhnya.

"Pak Agus, dipanggil sama kepala divisi," ucap salah seorang karyawan tiba-tiba.

"Loh, kenapa?" balasnya.

"Enggak tahu, aku cuman disuruh manggil kamu tadi," katanya membalas pertanyaan Agus.

Agus mengangguk dan bangkit berdiri dengan rasa penasaran yang besar. Dia lalu berjalan pelan ke arah ruangan dari si kepala divisi yang memanggilnya. Diketuknya pintu begitu sampai di depan ruangan yang dimaksud, ruangan terpisah dengan pintu kaca yang menjadi penghubung.

"Masuk." Suara renyah seseorang terdengar dari dalam ruangan itu.

Agus lalu membuka perlahan pintu itu. Seorang wanita dengan dandanan girly duduk di kursi belakang meja yang penuh dengan dokumen-dokumen di atasnya.

"Duduk," titahnya dengan
suara pelan.

Agus mengangguk pelan dan berjalan mendekat ke arah wanita itu lalu menarik kursi yang ada di hadapannya. Didudukkannya pantatnya di kursi sembari menatap wanita itu seraya berkata, "Ada apa ya, Bu?"

"Kenapa performa kerjamu beberapa hari ini menurun!? Kamu masih berniat kerja di sini tidak!? Jika kamu tidak niat, keluar saja! Masih ada yang lebih baik dan lebih muda yang bisa gantiin kamu!" bentaknya.

Agus hanya menunduk dan meminta maaf. Wanita tadi lalu berkata, "Ini peringatan terakhir! Kalau sampai terulang lagi, saya nggak segan-segan akan keluarin kamu dari divisi saya Paham!?"

"Paham, Bu," ucap Agus dengan nada sendu.

"Yaudah. Sana keluar!" katanya.

Agus bangkit berdiri dan dengan langkah gontai dia berjalan ke arah pintu kaca yang tak jauh dari kursi tempatnya duduk tadi. Sesaat sebelum dia membuka pintu, diliriknya wanita itu dengan tatapan kebencian. Dibukanya pintu kaca itu lalu dia berjalan ke meja tempatnya kerja.

Ditutupnya laptop yang ada di atas meja dengan kasar dan dimasukkan ke tasnya. Dengan cepat dia meraih tas berisikan laptop itu dan pergi dengan rasa kesal. Diambilnya kunci sepeda motor bututnya dari saku celana dan buru-buru menancapkannya dikala dia sampai di hadapan motornya.

Motornya melaju kencang di bawah teriknya sinar mentari. Aku akan melakukan pesugihan Babi Ngepet! Aku capek hidup pas-pasan! Batinnya kesal. Dia lalu menepi dan membuka ponselnya-mengecek kembali SMS yang masuk padanya malam itu.

"Kecamatan Wonorejo, di sini dicantumkan alamatnya di situ," gumamnya pelan.

Dilajukanlah motornya menuju ke tempat yang dimaksud dengan kecepatan tinggi. Makin lama makin sedikit kendaraan yang berlalu lalang, digantikan dengan rimbunnya pepohonan di kiri
kanan jalan. Agus lalu berbelok di satu persimpangan dan menepi. Diambilnya ponsel yang ada di saku celana kainnya, diceknya kembali SMS yang masuk padanya untuk memastikan bahwa dia ada di tempat yang benar.

"Tempatnya bener kok, tinggal cari rumahnya aja di mana," gumam Agus.

Agus lalu menyimpan kembali ponselnya dan melajukan motornya menyusuri jalanan desa mati itu dengan perlahan. Netranya selalu melihat ke kanan dan kiri, mencari-cari rumah yang sekiranya cocok dengan rumah-rumah yang biasanya dipakai dukun.

Sebuah rumah besar bercat merah di ujung jalan menarik Agus. Rumah besar ... yang suram, dengan bau bunga yang menyeruak hidung dikala Agus mendekat ke arah rumah itu.

Pintu kayu berwarna coklat tua menjadi sorot utama rumah itu. Agus memarkirkan motornya di
halaman rumah dan perlahan berjalan pelan ke rumah itu.

"Kulanuwun (Permisi)," ucapnya sembari mengetuk pintu kayu itu pelan.

Suara pintu yang berdecit terdengar saat tangan ramping Agus menyentuh pintu kayu itu. Agus tersentak kaget selama beberapa saat sebelum memberanikan diri untuk masuk ke rumah itu
melalui pintu yang sudah terbuka sebagian. Suasana pengap terasa saat Agus memasuki rumah itu.

"Ada apa kau datang kemari?" Sebuah suara mengejutkan Agus yang sedang mengendap-endap.

Agus sontak menoleh dan mendapati sesosok pria berjenggot putih dengan pakaian adat Jawa di belakangnya. Pria itu lalu berjalan pelan ke arah Agus dengan keris di tangan kanannya.

"Kau datang kemari ingin menyantet seseorang, melakukan pesugihan, atau melakukan pelet?"sambungnya.

Agus menelan ludahnya sebelum berkata, "Saya ingin melakukan pesugihan Babi Ngepet, Mbah. Saya juga ingin menyantet seseorang."

Pria yang dipanggil mbah itu tersenyum tipis sebelum menyarungkan kembali kerisnya ke sarung keris berlapiskan emas yang ada di pinggangnya. "Panggil saja saya Mbah Kliwon. Duduk, mari kita bicarakan," titahnya sembari berjalan ke satu sudut ruangan.

Diambilnya nampan yang berisi darah ayam, bunga 7 rupa, dan kepala kerbau putih yang ada di atas meja. Pria berjenggot itu lalu berjalan ke arah Agus sembari membawa nampan tadi
yang lalu ditaruh di hadapannya.

"Minum darah ayam itu, tunggulah hingga hari esok. Satu lagi, jika ada orang berkepala babi yang mendatangimu di mimpi, jangan kabur, dia adalah siluman yang akan membuat perjanjian
denganmu," katanya.

Agus mengambil cangkir besi berisikan darah ayam tadi dengan ragu. Dia mendekatkan sejenak cangkir itu ke hidungnya, bau amis darah tercium menyengat saat cangkir itu hanya
berjarak beberapa centimeter saja. Agus lalu menahan napas sejenak sebelum meminum darah ayam tadi dengan buru-buru.

Rasanya gak enak. Batin Agus dikala darah ayam tadi meluncur memasuki kerongkongannya. Ditaruhnya kembali cangkir itu di nampan tadi. Mbah Kliwon lalu mengambil sebatang dupa dan membakarnya. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantra dengan mata terpejam. Mbah Kliwon membuka matanya tepat saat batang dupa telah terbakar habis.

"Sudah, tunggulah hingga nanti malam. Lalu untuk wanita yang ingin kau santet, berikan bungkusan ini padanya. Kupastikan dia akan menjadi gila begitu dia meminum sesuatu yang ada di dalam ini," ujar Mbah Kliwon sembari memberikan sebuah bungkusan kecil warna merah. "Jangan dibuka sebelum sampai di rumah," sambungnya.

Agus mengangguk pelan dan mengambil bungkusan itu. Dia lalu mengambil tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah yang disambut dengan senyum tipis si mbah. Diambilnya selembar uang merah itu dan dia menghilang begitu saja, seolah memang tak pernah ada.

Punggung Agus seketika menjadi dingin. Dia lalu buru-buru mengambil bungkusan tadi dan keluar rumah. Dilajukannya motor bututnya yang terparkir di halaman tadi dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah itu. Setelah 25 menit berkutat dengan padatnya jalanan sore itu, Agus sampai di rumahnya yang langsung disambut dengan wajah kebingungan istrinya.

"Ana opo to, Pak (Ada apa, pak)?" tanya si istri pada Agus.

Agus menggelengkan kepalanya pelan sebelum buru-buru masuk ke kamar. Dikuncinya pintu kamar itu dan dikeluarkannya bungkusan merah tadi. Botol kaca kecil berisi cairan bening
terlihat begitu kain merah yang membungkusnya tersingkap sepenuhnya.

"Apa ini? Botol?" gumam Agus terheran-heran.

Diambilnya botol kecil tadi dengan penuh kehati-hatian. Botol kecil tadi lalu diangkatnya hingga setinggi matanya. Tiba-tiba, botol kecil tadi bergetar pelan diiringi suara tawa seorang wanita yang melengking.

Agus terkejut dan refleks melempar botol itu ke ranjang tempat dia dan istrinya biasa tidur. Dia lalu menarik napas sebentar sebelum mengambil kembali botol itu dan menyimpannya di laci meja. Agus lalu mengambil handuk putih yang tersampir di dinding kamarnya dan memutuskan untuk mandi.

Menu makan malam yang dimasak oleh Sri Utami Pangestuti-istrinya-adalah sayur sop dengan tempe goreng dan sambal. Agus mengambil secentong nasi yang ditaruhnya di piring dengan 2 buah tempe goreng serta sayur sop. Dimakannya makanan masakan istri tercintanya dengan lahap.

"Pak, cicilan ... gimana?" tanya Sri tiba-tiba.

Agus menghentikan laju tangannya yang hampir memasukkan makanan ke mulutnya. Ditaruhnya kembali sendok tadi, Agus lalu berkata, "Tak pikirin dulu ya, Bu." Terbesit di pikiran Agus untuk memberi tahu istrinya pasal Babi Ngepet, tapi diurungkannya.

Selepas makan malam, Agus lalu merebahkan diri di ranjang kamar dan memejamkan matanya sejenak. Pertanyaan tentang hal yang dilakukannya benar ataukah salah muncul secara tiba-tiba. Akan tetapi ditepisnya pikiran itu, dia lalu memutuskan untuk tidur.

"Bangun, wahai manusia! Aku kemari karena ada manusia yang ingin membuat kontrak denganku! Apakah itu dirimu wahai manusia!?" Sebuah suara mengejutkan Agus.

Dia lalu menengok ke kanan dan kiri, mendapati dirinya ada di ruangan gelap yang sunyi. Sangat kontras dengan kamarnya yang terang dan ramai dengan tetangga-tetangga yang sering menggosip hingga tengah malam.

"Siapa kau?" sahut Agus.

"Aku adalah siluman babi yang ingin kau buat menjadi tuanmu!" balas suara tanpa wujud itu.

Seseorang dengan kepala babi lalu muncul dari kegelapan dengan lilin di tangan kanannya. Agus tersentak kaget dan melangkah mundur 3 kali sebelum mengingat kata Mbah Kliwon
untuk jangan takut dan harus berani.

Agus lalu mengambil napas dalam-dalam sebelum berseru lantang, "Buatlah kontrak denganku! Aku ingin menjadi kaya!"

Siluman itu tertawa kencang dengan suara seperti babi yang digorok lehernya. Dia lalu bergerak maju hingga tiba di depan Agus. "Aku suka keberanianmu, ambillah lilin ini dan kau bisa memulai karir pesugihanmu," katanya sembari menyerahkan lilin di tangan kanannya.

Agus lalu mengambil lilin itu, seketika dia merasa seperti tersedot lubang hitam. Dia lalu membuka matanya dan mendapati dirinya kembali ada di kamarnya. Dia menghela napas sebelum menengok ke kanan dan mendapati lilin yang tadi ada di tangannya sekarang.

***

"Bu Sri, akeh tenan mas-masan e (Bu Sri, banyak banget perhiasannya)." ucap salah seorang warga dikala melihat Sri datang.

Sri tersenyum congkak dan berjalan dengan melenggak-lenggok memamerkan perhiasan yang hampir ada di tiap jengkal tubuhnya. Tangannya lalu sibuk memilah dan memilih sayuran yang ada di hadapannya.

"Duh, sayurnya jelek-jelek gini gimana sih! Tau gini mending saya beli di supermarket aja tadi! Bagus-bagus dan masih fresh! Nggak jadi lah aku belanja di sini!" kata Sri.

Dia lalu berjalan dengan congkaknya ke arah dia datang. Rumah besar dengan 3 lantai menjadi arah tujuannya, rumah hasil dia dan suaminya ngepet selama 1 bulan. Diketuknya pelan pintu gerbang rumahnya itu, yang langsung dibukakan dengan pria bertubuh tegap dengan seragam satpam.

"Pagi, Nyonya. Belanjanya sudah selesai?" tanyanya.

Dengan ketus dia menjawab, "Selesai darimana? Sayurnya aja jelek-jelek semua, saya mau ke supermarket, ambilin mobil, cepat!"

Pria bertubuh tegap itu mengangguk pelan sebelum berlari ke arah garasi rumah itu. Dibawanya salah satu dari 3 mobil yang ada menuju ke tempat Sri menunggu. Setelah si satpam keluar, Sri lalu masuk ke mobil dan memposisikan dirinya dengan nyaman sebelum menginjak pedal gas kuat-kuat.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Agus dan Sri sudah bersiap untuk melakukan kegiatan rutinnya. Lilin sudah disiapkan bersamaan dengan jubah hitam.

"Sri, jaga lilinnya bener-bener
loh, ya," ucap Agus sebelum menutupi tubuhnya dengan jubah hitam.

Sri mengangguk dan menyalakan lilin tadi. Tubuh di dalam jubah hitam itu perlahan-lahan menyusut. Babi hitam kecil lalu muncul dari balik jubah itu dan berlari cepat menembus gelapnya malam. Babi itu beberapa kali berhenti di depan rumah warga dan menggesek-gesekkan tubuh bagian belakangnya ke dinding rumah-rumah warga.

Babi kecil itu terus-terusan berlari dan menggesekkan tubuhnya pada setiap rumah yang ditemuinya. Kantung kecil yang ada di pinggangnya perlahan-lahan membesar, penuh dengan uang dan barang berharga.

"Masya Allah, Pak. Babi pak, ada babi lewat!" ucap warga yang sedang ronda dengan histeris.

"Astaghfirullah!" timpal warga lainnya.

Selusin warga lalu mengejar Agus yang berlari kencang menghindari para warga. Api lilin bergoyang-goyang pelan, membuat Sri sedikit khawatir dan menutupi kedua sisi api lilin dengan tangannya. Agus sendiri menemui jalan buntu dan berbalik untuk mendapati bahwa dirinya sudah terpojok.

Babi kecil itu berjalan mundur perlahan-lahan. Saat dia sudah berada di ujung jalan, tiba-tiba babi itu menghilang. Kejadian itu sontak mengagetkan warga yang langsung kocar-kacir mencari babi itu.

"Hah hah, tadi itu nyaris aja aku ketangkep," ucap Agus yang sudah kembali ke rumahnya dan kembali ke wujud manusia.

Lilin lalu perlahan-lahan menciut dan padam, hanya menyisakan sedikit bagian dari keseluruhan. Karung berisi uang dan barang-barang berharga dikeluarkannya dari balik jubah hitam tadi dan diberikannya pada istrinya.

"Uang hari ini. Aku mengantuk, ayo tidur," ucapnya.

Lampu kamar itu lalu dinyalakan dan mereka menaruh karung tadi di sudut kamar, bercampur dengan barang-barang lainnya. Agus dan Sri lalu berbaring di ranjang dan bersiap untuk tidur.

Namun, tiba-tiba sebuah gempa terasa kencang saat mereka sedang bersiap tidur. Mereka berdua sontak bangun dan membuka pintu kamarnya, setengah berlari mereka menuju ke ruang terbuka. Gempa tadi reda setelah beberapa saat. Napas mereka terengah-engah, mereka berdua lalu melihat ke sekeliling sebelum masuk kembali ke rumah.

Suara ayam berkokok membangunkan dua sejoli itu dari tidur lelapnya. Agus mengerjap-erjapkan matanya sejenak sebelum beranjak dari posisi tidurnya. Diambilnya handuk putih di dinding kamarnya dan buru-buru dia memasuki kamar mandi untuk mandi. Selepas mandi, Agus menyetel TV dan memindahkannya ke saluran berita.

"Lihat apa, Pak?" tanya Sri sembari membawa secangkir teh panas.

"Berita, Bu," balasnya.

Berita itu menyorot tentang gempa berskala besar kemarin malam. Mendapat firasat buruk, Agus lalu menatap Sri. "Bu, kita harus pindah rumah deh. Aku ada firasat buruk," katanya.

Sri mengerutkan keningnya dan berkata, "Firasat apa, Pak? Kita di sini baru sebulan, loh. Masa pindah lagi?"

"Pokoknya ada deh firasat buruk," sahut Agus dengan cepat.

Agus lalu mematikan siaran berita itu dan bergegas pergi ke kamarnya. Diambilnya koper abu-abu metalik besar dan dimasukkannya baju-baju ke dalam koper itu. Mobil hitam berukuran besar dipilihnya untuk menemani perjalanannya ke luar kota.

Tiga koper besar beserta tas jinjing cokelat dimasukkan ke bagasi mobil itu. Agus dan Sri lalu masuk ke mobil dan bergegas pergi. Jalanan Kota Yogyakarta sangat lengang hari itu, membuat Agus dan Sri lancar-lancar saja pergi dari Kota Pelajar tadi.

Mereka-dengan mengendarai mobil-pergi ke arah barat. Mereka bertujuan untuk pergi ke arah Kota Bandung. Kota itu merupakan kota metropolitan, pastinya banyak orang-orang berkantong tebal yang cocok menjadi mangsa mereka selanjutnya. Sesekali mereka berhenti
untuk mengisi bensin ataupun mengisi perut.

Saat mereka sampai di daerah Cirebon, mereka dikejutkan dengan sesosok naga. Sontak mereka menghentikan mobilnya dan keluar mobil. Mereka ingin lari tapi terhenti begitu melihat sisik-sisik mengkilap naga itu.

"Tuan Naga, ada apakah kau menemui makhluk fana seperti kami?" tanya Agus dikala melihat naga besar itu turun dari balik awan.

Naga itu memperkenalkan dirinya sebagai Besukih, naga yang memiliki banyak kekayaaan. Agus makin hijau matanya mendengar hal itu. Tiba-tiba sebuah memori datang, memori tentang mestika biru yang ada di tangan seekor makhluk bersayap dan monster landak yang
akan mengacaukan keseimbangan Nusantara.

"Ingatan dari Tuan Babi ... kenapa dia menunjukkannya padaku?" gumam Agus pelan.

Agus lalu menceritakan perihal itu kepada Besukih-naga besar di depannya. Amarah Besukih meledak begitu mendengar hal itu. Dia lalu memutuskan untuk pergi arah Gunung Krakatau, yang langsung disetujui oleh dua sejoli itu. Kini, Agus dan Sri menaiki mobil menuju ke arah Krakatau dengan Besukih yang terbang di balik awan-awan tebal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro