Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6.2 A-Capital: filial

DI ATAS tanah berpasir, seorang pemuda berjalan yakin. Mata birunya menatap cakrawala yang diselimuti ombak. Tiap langkahnya menjejak butiran pasir putih. Makka sudah sampai di teluk timur.

Malam ini akhirnya datang. Makka berucap dalam batin. Laki-laki yang menenteng shotgun itu terus tersenyum dalam setiap langkah. Perlahan menuju sesosok laki-laki yang duduk di atas batu karang, dirinya mulai mempercepat langkah.

"Hei! Kau berhasil sampai ke sini," ucap laki-laki yang duduk di atas batu karang kepada Makka. Dirinya tersenyum lebar menyambut Makka yang berjalan mendekatinya. "Aku sempat khawatir. Kata kekasihmu, Konvergen mengejarmu."

"Hahaha! Mereka sudah kalah," jawab Makka riang. Meski gembira, dia sedikit canggung. Semuanya akan berbeda setelah malam ini. Aku akan bertemu dengan ibuku.

"Benar, kan! Temanku ini pasti akan menang melawan siapa pun," ucap laki-laki di depan Makka sangat senang. Dia langsung menurunkan diri dari batu karang. Dengan menggandeng Makka, Taiga menariknya ke sebuah kapal pesiar kecil.

"Tunggu, ini kapal siapa lagi?" tanya laki-laki yang digandeng dengan sedikit menahan, "mana kapal tuamu?"

"Ini kapal sewaan. Aku tidak bisa membawa kapal tuaku ke teluk timur, tapi tenang. Kapal tuaku masih tersimpan di pantai barat," jawab laki-laki bernama Taiga enteng. Dia melanjutkan tarikan pada Makka. Mereka berdua memasuki sebuah kapal kecil berwarna putih, seperti kapal orang kaya. Taiga memang dapat diandalkan untuk mencari uang.

Setelah menarik dengan gandengan, kedua laki-laki itu sudah menginjakkan kaki di kapal pesiar kecil. Keduanya berdiri di geladak depan. Dengan yakin, Makka menatap tegak cakrawala, sedangkan Taiga menatap sepasang mata biru yang ada di sampingnya. "Ayo kita berangkat!"

Makka mengangguk seraya mengguratkan senyuman lebar. MESS air itu mengarahkan tangan ke tengah laut. Kapal putih itu melaju didorong ombak yang berdebur. Terus melaju ke timur dunia, kapal putih itu akan menuju Cycle Stream.

Pelayaran di malam bulan sabit itu berlangsung tanpa ada percakapan yang terjadi. Keduanya diam, fokus menatap bagian timur dunia. Taiga yang biasa mengeluarkan celoteh, kini bungkam seraya mengukir senyum menatap sang teman. Sementara itu, Makka menyeringai kecil sembari mengarahkan kapal putih.

Hari ini, Makka akan menepati permintaan sang bapak.

Laut pun mulai bergejolak. Suasana itu sama. Ombak-ombak ganas menarik kapal kencang. Bagai samudra yang mengamuk, tempat ini sudah lama dinantikan oleh sang MESS air. Makka sudah sampai di Cycle Stream.

"Air, berikan ketenanganmu!" Makka memasang senyuman yang membubuhi bibir.

Ombak-ombak yang bergejolak hebat seketika tertidur lelap. Lautan yang berarus ganas tiba-tiba menjinak. Di depan mata, kini hanyalah hamparan laut yang memantulkan sinar rembulan.

"Ibu! Ibu!"

Makka berteriak sekencang yang ia bisa. Meski di dalam hati kecilnya terdapat rasa khawatir, dia tetap berupaya menanamkan harapan.

Beberapa kali panggilan tidak menghasilkan jawaban. Mata birunya kini berkaca-kaca. Sementara laki-laki yang ada di sampingnya, mulai menguatkan Makka. Harapan Makka hampir pupus hingga dia melihat seorang wanita muncul dari permukaan laut.

Seekor duyung bermata biru.

Tak perlu menunggu, pemuda yang mencari ibunya itu langsung tersenyum lebar. Taiga juga ikut gembira, padahal itu bukan ibunya. Dia terkesan, ini baru pertama kali melihat Makka seriang ini.

"Ibu!" Makka mengukir senyum lebar. Aku akan menjemputmu.

MESS air itu langsung membekukan beberapa bagian laut di depan. Makka melompat ke lapisan es tebal yang barusan muncul. Dia berlari sekencang-kencangnya. Tak terasa, air mata keluar dari netra birunya.

Bersama menemani larian Makka, wanita bermata biru itu berenang mendekat ke arah pemuda yang berlari mendekat. Wanita itu gembira juga. Senyuman tercipta di bibirnya yang dibasahi samudra.

Keduanya terus mendekat sampai jarak mereka tinggal sejengkal. Keduanya saling menatap. Entah kenapa, air mata jatuh dari netra biru keduanya. Memang benar. Wanita itu adalah ibu Makka.

"Ibu!"
"Makka!"

Keduanya memanggil serempak. Pelukan langsung mengerat di antara keduanya. Samudra dingin tak dapat mengalahkan kehangatan rangkulan mereka.

Makka mendekap erat duyung itu, seorang wanita dengan rambut coklat yang panjang. Kulitnya putih kencang. Ekornya berwarna indigo, sama seperti sang nenek. Sangat cantik. Ibu Makka tidak tampak seperti seorang wanita yang berusia separuh abad. Air laut menahannya awet muda.

Makka dan sang ibu kusuk melepas rindu. Keduanya tak mempedulikan sekitar. Bahkan, Makka tidak sadar bahwa sang ibu tidak menggunakan selembar pakaian. Bagian atasnya telanjang. Dadanya tak ditutupi apa pun.

"Ibu!" seru Makka terkejut. Pemuda Arab itu lupa bahwa duyung tidak menggunakan baju. Air laut pasti akan membasahinya.

Tanpa menunggu lama, Makka langsung melepas kaos biru tua yang ia kenakan. Rela memperlihatkan badan kekarnya yang putih, pemuda Arab itu mengenakkan kaosnya pada sang ibu.

Karena Makka harus bertelanjang dada—dengan beberapa rambut tubuh yang terlihat jelas, ia mengangkat ibunya. Dia membopong sang ibu untuk masuk ke dalam kapal putih yang Makka naiki. Setidaknya, di sana lebih hangat.

Ketika melihat Makka yang berjalan kembali dengan membopong seekor duyung cantik, Taiga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Laki-laki berambut coklat keemasan itu harus ingat, bahwa duyung cantik itu adalah ibu Makka. Taiga tidak boleh berpikir jorok tentangnya. Dia pun hanya bisa berdiri membeku untuk menyambut sang teman.

"Jangan lepas baju sembarangan, Makka!" Taiga menggoda, "kau bisa memikat banyak gadis."

Makka hanya menggeleng seraya menyimpan senyuman. Sang ibu juga sama. Duyung itu masih mengingat wajah Taiga. Dia adalah laki-laki yang menemani putranya. Seorang laki-laki yang riang dan penuh canda. Dia pasti sudah menghibur Makka yang harus melaksanakan banyak tanggung jawab. "Tidak apa-apa. Makka memang semestinya sudah punya pasangan. Dia harus memberikan cucu yang banyak untuk Ibu."

Sontak, Makka tersipu malu, sementara Taiga menahan tawa. "Makka sudah punya kekasih!"

"Wah, Makka sudah besar rupanya!" seru sang ibu menggoda. Hidung Makka sampai dicubit untuk membuatnya semakin tersipu. "Kamu mirip sekali seperti bapakmu saat sedang kasmaran."

"Ah, bagaimana bisa?" jawab Makka canggung. "Ibu membuatku malu."

Makka terdiam sejenak. Makka terlalu gugup dalam keadaan malu. Namun, dia ingin mengatakan sesuatu kepada sang ibu.

"Tentang kekasih Makka, Ibu tidak perlu khawatir! Ibu pasti senang saat bertemu dengan gadis yang Makka pilih," ucap Makka seraya membinarkan mata. Senyuman merekah di bibir merahnya sampai mengangkat berewok yang menempel di dagu. "Dia adalah Iky, putri paman Asar!"

Hening.

Saat mendengar nama itu, senyuman perlahan memudar dari wajah ibu Makka. Bukan! Ini bukan karena sang ibu tidak menyetujui Iky untuk memiliki putranya. Duyung indigo itu hanya teringat dengan pesan yang pernah disampaikan oleh sang suami.

Ketika melihat suasana mulai berubah serius, Taiga pamit untuk meninggalkan geladak depan. Dia tidak mau mengganggu obrolan penting ini. Setelah meninggalkan Makka memangku ibunya di geladak, pembicaraan mulai ke arah yang semestinya.

"Makka, obu tiba-tiba mengingat sesuatu. Ini tentang masa depan," kata ibu Makka khawatir. Makka sampai menatap serius sang ibu yang berada di pangkuan.

"Makka, apa yang akan kau lakukan untuk mengakhiri mimpi buruk ini?" tanya ibu Makka serius.

"Aku akan melawan Kaisar, terutama Lemyaku, bersama teman-temanku," jawab Makka yakin.

Ketika mendengar jawaban itu, ibu Makka hanya mengangguk. Sepertinya, jawaban Makka memiliki kejanggalan tersendiri pada duyung indigo itu. "Sebenarnya, ada dua pilihan untuk mengakhiri mimpi buruk ini."

Makka mulai mendengarkan sang ibu seksama. Mata birunya tak berkedip. Dia menunggu perkataan selanjutnya yang keluar dari wanita yang telah melahirkannya. "Pemberontakan adalah pilihan pertama. Itu cara yang kamu katakan tadi, tapi bukan pilihan yang baik. Ibu lebih memilih cara yang kedua ...."

Ibu Makka diam sejenak. Wanita bermata biru itu harus menguatkan diri terlebih dulu untuk melanjutkan perkataannya.

"Sebuah pengorbanan."

Keduanya tenggelam dalam keheningan. Makka masih belum mengerti. Pengorbanan apa yang harus dilakukan.

"Kamu harus bertarung sendiri. Namun, tidak menggunakan tinju maupun pedang. Kamu bertarung dengan sebuah siasat.

"Dengan pengorbanan, teman-temanmu bisa hidup bahagia, tidak perlu bersusah payah mengeluarkan keringat dan darah. Namun, kamu yang harus menanggung semuanya. Sendirian.

"Bergabunglah dengan Kaisar!" ujar ibu Makka panjang lebar.

Makka sampai membelalakkan mata lebar-lebar. Dia tak menyangka pilihan yang lain harus seburuk itu. "Kenapa aku harus menjadi Kaisar, Bu? Aku tidak mau melakukan kezaliman—"

"Tidak perlu berbuat zalim! Lindungi kami dengan jabatanmu!

"Memang terdengar sulit, tapi tidak untuk Makka. Kamu adalah laki-laki yang sangat cerdas. Kamu berbeda!" jawab sang ibu menguatkan.

Seketika, Makka membeku diam. Dia tak tahu harus melakukan apa. Pilihan menjadi Kaisar sangatlah rumit. Namun, banyak orang yang akan bahagia setidaknya.

"Tidak perlu risau, Makka!" sambung sang ibu bernada lembut. Sesekali, dia mengelus rambut hitam putranya. Dengan senyuman, duyung indigo itu menguatkan sang putra. "Terserah kepadamu untuk memilih masa depan. Apa pun pilihanmu, ibu pasti akan mendukung Makka. Jika kamu memilih pemberontakan, ibu akan ikut bertarung. Jika kamu memilih berkorban, ibu akan selalu mendoakanmu."

Ibu Makka langsung mengecup pipi putranya sang sudah ditumbuhi berewok. Berkat perkataan itu, Makka bisa melepaskan kegundahan. Dia bisa tersenyum sejenak. Meski dia tenggelam dalam kebimbangan, setidaknya Makka memiliki dukungan sang ibu.

"Terima kasih, Ibu," ucap Makka ditemani senyum lebar. Dengan lembut, pemuda Arab itu berbalik mengecup pipi sang ibu. "Makka sangat menyayangi Ibu."

Keduanya langsung berpelukan erat. Meski sudah membicarakan masa depan yang suram, setidaknya mereka saling memiliki. Rasa rindu sudah terbayar. Tugas Makka sudah selesai. Tersisa satu. Bagaimana Makka akan menghadapi Kaisar?

***

PERMISI, apakah obrolannya sudah selesai?" tanya Taiga yang tiba-tiba memotong pembicaraan. Terkejut, pelukan keduanya sampai terlepas. Beruntung, Makka memiliki utang kepada Taiga. Dia segan untuk memarahi temannya.

"Ibu Makka, apakah Leviathan sekarang ada di bawah kita? Tepat di Cycle Stream?" tanya Taiga polos. Makka sudah tahu ke mana arah pertanyaan temannya ini. "Kalau benar, bisakah ibu Makka membantuku untuk bertemu dengannya? Dia adalah ayahku."

Ibu Makka pun mengangguk. Memang benar Leviathan ada di bawah mereka. Jika Taiga ingin ke sana, ibu Makka tidak bisa mencegahnya. Seorang anak pasti ingin bertemu dengan orang tuanya, surganya.

"Ada ayah di bawah kita ... yes!" seru Taiga hampir tak percaya. Laki-laki berdarah A-Capital itu melonjak girang. Dia sangat senang. "Ayah! Akhirnya, aku bisa bertemu denganmu!"

Teriakan Taiga meramaikan keheningan samudra.Dia seketika memeluk Makka dan ibunya. Sahabat Makka itu sangat senang. Senyuman lebar tergurat di wajahnya, tapi Makka tidak.

MESS air itu masih resah. Dia harus memilih.

Masa depan tidak mirip dengan apa yang sudah ia bayangkan. Pengorbanan. Makka harus melakukannya. Untuk orang-orang yang dicintainya. Untuk manusia. Untuk MESS.

Aku tidak apa-apa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro