Bab 3: Hidup Kematian 💜
Tahun 3333 Lux, Kota Pie.
“Cangkang bisa menipu,” – Asier de Azul.
Bayangan perpisahanku dengan Ratu Raisma dan Mimi, melekat jelas di saat nyawa tercabut dari raga. Sakit yang aku rasakan, akibat tusukan pisau lenyap begitu saja. Potongan gambaran lain terbuka bak pecahan kaca. Mereka menyatu seperti potongan yang berkaitan. Gambar pertama, aku melihat Mimi dan Ratu Raisma.
“Ibu, aku ingin merebut Pangeran Logel dari Asier. Ayo, bantu aku!” Mimi memohon kepada Ratu Raisma.
“Pasti, ibu akan membantumu.”
Dadaku terasa sakit, melihat potongan gambar pertama. Aku tidak percaya, bahwa Mimi yang terlihat baik, ternyata berniat merebut Pangeran Logel. Padahal, ia belum pernah melihat pangeran sebelumnya.
Gambaran itu bergeser ke gambaran kedua. Di gambar kedua, menggambarkan suasana di sebuah ruangan. Aku melihat Ratu Raisma tengah merencanakan sesuatu dengan empat merman hitam yang wajahnya sama persis dengan pengawal kerajaan yang menuntunku. Aku yakin, merman itu berasal dari Kota Pie yang jauh dari Visto, terbukti dari ekor hitam mereka yang menyerupai siren.
Di situ, Ratu Raisma mengeluarkan sihir aneh yang menyamarkan warna ekor merman itu. Mimi berada di tengah ruangan sembari bertepuk tangan. Ia terlihat gembira melihat Ratu Raisma berhasil merubah ekor empat merman. Empat merman itu pun terlihat takjub dengan ekor mereka.
“Apa ekor ini abadi?” tanya salah satu di antara mereka.
Ratu Raisma mengangguk, “Ya, jika kalian berhasil menyingkirkan Asier.”
Mimi tertawa terbahak-bahak, lalu mencekik salah satu merman, “Bunuh dia untukku. Aku ingin menjadi putri mahkota tunggal.”
Ternyata, mereka berdua sama saja seperti mermaid lain. Memandang rendah, hingga bertekad untuk membunuhku. Mereka berpura-pura baik hanya untuk merebut takhta kerajaan. Tanpa sadar, air mata sudah menetes beberapa kali.
Sekejap gambaran itu hilang dan berganti ke gambaran keempat, suasana lingkungan halaman kerajaan yang ramai oleh ikan-ikan berlalu lalang menjadi pemandangan awal. Disana Mimi tengah bergosip ria bersama pelayan dan pengawal.
“Ekor Asier seperti siren yang menjijikkan,” ucap Mimi, berusaha memancing gosip.
“Asier tidak layak, dia hanya menyusahkan kami,” ucap pelayan dengan raut wajah kesal.
Mulailah, percakapan mereka yang menghujatku. Mereka menjatuhkan harga diri, menghina kekurangan yang aku miliki. Semakin sesak dadaku, saat mendengar kalimat demi kalimat yang mereka lontarkan. Namun, aku tetap membuka mata, melihat semua adegan. Hingga akhirnya, Mimi angkat suara, “Sebarkan berita ini ke seantero Kota Visto.”
Berita itu cepat tersebar bagai sengatan listrik ubur-ubur laut. Satu mulut ke mulut lainnya bak sengatan listrik yang membunuh mental. Lalu, gambaran itu terhapus oleh kabut putih dan memunculkan sosok Ratu Raisma. Di dalam kamar utama Kerajaan Arneval, Ratu Raisma memberikan rumput laut hitam beracun kepada Raja Arfan. Namun, ayahku tidak menyadari rumput laut itu beracun. Ia memakannya dengan lahap, seolah itu makanan terenak di Dunia Moirei. Sesekali Ratu Raisma menghasutku, menjatuhkan kekurangan dan membandingkannya dengan Mimi.
Ternyata, mereka berdua berusaha membunuhku. Mereka yang menjebak gadis bodoh untuk keluar Kerajaan Arneval.
“Astaga, kenapa aku bisa sebodoh ini?” Aku bertanya kepada diri sendiri yang tidak menyadari kejahatan mereka.
“Seharusnya, aku tidak memercayai mereka.”
Aku terisak sembari menyesali kehidupan. Air mata sudah menyatu dengan air laut, menjadi saksi dari kepahitan dunia. Karena terus menangis, aku tidak menyadari arus laut yang perlahan mencakar kulit dan membungkus tubuh. Arus berputar-putar melilit tubuh, hingga terasa sesak. Namun, rasa sesak itu tidak sebanding dengan rasa sakit hatiku. Aku takut, kehidupan berakhir. Aku memejamkan mata, menahan rasa sesak itu sembari berdoa.
“Ya Tuhan, berikan aku kesempatan untuk hidup kembali. Aku ingin balas dendam kepada mereka yang telah mencaci dan menghina kekurangan. Mereka yang tega membunuh mermaid cacat sepertiku,” aku berbicara dengan suara bergetar menahan rasa sakit di sekujur ekor yang mulai memanas.
Ekor cokelatku memanas, bak terbakar api di dalam lautan. Sisik-sisiknya sampai terkelupas, saking panas dan perihnya.
“Mengapa Tuhan selalu memberikan ujian yang berat?” aku bertanya dengan putus asa karena tidak ada satu keajaiban yang muncul, hanya terdengar suara gemuruh arus laut.
Harapan dan permohonan kepada tuhan, mulai lenyap. Aku mulai pasrah dengan takdir. Aku sudah lelah terhadap rasa sakit, aku yakin bahwa takdir akan berhenti di sini. Mati terbunuh adalah akhir hidupku.
Lalu, sebuah suara terdengar merdu memanggil namaku.
“Asier de Azul ...,” suaranya mengalun indah, berat dan penuh kelembutan.
Aku mencari keberadaan suara itu, tetapi yang aku lihat hanya arus laut yang berputar-putar hingga ke atas kepala. Di atas pusaran terdapat cahaya terang yang menyilaukan mata. Sosok pria tua bersayap terlihat mengepakkan sayap putih berbulu yang kokoh. Sayap itu, mampu melawan derasnya arus Samudra Xea.
“Si-siapa kamu?” tanyaku dengan raut wajah heran, karena ia bukan dari ras mermaid.
Pria tua itu tersenyum tipis, lalu berbicara, “Hamba peramal tua dari Navaciras, benua di timur Dunia Moirei.”
Benua itu bernama Hermosa, dihuni ras fallen angel dan dark angel. Merekalah yang menganggap mutiaraku berharga. Aku menjual banyak mutiara untuk membangun Kerajaan Arneval.
Aku terkagum-kagum melihat sayap putih berbulu, “Apa kamu dari ras angel?”
Pria dengan baju putih menganggukkan kepala, “Ya benar, aku peramal yang berkelana.”
“Apa yang akan kamu lakukan, kepadaku?” aku bertanya dengan menahan air mata.
Aku takut, jika ia diutus untuk membawaku ke surga. Aku belum siap mati, aku ingin hidup lebih lama untuk membalaskan dendam kepada Ratu Raisma dan Mimi.
“Aaaa!” Aku berteriak kencang saat peramal tua mendekat.
Dia terlihat terkejut, “Apa kamu ingin hidup kembali?”
Aku menganggukkan kepala beberapa kali, “I-iya.”
Peramal itu tersenyum, “Apa alasanmu ingin hidup?”
Aku menjawab dengan mantap, “Aku ingin balas dendam.”
Peramal mengangguk, “Asier de Azul, kamu dapat hidup kembali dengan sumpah balas dendam.”
“Aku bersumpah untuk menjatuhkan Kerajaan Arneval, membantai rakyat dan para bangsawan.”
Peramal berambut cokelat, memberikan sebuah kalung mutiara, ia memintaku memakainya. Saat aku memakai kalung itu, semua rasa nyeri di ekor terasa lenyap. Ekorku bisa bergerak ke kanan-kiri dengan benar. Aku terkejut dan takjub dengan kekuatan kalung mutiara ini.
“Kekuatan yang sangat menakjubkan, kalung apa sebenarnya ini?” tanyaku dengan takjub.
“Itu adalah kalung reinkarnasi, di mana kamu harus menunaikan janji untuk balas dendam kepada Kerajaan Arneval,” titahnya dengan serius.
Aku memegang dada, lalu berucap, “Aku berjanji akan membalas dendam kepada rakyat, bangsawan, ibu dan adik tiriku. Aku akan membuat mereka membayar semua kejahatan yang menyakitkan ini!”
Peramal tua itu tersenyum lalu berbicara lagi, “Kamu bisa berlatih spiritual kepada penguasa titik pusat Dunia Moirei.”
“Dimana titik pusat Dunia Moirei?” tanyaku dengan penasaran.
“Palung pemisah Samudra Xea dan Samudra Ayec. Disana kamu dapat merasakan medan magnet yang besar.”
“Siapa penguasa itu?” aku bertanya dengan rawat wajah heran, aku perlu ciri-ciri agar tidak tertipu.
“Kamu akan mengetahuinya.”
Aku tertawa hambar, “Aku takut tertipu lagi.”
Peramal tua menunjuk kalung mutiara, “Dia yang bisa menuntunmu.”
“Aku harus percaya dengan kalung ini?” aku sedikit takut jika kalung itu tidak berfungsi dengan baik.
“Kamu harus percaya.”
Peramal tua itu pergi ke atas pusaran dengan sayapnya. Meninggalkanku yang penuh dengan pertanyaan. Lalu, pusaran laut berhenti mengurungku, arus tidak lagi mencakar kulit. Mereka seolah menyambut kehadiranku.
Aku hidup kembali, tidak ada luka tusukan yang merobek perut. Ekorku bisa bergerak dengan benar. Hanya saja, warna ekor tetap cokelat dan mengelupas. Walaupun begitu, aku merasakan kekuatan spiritual di dalam tubuh. Kekuatan itu besar, tapi lemah.
“Hore!” ucapku sembari berenang berputar-putar dengan girang.
Seratus lima puluh tahun aku hidup di Samudra Xea, baru kali ini aku bisa berenang dengan baik. Aku berenang tanpa bantuan orang lain. Rasanya seperti mimpi, mimpi yang selalu hadir setiap malam. Mimpi indah, dibalik doa kepada Tuhan. Ini menakjubkan.
Aku terharu dengan mukjizat Tuhan, “Terima kasih, engkau telah menolong hamba yang lemah ini.”
Aku berenang mengikuti naluri, menyapa semua ikan yang aku temui dengan senyuman. Menari-nari sembari mengelilingi terumbu karang. Sungguh menyenangkan, bermain dengan arus laut. Mereka tidak sekejam yang aku kira, arus menemaniku hingga ke sebuah titik yang medan magnetnya terasa kuat. Seolah ada tembok pembatas yang menghalangiku. Namun, kalung mutiara tetap memaksa untuk menerobos tembok gaib itu.
Aku berusaha membentur tembok gaib itu, berenang dengan kuat. Berkali-kali gagal, tapi aku tetap optimis. Aku yakin, penghalang ini akan terbuka. Setelah berjam-jam mencoba, akhirnya aku berhasil menerobos masuk. Aku terpental ke dalam palung yang gelap. Di dalam palung, aku melihat banyak rantai dan pusaran laut yang ganas. Tubuhku terhuyung-huyung dan beberapa kali membentur tebing.
Mataku menangkap sosok pria yang tengah terpejam dengan tangan terikat rantai. Aku berusaha mengendalikan tubuh agar tidak berputar. Namun, tubuhku terhuyung dan akhirnya membentur sesuatu yang sangat asing. Kekuatanku seolah hendak meledak.
Benda apa itu?
BERSAMBUNG
(1370 kata)
*****
BONUS BUAT KAMU YANG SUDAH MEMBACA MERMAID IN LOVE BAB 3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro