Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11: Berlatih 💜

Gua rahasia di Kota Agua, 3333 Lux.

“Berusahalah sampai semesta tidak bisa mematahkanmu,” Asier de Azul.

Nafasku terengah-engah, setelah berlatih bersama Deckey menggunakan kekuatan gelombang laut. Ternyata, ini lebih sulit dari yang aku bayangkan. Semesta mempersulitku dalam balas dendam. Kedua tanganku memerah, penuh dengan sayatan arus Samudra Xea.

“Apa tuan putri, kelelahan?” bisik Deckey di telingaku. Suaranya bernada rendah, tapi membuat jantung melompat.

Aku menganggukkan kepala dengan gugup, karena jarak tubuh Deckey begitu dekat denganku. Rasanya, ribuan kupu-kupu menari di dalam perut. Bahkan, pipi terasa memanas. Aku yakin, semburan merah merona terlihat di wajah. Ini sangat memalukan, jantungku tidak terkontrol, seakan maraton renang.

Deckey memegang kedua tanganku, “Apa yang sedang kamu lakukan?”

“Ini pasti sakit,” sesal Deckey dengan suara pelan, sarat akan rasa bersalah.

Deckey mencium kedua tanganku, menjilat luka yang mengeluarkan darah. Aku mendesis, menahan rasa perih, “Cu-cukup.”

Deckey melepaskan tanganku, rasanya tidak rela, tapi otak waras menentang hal itu. Jantung berdebar semakin kencang, dia menatap mataku. Matanya memperlihatkan tatapan bersalah, “Maaf.”

“Tidak perlu meminta maaf, ini latihan. Sesuai dengan arahan daun emas,” gumamku dengan memalingkan wajah ke arah lain.

Di dekat Deckey, menatapnya adalah hal yang tidak baik bagi jantung. Aku tidak mau, mati kedua kalinya karena serangan jantung. Aku masih punya sumpah yang harus dilaksanakan. Aku bertekad menghancurkan kekuatan Kerajaan Arneval. Aku akan menepis perasaan aneh kepada Deckey.

“Baiklah, kita mulai lagi,” kata Deckey sembari mengelus rambut hitamku.

Perasaan ini semakin hangat, entah sejak kapan aku menikmati kebersamaan dengan Deckey? Sebelumnya, tidak pernah ada yang melakukan hal semanis itu kepadaku. Mereka jijik, menjauh, menghina, mencaci, dan menindas. Tanpa ada yang peduli denganku. Bahkan, semenjak ayah menikah dengan Ratu Raisma, tidak ada lagi kasih sayang untukku.

“Aku yakin, kamu bisa. Percayalah kepadaku,” ucap Deckey dengan tangan terkepal kuat ke arah atas, menyemangatiku yang berulang kali gagal.

Aku tersenyum ke arah Deckey, “Pasti bisa!”

Aku memfokuskan diri, berusaha menyatu dengan arus Samudra Xea. Membentuk bulatan bola laut, “Ocepus, ocepus, ocepus, aku mohon bangkitlah.”

Aku merasakan arus menyatu membentuk gumpalan bola laut, “Ocepus.”

Perlahan bola laut itu menyebar, membentuk pusaran laut berukuran kecil, perlahan-lahan aku membuka mata dan melihat pusaran yang aku buat. Aku terkejut melihat pusaran yang ada di depan mata.

“Bagaimana bisa, sebesar ini?” tanyaku kepada Deckey yang berada di atas gua, ia bertepuk tangan kepadaku.

Deckey berenang ke arahku, “Lihatlah, usahamu membuahkan hasil. Tangan berdarah, penuh luka adalah saksi keberhasilanmu.”

Air mata membasahi pipiku, “Ini menakjubkan.”

Aku menangis haru, Deckey pun memeluk tubuhku, “Kuncinya adalah fokus. Meski, aku tidak mengingat apa pun, aku bisa fokus dan merasakan air yang menyatu.”

“Terima kasih Deckey,” balasku sembari memeluknya dengan erat.

Deckey, dia harapan dan peganganku. Dia menolong hamba Tuhan yang tidak tahu arah dan tujuan. Membimbingku menjadi mermaid yang kuat dan layak bertarung dengan mermaid di Kerajaan Arneval. Aku akan mengingat kebaikan pria misterius itu, seumur hidup. Semoga, Deckey dapat mengingat masa lalunya. Karena aku yakin, Deckey adalah makhluk yang baik.

“Apa kamu tidak lelah, memelukku?” Deckey bertanya dengan suara yang lembut, penuh perhatian.

Aku melepaskan pelukannya, “Jelas aku lelah, membuat pusaran laut sebesar ini!”

Deckey tertawa, “Ini masih kecil, belum sebesar Kota Pie yang aku hancurkan.”

Deckey, dia kembali menyebalkan dengan keangkuhannya. Memang, patut diapresiasi karena dia berhasil membantai masal Mermaid Pie. Itu sangat menakjubkan, karena tidak semua mermaid bisa melakukan pembantaian sendiri.

“Sudahlah, aku malas bertengkar dengan pria sombong!” Ketusku kepada pria bertubuh kekar dengan kalung berlambang api di lehernya.

Aku berenang menjauhi Deckey dan masuk ke dalam gua. Tubuhku yang kelelahan, berbaring di gua dan memosisikan ekor, agar nyaman. Aku meringkuk, membiarkan arus laut memeluk tubuh. Perlahan-lahan, hawa kantuk menyerang, mataku terpejam. Tanpa menyadari, Deckey berenang masuk dan mendekat ke arahku.

Di tengah mimpi indah, bertemu ibu dan ayah, berenang bersama mengelilingi Samudra Xea. Sebuah benda, menempel di bibirku. Benda itu lembut, kenyal dan manis. Rasanya, benda itu tidak asing. Aku pernah merasakan itu sebelumnya. Namun, aku tidak tahu benda yang ada di hadapanku. Sampai akhirnya, aku memutuskan membuka mata. Aku melihat mata merah yang indah bak Batu Rubi.

“De-cky ...” desahku pelan, aku hanyut dengan ciumannya. Menikmati permainan, tanpa tahu arah dan tujuan.

Mengabsen setiap gigi runcingnya, bertukar saliva dan melepas ciuman itu, “Kenapa?” tanyaku kepada pria dengan rahang kokoh itu.

“ Maaf, aku spontan melakukan itu,” gumamnya pelan dengan menundukkan kepala.

Dua kali kami ciuman, tapi kali ini berbeda. Ada debaran perasaan yang bergejolak di dalam hati. Tatapan dan perilaku, berbeda dari biasanya. Debaran jantungku, kupu-kupu beterbangan di dalam perut. Mungkin, kami jatuh cinta di waktu yang bersamaan. Namun, aku tidak bisa mencintai Deckey. Deckey adalah guru spiritualku. Dia pria misterius dan tidak jelas asal-usulnya. Aku tidak akan membuang waktu untuk percintaan. Aku terlahir kembali untuk balas dendam, itulah tujuan hidupku.

“Jika kamu menyukaiku, aku tidak akan bisa,” ungkapku kepada Deckey, agar ia berhenti berperilaku romantis.

Deckey menatapku, “Kenapa?” ia bertanya dengan kerutan di dahinya.

Aku memalingkan wajah, “Karena identitasmu tidak jelas.”

Satu hal itu, dapat membuat Deckey bungkam. Aku harap, ia menjadi guru yang profesional. Tanpa membawa perasaan di dalam pelatihan. Aku hanya butuh teman, bukan pasangan yang dapat melemahkan perasaan dan dendam.

“Baiklah,” Deckey berbicara lalu berenang keluar gua.

Lebih baik menjauh dari pada terluka untuk kedua kali. Aku tahu rasanya mencintai, tapi tertusuk dari belakang. Itu sangat menyakitkan dan menyiksa. Ibarat membuat pusaran besar dan memasukkan diri ke dalamnya.

Pria yang memiliki luka dipunggung itu menjauh dari pandanganku dan sepertinya ia tengah merenung, berusaha mengingat identitas. Terbukti dari kedua tangan yang terus-menerus memegang kepala. Aku dapat melihat, rasa sakit dari raut wajah Deckey yang menyerong ke luar gua. Aku ingin menolongnya, tetapi ambisi balas dendam lebih besar dari rasa kasihan.

Cahaya mentari memasuki celah gua yang tertutup rumput laut. Gua itu begitu luas, air berwarna biru memberikan kedamaian, berbatuan di beberapa titik memperlihatkan keindahan tersendiri bagi gua yang terdapat relief di setiap dindingnya. Aku terbangun dari tidur panjang dan meregangkan tubuh karena sedikit pegal tidur di sebuah batu besar. Jika dipikirkan, hidup di gua ini tidak enak. Karena suasana, tempat, kenyamanan lebih bagus di Kerajaan Arneval. Namun, gua ini memberikan kedamaian, rasa aman, dan kesederhanaan.

Batinku tidak tersisa, mendengar ucapan bangsawan, pelayan, dan rakyat mengenai kekurangan dalam diri. Disini, aku belajar bersama Deckey mengenai kekuatan spiritual. Sungguh berbeda dengan di Kerajaan Arneval, disana tidak ada yang mau mengajariku. Meski dibayar mahal, mereka tetap saja menolak, beralibi takut terkena kutukan dari mermaid cacat.

Bayangan pahit itu, membuatku semangat untuk balas dendam. Aku bangun lebih awal dari Deckey. Pria itu masih berada di tempat yang sama dengan tubuh meringkuk. Sepertinya, dia kelelahan setelah memaksimalkan otak untuk mengingat masa lalu. Namun, dia masih bernyawa. Terlihat dari gelembung-gelembung yang mengelilingi hidungnya.

Aku ingin fokus belajar spiritual, tetapi Deckey masih tertidur pulas. Aku pun ingin mencoba berlatih sihir. Karena seingatku, buku yang terbuat dari daun dan tinta emas itu terdapat ilmu sihir. Sihir dapat dipelajari, tetapi tidak semua mermaid dan merman dapat menggunakan sihir. Faktor genetik mempengaruhi kekuatan sihir sendiri. Berbeda denganku, kekuatan spiritual yang lemah tidak mampu mengeluarkan sihir. Namun, sekarang aku sudah bisa menggunakan kekuatan spiritual, meski belum terlalu lancar. Aku pun bertekad untuk mencoba kekuatan sihir biru, seperti milik ayah. Keluarga bangsawan yang dapat menggunakan sihir biru hanya ayah—Raja Arfan.

Sihir biru dapat menetralkan Samudra Xea. Tumbuhan tetap hidup subur, hewan-hewan akur dan sistem rantai makanan berputar dengan baik, tetapi akhir-akhir ini aku merasakan Samudra Xea yang berbeda dari biasanya. Hawanya terasa panas, beberapa jenis rumput laut mati, bahkan persediaannya mendadak langka di pasar.

“Aku harus bisa menggunakan sihir biru,” ucapku dengan serius, di dalam kata-kata itu syarat akan ketulusan dan ambisi.

Pelan-pelan aku menarik nafas, memejamkan mata dan membayangkan arus Samudra menyatu dengan tubuh. Aku optimis bisa mengeluarkan sihir biru, karena aku terlahir dari keturunan tunggal Raja Arfan, pasti bisa melakukannya. “Magia Blu ... .”

Aku merasa hampa, hatiku terasa kosong. Tidak ada beban yang mengganjal, semua rasa  seolah lenyap. Aku pun mencoba mengulang mantra, “Magia Blu ... .”

Awalnya semua rasa hilang dari hati, bahkan dendamku tidak membara. Semua kosong, tidak ada emosi di dalam tubuh. Kehampaan itu semakin menyakitkan, aku berusaha mencari sesuatu agar kehampaan itu berakhir, tetapi dadaku terasa sesak. Mulutku sulit mengeluarkan suara, kaku dan menyakitkan. Secara spontan aku membuka mata, berusaha meminta pertolongan Deckey yang meringkuk.

“De ...,” sesak dan sulit aku ucapkan. Aku harus bisa menguasai tubuh sendiri.

Aku memejamkan mata, mencari sesuatu di kegelapan dan rasa hampa. Di ujung kegelapan terdapat cahaya biru yang begitu indah. Aku mencoba menggapainya dan tanpa diduga cahaya itu menyedotku. Aku melihat semua sel dalam tubuh mengalir cahaya biru. Cahaya itu begitu besar, kuat dan sulit dikendalikan. Semua emosi kembali hadir, saat aku dipaksa membuka mata. Jantungku terasa ditarik dan kembali sadar.

“Apa yang terjadi?” tanya Deckey dengan cemas saat melihatku. Tatapan Deckey sulit dimengerti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro