Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tentangnya

Aadidev Valdezi

"Dev, gue akan cerita. Tentang kenapa ini semua bisa terjadi sama gue. Gue yang lari dan gue yang berpura-pura."

Sontak ucapannya menyentakku. Mataku teralihkan pada netranya yang mulai tampak berembun. Sebenarnya hendak kucegah saja gadis aneh ini bercerita. Untuk apa menceritakannya padaku? Apa karena aku mulai sok bijak menasihatinya? Ini sama sekali bukan urusanku, aku juga tidak penasaran. Sedikit pun tidak ingin tahu dan kemungkinan besar tidak ada hubungannya denganku, tetapi gadis itu hanya terseyum getir, membuat hatiku meringis. Senyum sok kuat seperti itu justru semakin sakit jika ditunjukkan.

Maria meraih tisu miliknya, menyeka sisa-sisa darah yang mulai surut dari hidung. Ia menatap lurus langit kekuningan yang sekejap lagi akan beralih warna. Berkali-kali menghela napas berat.

"Gue benci bokap gue," ucapnya datar.

Ya, terus? Kenapa memangnya jika membenci ayahnya? Itu sama sekali bukan urusanku. Apa dia korban broken home? Ah, itu juga sudah biasa. Kasus seperti itu seakan sudah seperti sampah yang bergerilya di Sungai Ciliwung. Bahkan sinetron pun semakin gencar saja menghidangkan pembahasan yang agaknya menyedihkan juga menyesakkan walau tetap tinggi peminat itu—itu juga bukan urusanku.

Mungkin aku hanya harus diam merespons perkataannya. Bisa jadi masalahnya sudah terlalu berat, makanya hendak dibagi dan diceritakan padaku. Bukankah setiap wanita begitu? Rapuh?

"Lo pernah tanya ke gue kenapa gue menghindar dari geografi, 'kan? Lo masih mau tau jawabannya?" tanya Maria, masih setia menatap lapisan langit.

Aku ingin menggeleng. Kalau tahu jawabannya, apa untungnya bagiku? Atau, apa untungnya baginya? Namun, kemudian aku teringat kejadian di perpustakaan tempo hari. Bagaimana ia bisa begitu menguasai geografi. Menyebutkan halaman tanpa membuka bukunya, juga tentang ia yang tiba-tiba menangis. Pada akhirnya aku mengangguk.

"Gue pernah begitu cinta dengan geografi, kayak gue yang terlalu cinta ke bokap. Bokap gue yang ngenalin pelajaran itu. Jadi, apa pun yang berkaitan dengan geografi, identik dengan bokap. Ketika gue mutusin buat benci salah satunya, artinya gue juga harus membenci satu lainnya. Karena satu tanpa pasangannya itu menyakitkan," ceritanya.

Aku masih diam. Belum mendapatkan inti permasalahannya.

"Lo pasti bertanya-tanya, 'kan? Ada apa dengan bokap gue? Kenapa bisa segitu berpengaruhnya dia dalam hidup gue?"

Sebenarnya aku tidak terlalu penasaran, tetapi aku mengangguk saja.

Gadis itu menyeka hidungnya. Sedikit isak lolos dari bibir mungilnya.

"Demi apa pun gue sayang banget sama bokap! Demi apa pun gue cinta banget. Tapi, kenapa dia harus buat gue akhirnya benci?! Kenapa?! Salah gue apa?!"

Tetes bening meluncur bebas di pipinya. Sedu sedannya semakin jelas. Emosinya tampak begitu pekat, kesedihannya begitu terpampang jelas. Aku seakan melihat seorang Maria sebagai wanita rapuh tanpa pegangan saat ini. Bukan manusia aneh, apalagi alien. Bahkan ia terlihat jauh lebih lemah sekarang.

Aku masih bergeming. Menunggunya melanjutkan kembali penjelasan. Jujur saja aku bingung harus merespons apa. Sejak dulu aku tidak suka terlalu berdekatan dengan perempuan dikarenakan makhluk-makhluk yang mengagungkan penampilan fisik itu terlihat aneh. Agresif, manja, terkadang lebay dan alay. Jangan salahkan aku yang bingung tentang cara menghibur wanita yang tengah berduka. Apalagi ini Maria, dia bukan wanita biasa. Wajahnya saja ada dua—dalam artian positif.

"Bokap selingkuh, sama teman semasa kecilnya. Parahnya, tiga minggu setelah pulih, dia menikah lagi. Tanpa menceraikan nyokap, dan memilih tinggal dengan wanita itu. Pergi dan enggak mikirin perasaan kami."

Klise. Kisah seperti ini sudah bukan fenomena yang tidak biasa terjadi. Ya, dari beberapa artikel yang kubaca memang dampaknya akan sangat menimbulkan trauma. Aku tidak menyangka gadis di hadapanku ini merasakannya.

"Bokap gue itu sakit, Dev! Dia lagi sakit! Hepatitis! Tapi dia malah milih sama perempuan itu, merawat wanita dengan luka di kakinya yang enggak pernah kering karena diabetes! Apa yang dipikirkannya?! Sehebat apa wanita itu sampai dia milih buat menduakan nyokap gue?! Kenapa?! Kenapa dia ninggalin gue? Kenapa dia jarang pulang?!" ceracaunya.

Keningku mengernyit. Tentu saja ada yang aneh dalam ceritanya. Maksudku, hei, dalam drama dan film-film di layar kaca, seorang lelaki pasti akan selingkuh dengan wanita yang lebih baik dari pasangannya, tapi atas dasar apa laki-laki mendua dengan wanita penyakitan? Memilih untuk merawatnya pula? Ini aneh.

"Lo tau rasanya ketika gue dipaksa buat benci sama orang yang gue sayang? Lo tau rasanya gue harus tetap berpura-pura kuat di hadapan orang lain? Lo tau rasanya harus lari dari tiap masalah batin?!"

Aku mematung. Rasanya? Jujur saja, aku tidak mengerti. Aku tidak mengalaminya. Namun, melihatnya terisak dalam kondisi saat ini membuatku yakin bahwa beban batin yang ditanggungnya memanglah berat. Apakah saat ini cewek bar-bar di sebelahku sedang depresi? Bahkan untuk berlaku seolah tidak terjadi apa-apa saja ia sudah ber-acting sangat baik.

"Dari situ gue mulai berambisi untuk jadi cewek kuat. Berubah 180 derajat dari seorang Maria Sara Hanifa yang hanya bisa menangis. Gue tekuni bela diri. Gue bikin orang lain gentar sama gue. Karena siapa? Karena apa? Karena bokap. Gue pengen buktiin kalau gue enggak lemah. Tapi nyatanya apa?! Setiap lihat apa pun yang berkaitan dengan bokap aja, gue enggak kuat. Seakan hidup enggak mihak gue, enggak hargai usaha gue," terangnya. Gadis itu tergugu dengan air matanya.

Aku menekuri lantai semen yang kududuki. Terkuak sudah mengapa dirinya seakan menjauhi sesuatu yang bahkan merupakan keahliannya. Beralih menjadi cewek tomboi dan seakan tak terkalahkan. Aku tidak tahu kisahnya akan begini.

"Hidup enggak adil buat gue. Tuhan juga enggak adil. Saat gue berdoa untuk dijauhkan dari dia, malah tadi pagi bokap datang dan bilang mau menginap. Tuhan enggak adil. Apa memang gue harus sengsara? Kenapa? Kenapa gue masih belum bisa benci?" tanyanya lirih.

Aku mengusap wajah. Menekukkan lutut lalu menumpukan badan dengan dua tanganku ke belakang, beralih dari posisi bersila.

"Menurut gue, hidup itu adil. Gue percaya Tuhan, dengan segala cara-Nya. Lo enggak perlu cari keadilan-Nya. Lo cuma harus jalani aja jalur lo," nasihatku, entah berpengaruh pada dirinya atau tidak.

Maria menyeka kasar wajahnya, kemudian mengelap ingus dengan tisu. Ia menatapku tajam.

"Lo tau apa yang enggak gue suka dari orang yang dengerin cerita orang lain?" tanyanya sarkas.

Alisku bertaut. Kujawab dengan gelengan.

"Mereka enggak ngerasa penderitaan yang diceritain, tapi mudah bicara, mudah menasihati seakan semuanya baik-baik aja. Sok ngerasa simpati," selorohnya.

Aku manggut-manggut. Setuju dengan argumennya.

"Dan itu termasuk lo," tudingnya lemah.

Hah? Sebentar, bagaimana maksudnya? Aku menarik napas pelan, lalu mengembuskannya berat. Mungkin, untuk sedikit menghargai diriku sendiri, aku akan sedikit membuka luka lamaku.

"Bokap gue meninggal di kecelakaan beruntun. Kakak laki-laki, bokap, dan dua adek perempuan gue meninggal dalam kecelakaan itu. Meninggalkan gue dan nyokap. Trauma berat selama setahun sampai psikolog harus menginap di rumah, mengontrol nyokap yang sesekali hilang kendali," ungkapku. Dulu, Mama memang sempat depresi berat. Untungnya dalam kurun waktu setahun, beliau pulih total.

Maria menatap dalam seakan mencari kebenaran dari ucapanku. Aku memberinya jeda untuk mungkin membayangkan penderitaanku. Ya, aku juga punya derita. Sama sepertinya, tapi ditinggal mati bukankah lebih sakit? Tak ada apa pun yang bisa diandaikan atau diharapkan dari orang yang sudah tenang di sana. Melihat? Tentu saja tidak lagi dapat. Hanya bisa mengenang, lalu memutuskan harus kembali tersenyum atau murung. Walaupun pada awalnya cerita Maria tidak begitu kutanggapi, tapi sekarang sedikit banyak aku dapat mengerti.

Gadis itu melengos kemudian, menatapku iba. Kupalingkan wajah. Jujur saja, menceritakan kematian keluarga itu tidak mudah dan aku tidak ingin dikasihani oleh Maria.

"Masalah kita memang enggak sama. Gue punya lembaran sendiri dalam hidup gue. Enggak sama kayak punya lo. Misteri Tuhan paling ajaib, membuat kita sama-sama ngerasa sakit, tapi dengan cara yang berbeda. Tuhan itu kreatif, enggak monoton," ujarku spontan. Kulihat Maria menganggukkan kepalanya.

Kami saling bungkam. Menikmati semilir udara sejuk. Langit sudah berwarna oranye sempurna. Tinggal menunggu beberapa saat lagi, gradasi lain akan menggantikan jingga.

"Dev," panggilnya lirih. Aku menoleh.

"Ya?"

"Maafin gue udah buang-buang waktu lo. Bikin lo harus belajar geografi. Maksa lo buat ikutan bela diri karate. Maafin gue udah jadiin lo pelampiasan," tuturnya halus.

Hendak menggerutu pun, tidak ada gunanya, bukan? Semuanya sudah terjadi. Hendak berhenti pun tidak mungkin. Aku sudah tiba di pertengahan jalan. Terhitung satu bulan saat mulai menekuni geografi. Terhitung seminggu memulai latihan bela diri. Tidak buruk, sejauh ini aku sudah dapat memahami pelajaran yang awalnya sukar diterima pikiran. Sejauh ini pula, tubuhku seimbang porsi olahraga dan belajarnya. Sedikit atau banyak perubahan baik tak menjadi sia-sia, bukan?

"Enggak apa-apa," sahutku.

"Sekarang gue mau lo janji. Janji enggak akan cerita ke siapa pun tentang gue. Enggak usah anggap gue lemah, gue enggak suka. Atau lo tau apa yang terjadi nanti," ancamnya.

Aku tersenyum masam. Sempat mengancam pula.

"Pertama, enggak ada untungnya bagi gue untuk ceritain ke orang tentang lo. Kedua, mau gue anggap lo lemah pun, enggak mungkin. Sabuk lo hitam. Ketiga, enggak perlu ngancam. Gue benci diancam," balasku. Entah sejak kapan aku berani membalas ucapan gadis ini.

Semilir angin memainkan ujung jilbab putih gadis yang tengah tersenyum datar menatap langit. Bias cahaya senja menimpa wajahnya. Gadis itu memejamkan kelopak mata, mungkin menikmati langit cerah dengan angin sejuk yang mendatangi.

Baru kutahu. Gadis yang setegar karang itu punya hati yang lebam. Tentu saja, aku tidak menyalahkan siapa pun dalam kisahnya. Tidak bapaknya, juga tidak dirinya. Tidak ada yang harus kuhakimi di sana. Selalu ada alasan seseorang untuk melakukan sesuatu, bukan? Begitu pula selalu ada alasan untuk membenci dan mencinta. Entah apa pun itu, kuharap dia akan tetap kuat. Jujur saja, aku lebih suka melihatnya tanpa tangis, kuat, seperti alien. Melihatnya menangis sungguh membuatku terenyuh.

"Dev," panggilnya lagi. Aku menoleh.

"Ya?"

"Gue memang benci Geografi saat ini, tapi hanya itu kenang-kenangan manis tentang bokap yang gue punya. Jadi tolong, setidaknya medali perunggu," pintanya.

Ragu-ragu kuanggukkan kepala. "Setidaknya lo harus ingat kalau gue juga ikut Biologi."

Maria terkekeh. Barang kali baru ingat kalau aku mengikuti dua olimpiade dua hari berturut-turut.

"Ntar gue doain. Semoga lo menang. Soalnya ini, kan, olimpiade Geografi terakhir. Kuliah mana ada lagi," cetusnya.

"Semoga."

Entah menjadi beruntung atau rugi dipilih menjadi pendengar cerita tentangnya, tapi mungkin Tuhan sedang memberikan kepercayaan padaku untuk membantu meringankan beban pundaknya, atau barang kali Tuhan hendak mengirimkanku untuk membantunya keluar dari secubit kisah batinnya. Entahlah.

Tentangnya yang kuanggap alien, ternyata hanya seorang wanita biasa yang tak setangguh perannya. Sayangnya, aku tak mungkin menjadi sandarannya, tapi tidak apa. Semoga Tuhan memberikan kebahagiaan padanya nanti.

🌠🌠🌠

Heeyyoo, Yoru up lagi, dong!!

Kritik sarannya juga boleh banget yah diajak mampir sekalian😉.

Keysip, thx for reading😘








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro