Sudah Semestinya
Aadidev Valdezi
Sebenarnya aku ragu untuk tidak pergi ke sekolah hari ini, tapi setelah melihat jadwal bahwa tidak ada ulangan yang akan berlangsung, aku menyetujui ucapan Aya semalam. Ya, gadis itu menghubungiku agar dapat datang di turnamen karate Maria. Sebenarnya aku akan menolak, lagian untuk apa aku ada di sana? Namun, penjelasan Aya yang panjang lebar membuatku tak tega untuk mendebat lagi.
"Ya ampun, Dev! Lo, kan muridnya si Sara, masa dia mau tanding, lo enggak ikut? Enggak ada akhlak lo jadi murid."
Begitulah kurang lebih inti dari perkataannya yang jauh lebih panjang semalam saat bernegosiasi denganku. Sebenarnya, aku tidak ingin menjadi muridnya, tapi hal itu tidak mungkin kukatakan pada Aya. Bisa-bisa ia mengadu pada Maria, lalu habislah nyawaku. Jangan lupakan aku terjebak dalam geografi dan karate karena paksaan gadis tomboi itu.
Aku memandang pantulan cermin, meneliti pakaian. Sudah, tidak ada yang perlu dicemaskan. Teman sebangkuku itu sudah kuperintahkan untuk mencatat materi. Sempat protes dan mengatakan bahwa rajin mencatat materi bukanlah merupakan jalan ninjanya, tapi segera patuh ketika kukatakan ulangan fisika minggu depan akan mendapatkan sontekan cuma-cuma dariku.
Menuruni tangga, menghampiri Mama yang tengah berkutat dengan piring kotor, menyalami tangannya.
"Salam buat Maria, ya. Bilang sama dia, semangat!" ujar Mama dengan senyum cantiknya, aku mengangguk. Entah sejak kapan Maria mulai begitu akrab dengan Mama, padahal kupikir ibuku itu tidak menyukai gadis modelan Maria.
"Mama enggak sekalian datang aja?"
"Enggak bisa, nanti jam sembilan sampai jam dua belas ada kelas. Jam dua siang sampai jam lima juga ada kelas."
Aku mengangguk. Kalau diingat-ingat, hari ini memang jadwal terpadat Mama sebagai dosen dalam seminggu.
"Dev berangkat," pamitku.
"Hati-hati."
🌠
Maria Sara Hanifa
Entah mengapa, jantungku berdegup sangat kencang sekarang. Menatap kerlap-kerlip lampu gedung olahraga ini membuat hormon adrenalinku meningkat pesat. Beberapa orang telah hadir, memilih bangku paling depan, lantas sambil menunggu, mereka bercengkerama satu sama lain.
Aku terlalu cepat datang. Turnamen baru akan dimulai satu jam lagi, namun entah mengapa untuk tinggal di rumah lebih lama, rasanya membuat jantungku sesak. Ibu sebentar-sebentar menabahkanku karena Ayah tidak dapat hadir. Oh ayolah, aku tahu itu dan dapat menabahkan diri sendiri. Pandangan kasihan Ibu dan Fairuz membuatku mantap memutuskan akan pergi lebih cepat.
Kulangkahkan kaki menuju ruang ganti. Menghadap ke arah cermin tinggi, membuat pantulan diri sempurna dari kepala hingga kaki. Pandanganku fokus pada karategi yang terpasang di tubuh Lalu beralih pada obi di genggaman kanan. Tak menyangka bahwa selama ini, ilmu bela diri hingga kenaikan sabuk yang lebih cepat kudapatkan hanya karena melampiaskan rasa sesak.
Ah, apa dengan begitu, aku menjadi seorang karateka yang baik? Ucapan Senpai Bella beberapa hari lalu tentang prinsip karateka membuatku menyadari banyak hal. Tidak mampu mengontrol diri dengan baik, salah satunya. Ah, sudahlah. Dari awal, aku memang telah memilih karate sebagai pelarian.
Wajah di sana terlihat kuyu akibat saban malam meluapkan tangis. Padahal aku tahu betul, setelah menangis, bukan lega yang kudapat, tapi sakit kepala yang sangat. Ah, apa tenagaku untuk bersedih terbuang begitu banyak?
"Hei!" Aku terperanjat kaget ketika Aya tahu-tahu muncul di sebelah sambil memukul bahuku pula. Sejak kapan dia ada di sini?
"Cepat banget datangnya?"
"Entar lo kangen gue, hati gue susah jadinya," celoteh Aya.
"Lebay," seruku sambil melayangkan pelan sabuk pada punggung Aya.
"Ih, sakit, Ra! Hobi banget sih menzalimi gue?"
Aku terbahak melihat Aya bersungut-sungut. Pasalnya, aku bahkan tidak menggunakan tenaga kuat, namun Aya bertingkah seperti sedang menghadapi penyiksaan kelas kakap.
"Eh, Ra. Lo pucat."
"Hem? Kulit gue memang putih pucat, Ya."
"Ish! Ini beda! Eh tapi enggak pucat juga, sih ... tapi ya tetap aja beda!"
"Gaje banget, sih, Ya. Lagian nih, ya. Gue akhir-akhir ini kayaknya kena insomnia, deh. Makanya kalau malam itu telat tidur,"
alasanku.
"Oh, iya, ya. Mungkin karena itu." Aya manggut-manggut. Ia merogoh tas selempang kecilnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari sana. "Eh, tapi sini deh, gue pakein liptint sedikit. Ya, walaupun memang kulit lo pucat, enggak lucu kalau lo dieliminasi gegara tampang lo yang kayak orang anemia."
Belum sempat menolak ataupun protes, Aya sudah lebih dulu memoles liptint ke bibirku. Berseru puas, aku berkebalikan dengan Aya. Bibir ini jadi terasa sangat tidak nyaman. Baru saja ingin menghapus, sensei memanggil untuk berkumpul sejenak sebelum perlombaan. Ah, memangnya sudah berapa lama aku di sini?
🌠
Aku mengambil tempat yang disediakan, memakai sarung tangan berwarna merah, setelah sebelumnya mengetatkan sabuk. Ah, sekarang merupakan waktuku, bukan? Waktu untuk membebaskan dan melepaskan beban yang kemarin-kemarin mengganggu pikiran.
Mokuso!
Aku menundukkan kepala, memejamkan mata untuk bermeditasi sesuai dengan arahan wasit. Tak ada yang kupikirkan, hanya berharap pertandingan ini berlangsung baik.
Mokuso yame!
Mengangkat kepala, menyelesaikan ritual meditasi. Selanjutnya aku menegakkan punggung, bersiap dengan intruksi selanjutnya.
Shomen ni rei!
Shihan ni rei!
Sensei ni rei!
Otagai ni rei!
Aku membungkuk, memberi hormat sesuai intruksi. Terakhir, atensiku mengarah pada lawanku di turnamen ini. Gadis dengan rambut yang dikucir kuda, menampilkan senyum sinisnya. Ah, sombong sekali.
Setelah aba-aba diluncurkan, aku membentuk kuda-kuda, melompat-lompat kecil dan melakukan sparring. Semuanya berjalan cukup lancar, aku berhasil mengalahkan lawan dalam ippon kumite dan sanbon kumite.
Peluh bercucuran membanjiri kening dan pelipis, tapi sejauh ini aku cukup puas. Tak sedikit pun berminat untuk melirik kursi penonton, toh tidak ada siapa pun yang kehadirannya kunanti. Prinsip saat ini, cukup akhiri dan nikmati turnamen ini.
Saatnya jiyo kumite. Tahap terakhir. Sebelum memulai, aba-aba untuk melakukan penghormatan terhadap lawan, aku membungkukkan badan. Namun, beberapa detik kemudian kepalaku kembali terasa seperti berputar hebat, apalagi saat selesai membungkuk dan mengangkat kepala. Rasanya, kerlip lampu kian cepat bergerak pindah posisi.
Belum benar-benar pulih kesadaran, lawanku sudah lebih dulu menyerang dengan mawashi, menghantam kepala dan sayangnya, aku tak sempat menangkis. Sempat oleng, namun tak akan kubiarkan tubuh ini rebah atau aku akan kalah. Beberapa seruan tertahan penonton juga singgah di telinga.
"Ra! Semangat!" Seruan khas dari Aya memancing kepalaku untuk menoleh ke arah bangku penonton.
Pertama, yang terlihat olehku jelas saja Aya, lalu yang duduk tenang di sebelah kirinya Dev. Ah, aku salut ia berani bolos sekolah untuk hadir hari ini, meski aku juga tahu tentu saja adanya lelaki itu merupakan hasil dari paksaan Aya. Saat baru saja hendak memalingkan wajah, aku menangkap sosok ... Ayah?
Mengapa ada di sini? Bukankah beberapa hari lalu ia bilang akan keluar kota? Namun, aku bersyukur ia datang, hatiku seperti baru saja disirami embun, begitu dingin dan sejuk. Tiba-tiba rasa marah, emosi, dendam yang kutahan menguar begitu saja.
Walau begitu, seakan tidak ingin melihatku membaik, atensi ini sejurus kemudian menangkap sesosok Tante Alya.
Seharusnya, jika ingin datang, tidak perlu mengajak Tante Alya! Melihat wanita yang sok ramah itu mengingatkanku bahwa ia begitu berharga untuk ayah, dan hal itu melukai hatiku.
Mengepalkan tangan dan menahan rasa ngilu di kepala, aku melancarkan serangan. Tendangan dan kepalan tangan kulayangkan bertubi-tubi, membaca kelemahan dan membuka pertahanan lawanku ini. Ia sempat kelabakan, namun tak kugubris.
Bahkan sudah jatuh sekalipun, dengan kalap tetap kulayangkan tinju, berteriak kencang meluapkan segala emosi.
"Hei, apa yang lo lakuin?!"
"Diam lo!" bentakku kasar, membalas teriakan lawan.
Aku terus melayangkan pukulan, beberapa kali sempat ditangkis, sisanya aku memukul udara kosong, tinju itu membentur lantai karena gadis itu sempat menghindar. Saat pukulan sudah hampir kulayangkan, tanganku terasa ditarik begitu kuat, hingga menempati posisi awal, membuatku tersadar bawah sedari tadi sudah mengacaukan pertandingan.
Gadis itu menatapku takut-takut, napasnya dapat kurasakan sama tak teraturnya denganku. Beberapa lebam di pipi kanan itu membuat pikiranku jernih, bahwa aku nyaris saja melukai anak orang. Ah, salahkan dirinya yang lemah! Untung saja ia tidak mundur lalu menangis. Masih cukup memiliki nyali.
Lemah, aku memberanikan diri menatap Ayah. Di sana, tampak keningnya memiliki membentuk kedutan khawatir, aku bisa merasakannya. Hei, mengapa Tante Alya tampak sok-sok ikut khawatir? Memalingkan wajah, melihat mereka, membuat kepalaku bertambah pusing saja.
"Ra!"
Bugh!
Bertepatan dengan teriakan Aya, kurasakan sebelah kaki menghantam kepalaku, sangat kencang dan bertenaga hingga aku tak dapat bertahan dalam posisi berdiri. Apakah lawanku itu berniat membalaskan dendam?
Yang membuatku lebih terkejut lagi adalah cairan merah kental yang mendarat di atas matras, serta amis yang tercium di hidung.
"Lo ...."
Gadis itu mundur, berjalan setengah berlari pada wasit, hingga sosok itu menghampiri dan memeriksa keadaan.
"Pertandingan selesai! Chelsea menjadi pemenangnya!"
Argh! Apa aku baru saja mendengar sebuah kekalahan?
Aku ... kalah?
Menghapus kasar aliran darah yang tak berhenti mengalir, aku berlari sekencang mungkin menuju pintu keluar, beberapa panggilan tak kuhiraukan. Hatiku tengah babak belur saat ini. Hancur! Hariku hancur sudah!
"Sara! Nak!"
Aku memberhentikan langkah, tepat ketika Ayah memanggil namaku dari belakang. Kulihat juga di sana ada Ibu, Dev, serta Aya. Oh, juga ada Tante Alya. Kompak sekali, ya?
"Kamu sakit, Sara?"
Aku menunduk, menggeleng sambil menelan isak perih. Di depan Ayah, kini aku harus kembali berlagak kuat.
"Tapi tadi ... hidungmu berdarah. Apa dia memukulmu terlalu kuat? Apa perlu Ayah laporkan? Atau kita ke rumah sakit, ya?" Ayah mendekat.
Aku tertawa sumbang. "Jangan berlagak sok peduli, Ayah. Ini pertandingan dan berdarah adalah hal biasa. Bahkan aku sudah merasa sakit sejak lama dan itu karena Ayah. Jadi, enggak perlu repot-repot mengkhawatirkan aku." Akhirnya aku mengungkapkan apa yang mengganjal di hati selama ini.
Sara jangan menangis! Sudah berapa kali kuperintahkan hati untuk kuat, namun mengapa isak itu tetap lolos? Mengapa orang-orang di sekelilingku memandang dengan tatapan kasihan?
"Nak---"
"Sudah semestinya, Ayah enggak datang. Setidaknya, hal itu lebih baik daripada membawa parasit."
"Sara, Ayah datang dari jauh untuk melihatmu---"
"Aku kalah, selamat menyesal karena sudah jauh-jauh datang. Sudah dari awal, aku tidak memintamu, bukan?"
🌠🌠🌠
Bantuin Yoru untuk mengungkap typo-typo yang mengganggu, ya! Jangan sungkan untuk komen, Yoru ngga makan manusia. (◍•ᴗ•◍)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro