Rasanya Sakit
Aadidev Valdezi
Entah apa yang terjadi, segalanya malah mengurai empati. Padahal sejak pertama kali Maria masuk ruangan ayahnya, aku hendak bergegas pulang, tapi ditahan oleh Aya. Gadis itu berujar bahwa mungkin nanti sang sahabat membutuhkanku dan dirinya. Memangnya aku siapa?
Menunggu di kantin lalu berakhir dengan air mata setelah mengisi perut. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Setahuku, gadis alien itu selalu saja ngotot ingin membenci, tapi saat melihat dan mendengar langsung, sepertinya ia telah mengubah haluan.
Aku mengusap wajah, pada akhirnya di sinilah aku sekarang. Kursi tunggu yang sejak semalam membuatku menjadi santapan nyamuk sebab Aya tidak mengizinkan tidur di sofa kamar rawat Maria. Tak apa, setidaknya ada gadis itu yang berjaga kalau-kalau Maria sadar.
Mungkin, alien itu sudah kebal dari rasa sakit. Penyesalan serta topengnya, entah sudah berbaur menjadi satu atau tidak. Segala tameng yang melingkupi sosoknya, entah lebur atau belum. Satu hal yang pasti, kemarin dan hari ini, menjadi begitu kelabu baginya.
Ayolah! Kalah dalam turnamen, menyadari kesalahpahaman, ditinggalkan orang terkasih, dan mungkin juga dijejali banyak penyesalan. Semuanya terjadi begitu cepat hanya dalam 24 jam saja. Bahkan hari paling biru bagiku pun, tak separah apa yang dialami Maria. Empatiku tersentil banyak menyaksikan rentetan peristiwa kemarin.
Satu lagi yang tidak Maria tahu. Aya, dengan segala sesak yang tersisa, akhirnya memutuskan untuk mengingkari janji. Tersedu sedan menceritakan keadaan Maria pada ibunya ketika gadis itu pingsan. Padahal, wanita paruh baya itu tidak bertanya apa pun tentang kondisi anak gadisnya, karena menurutnya sang putri hanya pitam sebab terlalu syok dan sedih.
Masih dengan duka yang baru terbit, ibunya Maria menandatangani surat persetujuan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Entah ada berapa pemeriksaan yang dijalani, kami berakhir mendapatkan diagnosis serius. Leukemia stadium 3.
Aku melirik jam tangan, sudah pukul satu siang. Hari ini, aku melewati jadwal ibadah ke gereja akibat Aya yang memerintahkan untuk tetap tinggal di rumah sakit hingga Maria tersadar. Sudah sejak tadi pula, keluarga alien ini memutuskan untuk menyegerakan pemakaman beberapa menit lalu, tanpa menunggu Maria membuka mata. Entah apa yang mereka pikirkan, tapi tetap kuhargai mengingat ketidakpastian kapan gadis sok kuat itu terbangun.
"Dev!" Aku tersentak ketika mendengar suara Aya dari balik pintu. Spontan kutolehkan kepala. "Sara udah sadar."
Aku bangkit dari kursi, meregangkan badan, merasakan tulang yang sedikit bergesekan hingga menimbulkan suara.
Kulangkahkan kaki, memasuki ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan dan mendapati Maria sudah duduk tegak, memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Lingkar hitam di bawah mata tetap tercetak walau kutahu ia sama sekali tidak kekurangan tidur—sudah lebih dari dua belas jam matanya tertutup.
Aku mengikuti langkah Aya beranjak ke sisinya.
"Dari tadi dia diem terus," bisik Aya.
Aku hanya merespons dengan anggukan. Dia pasti syok berat.
Hening beberapa saat. Baik aku maupun Aya juga membeku, tidak tahu harus memulai dengan ucapan apa. Bingung, terlebih lagi Maria sama sekali tidak melirik ke arah kami sejak aku melihatnya tadi. Hanya terdengar detak jarum jam serta suara televisi yang menampilkan acara gosip artis.
Aya menyenggol lenganku, atensinya yang sudah sedikit berembun menatap seakan bertanya, kita harus bagaimana? Aku hanya menggeleng, benar-benar tidak mengetahui jawabannya.
Kehadiran seorang dokter yang tiba-tiba masuk mengagetkan aku dan Aya, minus Maria, ia seolah terlihat sama sekali tidak terusik. Pria tua berbalut jas putih itu melayangkan senyuman, meski begitu tipis.
"Adik Maria Sara Hanifa?"
Bahkan pertanyaan dari dokter yang bernama Hendrik Kurniawan‒aku membaca nametag-nya‒itu tak diacuhkan oleh sang pemilik nama.
"Em ... terapi mulai dilakukan esok lusa, ya. Ini jadwalnya," ujar Dokter Hendrik pelan, sepertinya sosok yang sudah beruban banyak itu sedikit memahami situasi beku ini.
Maria bergeming, membuat Aya meringis dan terpaksa mewakili sahabatnya untuk menyambut uluran dari dokter.
"Ah, kalau begitu, saya keluar dulu," pamit Dokter Hendrik.
"Terima kasih."
Sosok tua itu mengangguk lalu pergi meninggalkan ruangan.
"Nyokap udah tau?"
Sekalinya bicara malah nambah ngeri aja, batinku. Atmosfer ruangan terasa berbeda, lebih beku.
Sekali lagi Aya menyikut, netranya sudah digenangi air. Bisa jadi sedang ketakutan sebab memang ulahnya membocorkan rahasia besar tentang penyakit Maria.
Entah siapa yang harus kupandang iba saat ini. Maria dengan segala sakitnya, atau Aya dengan segala kecemasannya.
"Dev," panggil Aya lirih. Aku otomatis menoleh ke sosoknya yang hanya setinggi bahuku. Matanya mengisyaratkanku untuk menjawab pertanyaan Maria yang dari tadi menggantung di udara.
Aku menggeleng. Bukankah harusnya memang Aya yang menjawab?
"Udah tau, Ra," jawab Aya pada akhirnya, mengalah denganku yang menolak untuk memberi tahu.
“Gue beneran kena leukemia, ya? Stadium berapa?”
“Tiga.” Aku yang menjawab, sebab Aya sejak tadi menunduk sambil memainkan jemarinya.
"Trus, nyokap bilang apa, Ya?"
Entah harus bernapas lega sebab Maria tidak serta-merta menyemburkan emosinya atau harus khawatir sebab ia masih menunjukkan intonasi dingin. Ia seakan tak lagi memedulikan apa pun. Aya mendunduk, mungkin berpikiran sama sepertiku.
"Aya? Nyokap bilang apa?" Maria kembali bertanya, kali ini menggunakan penekanan di setiap kata, tentu saja tanpa mengalihkan pandangan dari posisi semula.
Sepersekian detik kemudian, Aya malah terisak. Ini aku harus bagaimana?
"Maaf banget, Ra. Maaf. G-gue bingung harus apa. Gue enggak bisa biarin Ibu lo enggak tau apa-apa. G-gue ... gue enggak mau lo ... pergi. Maaf!"
Maria menghela napas lalu kepalanya tertoleh menuju sosok Aya yang tergugu dalam tunduknya.
"Itu enggak menjawab pertanyaan gue, Ya. Lagian juga udah terjadi, gue hukum lo pun enggak akan memberi efek apa-apa. Jadi, nyokap bilang apa?"
Aya mengangkat kepala, balas menatap iris Maria.
"Nyokap lo bilang kalau lo harus kemo."
Aku menahan napas menanti reaksi Maria.
"Oh."
Oh? Setelah itu ia malah kembali memalingkan wajah? Responsnya sungguh datar untuk orang yang terkejut. Ah, sudahlah. Kenapa aku harus sibuk menilai?
"Ra."
"Hm?"
"Lo ... marah, ya, sama gue?"
"Enggak, kok. Manusia memang enggak ada yang bisa dipercaya, 'kan?" Aku menenggak saliva susah payah melewati kerongkongan yang kering kerontang. Begitupun Aya.
"Ra, maksud gue tuh supaya‒"
"Supaya nyokap, Fairuz, dan Tante Alya tau, kan? Enggak apa-apa. Daripada mereka nyesal karena terlambat tau dan berakhir kayak keadaan gue kemarin ... lo enggak salah."
Satire, menusuk tepat di relung jiwa. Ucapannya, sukses membuat ruangan kembali hening membisu. Aya juga memilih untuk mematikan televisi, membuat suara mesin AC mendominasi ruangan selain detak jam dinding.
"Bokap udah dikuburin?"
"Udah," balas Aya lirih.
Maria mendongakkan kepala, sempurna menatap langit-langit sambil memejamkan mata. Jemarinya saling bertaut kuat, hingga beberapa bukunya memutih—walaupun kulitnya sendiri lebih pucat.
"Aya ... gue ... boleh nangis?"
"Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri, memangkas jarak lebih dekat.
"Gue boleh marah?"
Aya, kembali menangis dan mengangguk.
"Boleh, Ra."
"Gue boleh lepas topeng gue?"
Aya terdiam, tampaknya gadis itu tidak mengerti dengan maksud topeng yang diucapkan Maria. Aku hanya diam, menyaksikan sosok yang dulunya begitu kusegani—bahkan hampir kubenci—itu kini jatuh sejatuh-jatuhnya.
"Gue ... boleh ngeluh?"
Aya menubruk Maria, mendekapnya erat. Keduanya sama-sama menangis sekarang.
"Keluhin semuanya, Ra. Gue di sini."
"Sakit, Ya! Rasanya sakit! Kenapa ... kenapa jadi gini? Kenapa Ayah meninggal di saat gue udah tau semuanya? Kenapa Ayah pergi saat gue udah ikhlas dan menerima segalanya? Kenapa ... kenapa gue enggak punya kesempatan lagi?"
Baru kali ini aku dapat menangkap pilu mendalam dari seorang wanita yang selama ini selalu berusaha mendeklarasikan dirinya paling mampu bertahan. Rasanya, tiap ratapan yang diselingi isak itu sangat menyayat hati. Pedih, kuakui itu.
"Gue, loh, kok bodoh banget, Ya? Gue kok jahat banget? Kok gue durhaka banget?"
Ah, sekarang mataku mulai memanas.
"Gue punya salah apa sama Tuhan, Ya? Kenapa semuanya diambil dari gue? Kasih tau gue, Ya, gue salah apa?"
Aku mengusap wajah yang mulai terasa sangat kebas.
"Dev?"
Pandanganku jatuh ke dua sosok yang mulai mengurai pelukannya saat suara Maria yang bergetar memanggilku.
"Salah banget ya gue? Salah banget gue yang dari kemarin-kemarin enggak dengarin nasihat lo? Jahat banget gue, 'kan?"
Hening, bahkan sekarang memang seperti ruang hampa, seakan udara saja segan untuk sekadar lewat.
"Gue ... pernah minta sama Allah untuk menghilangkan Ayah, Ya. Gue pernah minta supaya gue enggak ketemu dia lagi. Tapi sampai Allah ambil Ayah pun, aku ... nggak bisa membencinya. Kalau gitu, kenapa Allah ambil Ayah?"
Ya Tuhan, aku tidak pernah mendengar kata-kata lebih menyakitkan dari ini. Mataku memanas, kukatupkan bibirku agar isak tidak lolos dari sana. Maria sesenggukan, kelihatan sulit bernapas dan hal itu sepertinya menular padaku dan Aya. Ruangan ini mendadak seperti kehabisan oksigen.
"Sakit, dan ini adalah yang paling parah. Gue sampai ragu mau bertahan."
Aku dan Aya saling pandang.
🌠🌠🌠
Bantu koreksi kalau kalian nemu typo, ya! 😉
Kritik dan saran? Silakan gas pol!
Terima kazii 💐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro