Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pulang

Maria Sara Hanifa

Ibu menarik napas dalam, menatapku lurus.

"Ayah benci ya, sama Sara? Fairuz tau, tapi Sara enggak tau. Atau apa Ayah sengaja nutupin ini supaya Sara benci aja sama Ayah? Supaya Ayah bisa jauh-jauh?" Tidak ada lagi Sara yang memiliki logika. Tidak salah, bukan, jika aku sedikit bersifat kekanakan hari ini?

Segala yang telah terjadi hari ini, membuat lelah. Hati dan raga.

Yang kudapatkan adalah gelengan dari Ibu. Seberkas senyuman terbit di sana, lalu jemari lentik itu beralih mengusap kepalaku. Lembut, pelan.

"Ayah enggak mau Sara kepikiran banyak hal. Karena Ayah bilang, Sara punya jiwa yang lebih dominan untuk memberontak, enggak kayak Fairuz."

"Tapi, Bu! Dengan begini juga, Ayah udah buat Sara berpikir yang enggak seharusnya Sara pikir! Sara malah berusaha membenci Ayah karena itu. Sara memelihara hati supaya enggak menerima Ayah lagi. Tapi?! Sara ... bisa-bisanya sedurhaka ini," ucapku lirih. Sesuatu di dalam kepalaku berdentum hebat.

Mengapa tidak sejak awal diluruskan? Bukankah itu akan jauh lebih baik?

"Ayah bilang, lebih baik Sara membenci Ayah, daripada membenci Ibu, Sayang."

"Atas dasar apa aku harus membenci Ibu?"

"Karena sejak awal, Ibu yang nyuruh Ayah menikahi Tante Alya. Tadi, sudah Ibu bilang, 'kan?"

Ah, benar. Aku akan tetap berujung menyalahkan orang lain, apa pun kondisinya. Jika tidak menyalahkan Ayah dengan keadaannya, aku akan otomatis menyalahkan Ibu dengan keputusannya.


Akan tetapi, bukankah keduanya telah salah terlalu lama menyimpan rahasia?

"Ada banyak hal yang Ayah pahami tentang Sara dan Fairuz. Bukan perihal siapa yang paling disayang, tapi bagaimana caranya Ayah melindungi kita supaya tetap satu dan membiarkan dirinya aja yang terbakar. Bukankah memang begitu tugasnya sebagai kepala keluarga? Setidaknya, itulah yang ayah pikirkan."

Aku menggigit bibir bawah, sebisa mungkin tidak lagi menitikkan air mata. Memahami pemikiran Ayah selalu rumit. Bijak, selalu memikirkan banyak hal sebelum mengatakan apa pun.

Bukankah dia hebat? Lantas mengapa aku meragukannya? Bahkan saat Ibu menasihati atau Fairuz berceloteh sebagai peringatan, aku masih saja keras kepala.


Langkah yang selama ini kutempuh, salahkah? Mengapa begini akhirnya? Jadi sebenarnya, apa yang membutakanku?

"Em ... Sara, dipanggil Ayah. Cepat ya, Nak." Aku tersentak ketika sosok Tante Alya menghampiri. Jelas di dua sisi pipinya ada jejak air mata. Kelopak mata yang menebal dan memerah, serta pucuk hidung dengan warna yang sama.

Entahlah harus merasa kasihan atau bersalah. Setelah mendengar cerita Ibu, kusadari bahwa Tante Alya adalah sosok yang paling tersakiti sejak lama dan aku membuatnya tambah menderita. Ayah, adalah milik kami semua. Aku, Fairuz, Ibu, dan Tante Alya.

Aku bangkit, menghapus bekas bulir bening di pipi, memaksa berdiri tegak walaupun kepala rasanya seakan hampir meledak. Bahkan dari hidung, dapat kucium sedikit aroma amis.

Jangan mimisan sekarang, batinku berharap. Mendongakkan kepala sebisa mungkin dengan waktu sesingkat-singkatnya, berusaha menahan laju darah yang mungkin akan mengalir, juga menahan agar dua wanita itu tidak menaruh kecurigaan apa pun.

Meski sedikit bingung karena raut cemas Tante Alya dan terkesan tergesa-gesa saat menyuruhku masuk, tapi tidak terlalu kupedulikan. Namun, betapa netraku terpaku menyadari napas Ayah yang sudah satu-satu. Lelehan di sudut matanya, membuatku tak menahan diri untuk segera menghampiri.

"Sesak, Yah? Tante Alya gimana, sih?! Sebentar, Sara panggil dokter."

"Nak." Panggilan itu lirih, tapi lengannya yang terbalut beberapa selang itu berhasil menahan tanganku. "Jangan panggil," ujarnya lirih. Saat itu pula, air mataku jatuh setetes. Memberanikan diri, kutatap dalam-dalam iris yang kelam miliknya, kudekatkan kepalaku dengannya.

"Jadi Ayah maunya apa?"

"Di sini aja, temani Ayah."

"Ayah boleh dengerin Sara kali ini? Ayah lagi sekarat. Lepasin tangan Sara, ya? Sara mau panggil dokter."

"Sara‒"

"Panggil dokter, Bu! Tante, Fairuz, siapa pun, panggilin dokter!"

Tatapanku jerih melihat orang-orang yang berada di dalam ruangan memilih untuk tidak bereaksi. Apa? Kenapa? Mengapa mereka diam? Tidakkah ada yang bisa mereka lakukan selain absen wajah di sini? Mengapa tidak memberi respons apa pun? Apa rasa kemanusiaan mereka tidak berfungsi?!

Masih berusaha menahan air mata, atensi kembali kutujukan pada Ayah yang entah sudah sejak kapan napasnya mulai tersenggal.

"M-maaf." Napasnya tercekat.

"Enggak. Ayah tau Sara enggak akan pernah maafin Ayah! Ayah yang milih nyembunyiin ini semua sampai Sara benci diri sendiri! Sara enggak maafin Ayah, apalagi kalau sampai ninggalin Sara sekali lagi!"

"Sara ... masih bisa menerima Ayah setelah mendengar semuanya?"

"Ck! Sara masih putri Ayah! Mau membenci Ayah, itu mustahil! Menerima Ayah?! Bahkan sejak dulu, Ayah itu bagian terpenting di hati Sara! Untuk itu ... Sara mohon, jangan pergi ...."

"Makasih, Nak. Ayah jadi enggak takut untuk ... pergi."

"Tapi Sara takut!"

Apa-apaan senyuman itu? Mengapa terlihat begitu tulus? Mengapa begitu lega? Mengapa wajahnya mendadak menjadi teduh? Bolehkah kali ini aku meminta doa paling egois pada-Mu, Ya Allah? Aku ... tidak ingin Ayah pergi. Cabut doa-doaku dulu yang berharap apa pun terjadi asal tidak bertemu dengannya. Cabut, Ya Allah.

"Sara jangan nangis. Ayah jadi sedih."


Oh Tuhan! Sekarang, bagaimana caranya menghentikan laju bulir bening ini sedangkan dari tiap pernyataan yang keluar dari mulutnya, Ayah seakan mengindikasikan kalimat perpisahan?! Sara kuat, bukan begitu? Aku ... apa memang sekuat itu?

"Ayah ... boleh minta satu hal?"

"Boleh," jawab Ibu, Tante Alya, dan Fairuz sekaligus, membuat Ayah yang terbaring tanpa daya itu menarik senyum.

"Tapi, Ayah minta ... Sara ... yang melakukan‒" Lagi-lagi, belum habis ucapannya, Ayah seperti kesulitan bernapas. Benar-benar kesusahan, hingga dadanya membusung, berusaha memasok oksigen lebih banyak. Kepalaku sontak tertoleh pada wajahnya yang kian memucat dan genggaman tangannya yang semakin dingin.

"Apa, Ayah? Katakan."

"Talkinkan Ayah," bisik Ibu sambil mengelus bahuku, sedangkan Ayah sudah megap-megap.

Allah? Bukankah Engkau akan mengabulkan permintaanku?! Apa maksudnya ini?! Bahkan aku belum siap untuk melihatnya kesakitan lebih dari ini, lalu mengapa Kau ingin mengambilnya? Aku belum mengucapkan maaf! Aku belum bersimpuh mencium kakinya.

"Ayah ...."

"Nak, segerakan."

"Kak, cepat. Jangan sampai menyesal lagi."

Aku menahan napas demi mendengar ujaran-ujaran yang seakan lebih tegar dan siap dari beberapa orang di belakangku. Apa mereka tidak bisa sedikit saja mengerti posisiku saat ini?! Dikiranya mudah?!

"Sa-ra enggak boleh ... nangis lagi."

"Ayah, Sara minta maaf," lirihku, memangkas jarak agar lebih dekat dengan telinga kanan Ayah.

"Ayah ... s-sayang k-kamu." Napas Ayah mulai berat dan putus-putus. Mulutnya seperti mengatakan sesuatu, tapi aku tidak mendengar apa pun.

Aku menahan laju air mata agar tidak menetes di wajah Ayah, mendekatkan bibir pada telinganya. Lekas kutalkinkan Ayah. Hatiku menjerit, tapi ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk menunjukkan bakti terakhirku.

Tak menunggu lama, seakan telah begitu lelah dengan segala yang diderita, Ayah dengan napas yang mulai sangat berjarak mengikuti bisikanku. Secepat itu pula, genggaman tangannya mengendur, perlahan lepas dan terjatuh. Iris hitam sayu yang selalu memancarkan harapan bagiku, kini tertutup sempurna. Dengung kardiogram seakan memberitakan pada seluruh penghuni ruangan, bahwa jasad itu telah ditinggalkan oleh nyawanya.

Saat itu pula, aku menatap nanar. Air mata yang sejak tadi kutahan, kini berdesakan, minta untuk segera dikeluarkan. Netra yang sudah mulai mengabur sebab dipenuhi embun ini jatuh tak sengaja pada wajah teduh yang telah resmi menjadi mayat itu, menangkap seberkas cahaya dari senyum di sana.

Kenapa?

Kenapa aku tidak membuka mataku selama ini?

Masih diam tanpa pergerakan, kuperhatikan lagi selang-selang yang entah semakin menyakiti atau memberi kesembuhan yang ditempeli di tubuh Ayah. Apa ... Ayah sudah benar-benar pergi? Apakah boleh jika aku berdoa agar hari ini cukup menjadi mimpi?

Beberapa menit kemudian, ruangan menjadi sedikit riuh. Posisiku sedikit digeser mundur oleh seorang perawat yang entah kapan sudah berada di ruangan. Alat pacu detak jantung juga sedang dipraktikkan pada Ayah oleh seorang dokter lelaki paruh baya. Belum sampai semenit, sosok berjas itu menggeleng berulang kali.

"Keluar dulu, Sara. Dokter harus lepasin alat-alat itu dari tubuh Ayah."

Patah-patah kutolehkan kepala ke arah Ibu yang merangkul bahuku. Wajah dengan jejak air mata yang sudah diusap itu memberi senyuman. Apa dia sedang berharap agar aku bisa sedikit menjadi lebih baik dengan menampakkan lengkungan sabit itu?

"Apa ... Ayah udah beneran pergi, Bu?"

"Enggak, Sara. Ayah enggak pergi. Ayah hanya pulang. Ke tempat yang seharusnya, untuk istirahat. Untuk bahagia."

Sebelum kembali menarik napas, pandanganku seluruhnya berubah menjadi hitam.

🌠🌠🌠

Nemu typo langsung ingetin, key?

Terima kazii 💐


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro