Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Perkara Cinta

Aadidev Valdezi

"Sudah semestinya, Ayah enggak datang. Setidaknya, hal itu lebih baik daripada membawa parasit."

Aku tertegun mendengar ucapan apatis Maria. Bukan hanya diriku, bahkan ibu dan ayahnya, serta Aya juga terpaku. Berlawanan dengan sosok wanita yang sedari tadi bersama sang bapak yang kuduga sebagai ibu tirinya sedikit terisak mendengar pernyataan Maria.

Oh ayolah, aku dapat menangkap rona bahagia ketika ia mendapati bayangan ayahnya yang menyemangati dari kursi penonton, walau beberapa detik kemudian rahangnya mengeras lalu hilang kendali. Aku juga begitu yakin bahwa jauh di dalam hati, ia menanti kehadiran sosok pahlawannya itu.

Lalu sekarang, mengapa Maria berujar sarkas seolah tak punya nurani? Maksudku, hei, ia sedang berbicara pada orang tuanya, setidaknya hargai saja. Aku memang tidak mengetahui rasanya memiliki trauma, rasa sakit, atau apalah yang mengganggu hari-harinya, tapi yang kutahu Maria selalu bisa respek terhadap siapa pun.

"Sara---ah!" Belum lagi berlari, ayahnya Maria jatuh terduduk, memegangi perutnya lalu sesekali mengerang kesakitan. Tentu saja, kepanikan terjadi.

Ah, kalau tidak salah, Maria pernah bercerita tentang ayahnya yang menderita penyakit hepatitis. Apa mungkin ayahnya tengah menahan nyeri di perut yang merupakan akibat dari hepatitis? Sebelum itu, aku sempat melirik ke arah kaki ibu tirinya Maria. Kalau tidak salah ingat, ia pernah mengatakan bahwa wanita itu punya luka yang tak kunjung mengering. Atensiku membola ketika menyadari bahwa kaki itu merupakan kaki palsu.

"Dev, kejar Sara, buru!" seru Aya panik, sembari membantu ayahnya Maria untuk berdiri. Aku yang dari tadi fokus pada dua orang suami istri itu terperanjat. 

"Lo aja, lo kan sahabatnya," balasku cepat.

Aya mendelik, rahangnya mengatup, lalu netranya mendelik seperti mengisyaratkan agar aku mematuhi saja lantas menyusul Maria. Mendengkus, rasanya memang tidak elok jika aku bertukar tempat dengan Aya, karena tentu dirinya sudah lebih dikenal oleh keluarga Maria.

Ah, sudahlah. Meski tidak tahu harus mencari ke mana, kulangkahkan saja kaki ini setelah berpamitan dengan ibunya Maria.

"Nak!" panggil lelaki paruh baya itu, membuatku menoleh pada wajahnya yang sudah pasi. "Tolong ... sampaikan maaf saya pada Sara. Saya yakin, kamu temannya yang baik."

Seketika, hatiku terasa seperti ditetesi embun sejuk kala mendengar permintaan sang ayah. Itu membuatku rindu pada almarhum Papa. Namun, tanpa banyak membuang waktu untuk mengandaikan sosok papa, aku mengangguk, mulai memacu langkah sedikit berlari.

Celingukan ke kiri dan kanan, namun tidak menemukan apa pun kecuali keramaian para pedagang dan pembelinya. Melangkah ke parkiran, meneliti satu per satu motor milik Maria, barangkali gadis itu sudah pergi, tapi kemudian bernapas lega karena kuda bajanya masih terparkir di sana.

Mengikuti feeling, kakiku terus berderap menuju halaman belakang gedung olah raga ini, berharap Maria ada di sana. Entah mengapa, hatiku merasa sedikit cemas.

Bingo! Maria ada di sana dengan posisi membelakangiku di atas kursi panjang, masih mengenakan seragam karate beserta sabuknya. Siapa saja yang melihat, tentu akan langsung tahu kalau gadis itu tengah menangis, terbukti dari bahunya yang berguncang tak beraturan.

Perlahan, aku mendekat. Maria sempat menoleh, lalu kembali membuang pandangan, sibuk dengan isaknya yang tak kunjung berhenti.

Tidak ingin menggangu, kuputuskan tidak banyak bertanya atau berbicara. Membiarkannya menangis tanpa kuinterupsi dengan serbuan kata. Terdengar seperti ditahan, sepertinya Maria memang sering melalui momen menahan isaknya, seorang diri.

Sesekali atensiku mengarah pada rerumputan hijau dan bagian gedung yang saling membelakangi. Sepi, tidak ada orang yang berlalu-lalang di sini. Langit begitu biru, membuat peluh mengucur karena mentari terlalu ganas menyerang. Bahkan dari tempatku duduk, air mata Maria tampak berkilau bagai berlian.

"Bokap gue mana?" tanyanya tiba-tiba, masih dengan air mata yang meleleh.

"Hah?" Tidak, aku bukan tidak mendengar pertanyaannya yang tadi, hanya memastikan bahwa Maria benar-benar bertanya tentang ayahnya setelah tadi dicampakkan begitu saja. Ya, agak aneh menurutku.

"Sejak kapan lo tuli?" lirihnya, membuatku bergidik ngeri.

"I-itu, b-bokap lo ...." Sekarang, aku bingung harus mengatakan apa. Jika kubilang bahwa ayahnya tadi sempat terjatuh, bukankah akan membuatnya cemas?

"Sejak kapan lagi lo gagap?"

Astaga, gadis ini! Tidak bisakah ia bertanya dengan nada yang biasa saja?

"Bokap lo enggak kuat ngejar," ucapku akhirnya.

"Ah, bagus. Bokap memang enggak boleh capek."

Aku mengangguk sebagai respons, tidak tahu harus melakukan apa selain manggut-manggut.

Maria menghirup napas dalam, mengusap pipi yang basah oleh air mata, menetralkan napas yang bergejolak, lalu menatap kosong ke depan. Hidung dan matanya memerah sempurna.

"Lo enggak mau nanya?"

"Enggak."

Untuk apa bertanya? Aku tidak cukup berani untuk melontar pertanyaan, takut salah ucap atau perkataanku merusak suasana hatinya lebih dalam. Jika ia memang ingin bercerita, aku akan mendengarkan.

"Pasti lo mikir gue anak yang jahat banget, 'kan? Gue ngata-ngatain bokap dan istri keduanya dan enggak lihat-lihat tempat. Atau lo mikir gue bukan karateka yang baik karena kalah sama emosi. Kalah di pertandingan. Iya, 'kan?"

Aku mendesah pelan, tidak ingin menjawab. Satu sisi, takut dengan reaksinya yang tak terduga. Di sisi yang lain, aku khawatir jika persepsiku salah. Yah, aku tidak merasa ada di posisinya, tentu saja menghakiminya adalah sebuah tindak kriminal tak tertulis.

Maria menekuk lutut, kemudian menenggelamkan kepala di sana. Entahlah ia kembali terisak atau tidak kuat menerima cahaya terik. Beberapa saat kemudian ia mengangkat kepalanya.

"Lucu, ya? Padahal gue udah seneng banget bokap mau datang, nyempatin langsung hadir walaupun dari luar kota. Tapi semudah itu dia bikin gue sakit."

Berdamai dengan masa lalu begitu sulit, semua orang tahu itu. Namun, mau semengerti apa pun, tetap tidak ada yang paham betul posisi orang lain, begitu pula denganku. Aku tahu Maria terpukul dan belum mampu keluar dari rasa sakitnya. Namun, melihat ibu kandungnya yang bisa tanpa segan berjalan bersisian dengan istri kedua suaminya, membuatku memikirkan suatu hal.

Ada hal yang tidak diketahui oleh Maria, hingga gadis ini masih betah menyalahi takdir, padahal ibunya tampak baik-baik saja. Aku yakin begitu.

"Hidup memang rasanya serumit itu buat gue. Entahlah ini hukuman Tuhan atau bukan. Padahal impian gue itu sederhana, bahagia bersama keluarga."

Impian itu tidak salah, dan memang benar begitu sederhana.

"Tapi setiap gue mau berdamai, ada aja yang bikin tembok hati gue lebih tebal. Setiap gue mau menerima, ada aja rasa sakit yang bertambah. Gue enggak paham, enggak ngerti."

Maria kembali terisak. Aku tidak tahu seberapa dalam hatinya terluka, atau seperti apa rasa sakit yang ditahan ketika menampakkan sisinya yang lain saat di sekolah. Namun, yang pasti, melihatnya meluapkan emosi pada lawannya di arena pertandingan, melihat netranya yang berkaca-kaca saat melontarkan kalimat sarkastik, dan dirinya yang tidak lagi menahan tangis, aku mengerti bahwa ia tengah berada di titik frustrasi.

"Kenapa lo enggak ngomong apa-apa? Udah tau sisi buruk gue, 'kan? Lo marah sama tindakan gue? Terlihat kayak anak durhaka yang enggak pernah dididik sama orang tuanya? Enggak suka?"

Aku spontan menggeleng. Dibanding benci, aku lebih memandangnya kasihan.

"Gue enggak tau harus bicara apa."

Maria menatapku lemah, kemudian memalingkan tatapannya pada langit biru.  Dirinya menutup kelopak mata, menikmati sengatan matahari pada wajah mulusnya.

"Menurut lo, gue harus apa?" 

"Menurut lo, gue harus jawab?"

Pertanyaanku malah ditanggapi tatapan mematikan dari Maria. Aku menelan ludah susah payah, apa aku salah bicara?

"Maksud gue, lo itu sebenarnya tau harus apa, tapi lo belum berani untuk ngelakuin apa yang harus lo lakuin. Lo enggak butuh saran dari siapa pun, lo cuma butuh keberanian untuk nurutin kata hati lo."

Maria menghela napas panjang, kemudian mengangguk. Syukurlah, ucapanku dapat diterimanya.

"Mungkin, segala sakit yang lo rasa, adalah tanda Tuhan mencinta," kataku kemudian. Maria tampak menyunggingkan senyum tipis.

"Sesulit itu, ya, jadi hamba yang dicintai Tuhannya?"

"Hm ...."

"Memang cinta serumit itu, ya? Tuhan pada hamba-Nya, anak pada orangtuanya, gadis pada kekasihnya," gumam Maria.

Ah, perkara cinta, bukankah memang selalu ada misteri di dalamnya? Untuk rasa sakit yang betah dirasakan demi sebuah janji yang belum tentu terealisasikan. Namun, cinta itu nyata. Urusan untuk mendapatkannya, tidak akan pernah mudah. Barangkali, Tuhan memang begitu mencintai sosok Maria, hingga ia diberi beberapa ujian khusus, rasa sakit.

Maria menutup lagi kelopak matanya, lantas kembali membenamkan kepala di antara lutut. Sejurus kemudian, ponsel di sakuku bergetar.

"Dev! Udah dapet Sara? Dia udah sama lo?" Suara Aya yang seakan tanpa rem berdengung di telinga.

"Udah, Ya."

"Ya ampun anak itu! Dia enggak bawa hp-nya atau gimana, sih? Udah dari tadi diteleponin malah enggak diangkat."

Dari penampakannya, Maria memang sejak selesai pertandingan tidak membawa apa-apa.

"Ada apa, Ya?"

"Oh, ya ampun, sampai lupa mau bilang apa! Bokapnya Sara masuk rumah sakit! Bilangin sama dia buat nyusul! Ini gue udah di rumah sakit. Buruan, ya!"

"Oke."

Tanpa salam dan basa-basi, Aya memutuskan sambungan. Apa penyakit ayahnya kambuh? Mengapa hatiku ikut cemas?

Aku menyentuh pelan bahu Maria, takut mengganggu kegiatan meditasinya, tapi tak ada pergerakan. Apa ia sudah tertidur karena lelah menangis? Bisa-bisanya terlelap di tempat ini.

"Maria, bokap lo masuk rumah sakit." Aku mengguncang tubuhnya lebih kuat, berharap ia terbangun dan memberi respon.

Bruk!

Tubuh itu jatuh terkulai, membuat mataku membola sempurna. Terdiam melihat darah yang mengalir dari hidung dan beberapa tetes telah menodai seragam putihnya, meyakinkan diri bahwa yang kulihat bukanlah peristiwa main-main.

"Maria!"

🌠🌠🌠


Bantu ingatkan kalau kalian menemukan sebutir dua butir typo yang menetas, ya! 😉

Terima kaziii 💐






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro