Kembali Sadar
Maria Sara Hanifa
Memar lagi. Sejak dua minggu yang lalu, berlatih begitu keras membuat beberapa bagian dari tubuh ini mudah mengalami memar, bahkan saking terbiasanya, lebam ini tak lagi ada rasanya. Belum lagi aktivitas yang begitu diforsir, mungkin memperlambat hilangnya bekas keunguan akibat pembuluh darah yang pecah itu. Ah, biarlah. Nyatanya, lari dari masalah hati memang lebih menyenangkan jika terus dipaksa.
Aku mengoles salap yang sejak dulu memang disediakan di setiap kamar untuk berjaga kalau-kalau terantuk atau terjedut. Berhenti sejenak, netraku terfokus pada buku tebal panduan belajar geografi. Entah siapa yang memerintahkan kaki melangkah, berderap menuju tempat buku itu berdiam. Meraih, membuka asal halaman yang beberapa bahkan telah usang. Catatan-catatan dari Ayah yang menggunakan pensil pun sudah sedikit pudar.
Tes.
Kuusap kasar air mata ini yang lagi-lagi jatuh. Salahkan saja diriku yang masih betah memandangi kenangan yang harusnya dilupakan.
Mampukah aku membenci?
Kuputuskan untuk keluar menuju balkon, menatap kelabu malam. Ah, masih tanpa bintang. Beberapa hari ini memang mendung, membuat sedikit dari bagian hatiku merasa lega. Setidaknya, dengan tidak melihat gemintang, tak begitu banyak kenangan tentang ayah yang mampir.
Tik.
Ah, rintik. Lihat bagaimana langit malam tidak lagi menerimaku, bukan? Tidak masalah. Setidaknya, mungkin kali ini.
Hujan mulai menderas.
Tapi sungguh, demi apa saja yang bisa disumpahkan, aku menyayanginya.
Mencintainya yang telah menjadi pahlawanku setiap saat.
Mencintai segala yang dicintainya.
Kecuali Tante Alya.
Biarlah. Biarlah laraku luruh bersama dengan hujan rintik yang menggila. Biar saja tubuh ini basah dan dingin. Sungguh, aku tidak peduli. Sungguh, aku pun tidak tahu, rasanya bisa sesakit ini. Mana oksigen? Mengapa rasanya sesak? Apakah tidak ada udara di sini, Ya Allah? Kenapa dadaku sakit?
Lemah, tungkaiku seperti tidak lagi mampu menopang tubuh. Terduduk, di bawah hujan dengan isak yang kutahan. Tidak bisa menjerit, tidak guna berteriak. Untuk apa? Apa bisa mengurangi beban?
Percuma.
Aku membencinya.
Lebih dari itu, aku menyayanginya.
Jadi, apa yang harus kulakukan?
Kesalahannya begitu besar untuk sekadar kumaklumi. Atau aku yang tidak bisa mengerti?
Beri aku napas lagi, Ya Allah.
🌠
"Lo sehat, Ra?" Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Aya.
Semalam, setelah puas menangis, basah dan kedinginan, kuputuskan untuk segera mandi. Sempat demam dini hari dan terbangun di sepertiga malam karena merasa mencium bau amis. Siapa duga saat tersadar, bantalku malah sudah berwarna merah pekat dan cenderung kecoklatan? Ah, aku lupa, sejak dulu memang sering mimisan jika hujan-hujanan.
Kutelungkupkan kepala di dalam lipatan tangan, di atas meja. Kepalaku terasa sedikit pusing pagi ini. Tadi, ibu sempat beberapa kali melarang pergi karena badanku hangat—katanya—tapi kemudian kutolak. Sungguh, aku baik-baik saja. Setidaknya, sampai otakku terasa lari-lari saat ini.
"Lo kelihatan kurang sehat, Ra. UKS, yuk?" Aku menggeleng. Untuk apa ke UKS? Pusing begini juga akan sembuh jika dibawa santai. Tidak perlu cemas berlebihan, bukan?
Ah, mataku hangat. Rasanya, sebentar lagi akan demam. Tanpa perlu menunggu lagi, kelopak mata ini kututup saja.
"Apa dia tidur?" Suara berat itu langsung menghampiri telinga, membuatku terkesiap.
Benar, Dev. Ia jarang menemuiku, jika saat ini menghampiri, pasti ada hal yang ingin ditanyakan. Perlahan, atensiku menangkap sosoknya yang tengah memegang kertas di tangan kanan, dan pulpen di tangan kirinya. Ah, mau bertanya tentang geografi?
"Dia sakit, Dev. Entar sore jadwal lo sama dia latihan, 'kan?"
"Iya."
"Diliburin dulu aja, kali, ya?"
"Enggak, jangan!" sergahku cepat. Dapat kulihat Aya melengos.
"Ra, lo sakit. Pucat, lemas, itu bibir putih banget. Ngapain, sih, latihan lagi? Untuk masuk sekolah aja, udah maksa keadaan banget," cerocos Aya sambil melayangkan tatapan lelah.
"Ya, gue enggak apa-apa, beneran. Semalam itu gue enggak bisa tidur, jadi begadang, makanya pucat gini," kelitku, dengan suara rendah. Aku tahu Aya tidak memercayai perkataanku yang ini. Ia tahu persis kalau aku tidak akan pernah bisa telat tidur malam. Asal sudah merebahkan diri saja, diri langsung ikut lelap.
"Ya sudah, deh. Gue nasihatin juga percuma, lo tetep aja batu. Eh, Dev, entar gue titip dia, deh, kalau jadi latihan."
Dev kelabakan, tapi kemudian mengangguk. Beberapa detik kemudian, ia membalikkan badan.
"Dev!" panggilku cepat.
"Y-ya?"
"Tadi nyamperin gue mau ngapain?" tanyaku to the point, membuat Dev menggusap tengkuk. Kacamata tipisnya kemudian sedikit dinaikkan menggunakan telunjuk di penghubung antara dua lensa.
"Sedikit mau nanya, tapi enggak jadi."
"Udah ngerti sebelum nanya?"
"Eh? Enggak, c-cuma ... lo sakit, kata Aya. Gue enggak jadi nanya."
Masih saja gelagapan saat berhadapan denganku. Apa aku sebegitu mengerikannya? Ah, sudahlah. Untuk apa pula aku memaksanya bertanya? Lagipula, otakku memang sedang terasa sedikit berputar.
"Nanti aja, pas latihan."
"Enggak, latihan tetap latihan. Fisik, bukan soal." Aku menggeleng cepat. Dev mendesah berat, Aya mendengkus.
"Ra, gue enggak mau, ya, nanti sore lo latihan sama Dev! Sadar, enggak, sih? Lo itu lagi sakit." Belum selesai berbicara, Aya menyentuh keningku. "Tuh, sepanas pantat panci! Masuk sekolah aja udah ajib banget! Mau latihan fisik lagi entar sore? Fix, gue telepon bokap lo."
Tercenung. Entah karena kalimat Aya mengandung satu kata yang paling ingin kuhindari, akhirnya kepalaku ikut mengangguk.
"Kalaupun lo masih kekeh mau latihan, cuma boleh duduk-duduk aja, dengar? Cuma ngajarin Dev geografi, enggak apa-apa, itu latihan juga. Paham?"
Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, aku mengangguk.
🌠
Kupacu langkah cepat. Sepertinya benar kata Aya, hari ini aku memang merasa sedikit lebih lelah dari hari biasanya. Mataku hangat, baik saat melek ataupun saat sedang merem. Napasku terasa lebih berat dan panas, tapi percayalah, aku masih sanggup. Setidaknya, membantu Dev dalam hal geografi adalah kewajibanku, juga mengajarinya bela diri adalah sebuah keharusan, karena secara tidak langsung sudah melibatkannya dalam masalah pribadi.
Menaiki tangga menuju rooftop, napasku terengah, melelahkan sekali. Untung saja kali ini aku tidak perlu menunggu Dev, karena lelaki itu sudah lebih dulu berada di tempat ini.
Kuletakkan tas di hadapannya, membuatnya yang kelihatan begitu fokus menjadi sedikit terlonjak kaget.
"Ada yang mau lo tanyain?" tanyaku tanpa basa-basi. Mungkin perkataan Aya akan aku benarkan hari ini, aku merencanakan akan lebih cepat pulang dan istirahat.
"Ada."
Dev menyodorkan ponsel, aku memicingkan mata. Terdapat soal serta gambar di sampingnya.
24. Pada saat matahari terbit, dan pagi beranjak menuju siang, maka hydrometeor jenis ini akan hilang. Hydrometeor jenis ini disebut?
a. Smog
b. Kabut
c. Kabas
d. Awan
e. Presitipasi
Aku mengangguk-angguk, memahami soal dan jawabannya secara cepat. Merasa sedikit bingung mengapa malah soal seperti ini yang malah ditanyakan Dev. Ah, bahkan pertanyaan ini hanya perlu sedikit memahami arti dari opsi yang diberikan.
"Menurut lo, jawabannya apa?" Dev mengernyit.
"Kalau gue tau, gue enggak nanya lo." Atensiku langsung menghujam matanya. "E-eh, e, maaf." Dev mencicit. Seakan tersadar, aku langsung mengalihkan pandangan. Sepertinya atensiku terlalu mengintimidasinya.
"Sorry, enggak maksud buat bikin lo takut," selorohku, berusaha bersikap santai dan menepis rasa bersalah. Sesekali mengerjap karena mata ini mulai perih.
"Smog."
"Hah? Apa?"
"Menurut gue, jawabannya smog."
Oh, itu maksudnya. Eh, tunggu. Apa tadi katanya?
"Kenapa lo berpikir kalau itu smog? Bukan presitipasi?"
"Presitipasi membentuk hujan, hujan beku, rintik, salju, hujan es. Ini sama sekali bukan contoh presitipasi." Aku mengangguk, puas dengan jawaban Dev. Hei, bukankah tipe anak sekolahan, jika diajukan beberapa pilihan ganda untuk dijawab, kebanyakan di antara mereka akan memilih jawaban dengan bahasa yang asing? Alih-alih berpikir logis, malah berpikir kalau jawaban dengan bahasa istilah adalah yang paling benar.
"Tapi jawaban lo salah, Dev." Dev mengangkat pandangannya dari ponsel.
"Jadi?"
"Itu kabut, bukan smog."
"Tapi, di gambar ini, kayak ada polusi udara."
"Polusi udara akan hilang jika hari semakin siang?" tanyaku, menghujam netranya dengan tatapan tajamku.
Dev menggeleng. Justru semakin siang, polusi akan semakin bertambah.
"Perhatikan soal, Dev. Jangan hanya gambar. Lo mesti berpikir kritis, jangan hanya menilai dari apa yang lo lihat lantas mengabaikan hal yang lo pelajari."
Dev malah membalas tatapanku tak kalah tajam, membuatku kikuk seketika.
"Bukankah lo terjebak dalam hal yang sama? Mungkin, enggak, kalau lo mencerna kata-kata lo sendiri?"
Aku bungkam. Kali ini, entah kali keberapa, aku kembali sadar, kalau Dev begitu pintar membaca situasi.
🌠🌠🌠
Yoru kambek!
Kalau nemu typo, boleh comment, yaw! Terima kasih. 🧡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro