Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dia

Aadidev Valdezi

Aku melirik tak percaya pada gadis yang duduk tiga deret dari depan itu. Nilai biologinya 98? Yang benar saja? Bahkan aku yang biasa mengikuti olimpiade biologi sejak SMP saja mendapat nilai 94, lagi-lagi tidak dapat melampauinya. Lihatlah sekarang, ia sibuk berbicara dengan Aya, karibnya, dengan tampang yang sangat biasa, tidak mengacuhkan omelan guru biologi yang syukurnya tidak ditujukan padanya. Tidak ada kesombongan, tidak ada bangga. Cewek aneh. Aku buru-buru memalingkan wajah saat Aya menatapku menyelidik.

"Maria! Aya! Saya tau nilai kalian melewati KKM. Bisa hargai saya yang berbicara di hadapan kalian?"


🌠

Bukan hanya aku saja yang menganggapnya aneh. Bahkan para lelaki dari seantero sekolahan tampak tidak mau berurusan dengannya. Kenapa? You will know her. Dia itu alien.

Cewek mana yang kalau diajak pacaran, malah sesukanya meninju? Cewek mana yang tidak sama sekali peduli tentang nilainya yang begitu cemerlang? Cewek mana yang hobi dengan karate, alih-alih menjadi feminin? Membuatku muak. Sok kuat. Ia bukanlah cewek yang sesungguhnya. Kasar, tertutup, dan satu lagi, ia mengenakan hijab. Jelas dia muslim.

Alien itu selalu menjadi saingan beratku dalam hal akademik. Aku selalu berada di belakangnya, di bawah bayang-bayangnya. Satu hal yang membuatku jengkel padanya. Hei, aku jarang melihatnya memegang buku dan satu hal yang membuatku bingung, apa yang ia lakukan hingga nilainya selalu saja berada di atas nilaiku?

Maria Sara Hanifa

Aku selalu memerhatikannya. Bukan, aku sama sekali tidak menyukainya. Salut? Bukan juga. Benci? Ini satu hal yang paling bisa kusebut mungkin.

🌠


Aku menenteng soal biologi yang berlembar-lembar banyaknya. Selepas latihan basket siang tadi, aku dipanggil untuk mengambil soal biologi terbaru. Persiapan olimpiade. Agak sedikit kerepotan. Tas kusampirkan ke sebelah bahu saja. Sekadar informasi, aku memang tidak tergabung dalam tim basket sekolah. Bukan bermain basket tujuanku untuk sekolah, tapi sesekali aku menyempatkan latihan bersama teman-teman. Sekadar untuk melepas penat.

Mataku menatap tajam ketika melihat penampakan. Berusaha menyipitkan mata untuk memfokuskan pandang. Alien itu bersandar di kap mobilku. Mengunyah dan meniup balon dari permen karet. Aku menelan ludah pahit.

Ah, alien itu. Sedang apa dia di sana? Ini sudah pukul 17.00 WIB dan setahuku ia sama sekali tidak mengikuti ekskul apa pun. Apa ia akan mengajakku bergelut? Memangnya aku bersalah padanya? Benci mengakuinya, tapi aku sama sekali tidak menguasai ilmu bela diri. Yah, sebaiknya aku pergi saja. Mencari taksi akan lebih bermanfaat dari pada mencari mati. Baru hendak berniat untuk mengambil langkah seribu, alien itu memanggil.

"Oi, Dev!"

Suaranya yang nyaring dan tanpa beban itu menyentakku. Cewek itu menghampiriku.

"Balik kanan! Gue mau ngomong."

Terpaksa berbalik, menghadap sosok yang tengah tersenyum manis. Jangan salah sangka. Aku bukan hendak memujinya, ia hanya jarang tersenyum saja, jadi membuatku terkejut dengan senyum yang menampilkan lesung di pipi kirinya, juga gingsul di sebelah yang sama. Biar kutebak. Ia bersikap manis karena sedang punya keinginan.

"Apaan tampang lo? Kayak abis liat malaikat maut." Gadis itu mendecih. Aku melengos.

Lo bahkan nampak lebih menyeramkan daripada malaikat maut, batinku.

"Mau ikutan olimpiade geografi nggak?"

"Hah?"

"Geografi, Dev. Perlu gue jelasin apa itu 'geografi'?" Maria memutar bola matanya malas.

Aku mengerjap.

"Enggak. Enggak perlu," tukasku cepat.

"Mau, nggak?"

Aku menggeleng.

"Tapi lo harus mau."

What the-apa-apaan gadis ini?

"Kenapa gue?"

Alien itu mengedikkan bahu tak acuh. "Soalnya gue yakin lo pasti bisa menang," jawabnya enteng.

Apa-apaan alasan itu? Apa ia sedang mencoba meremehkanku? Cuih.

Gadis itu menghela nafas kasar. "Gue dipilih untuk ikutan olimpiade kimia sama geografi. Untuk kimia, gue udah nemu pengganti. Untuk geografi, itu harus lo." Maria menunjukku dengan yakinnya.

Aku mendecak. Apa ia sedang berusaha sombong? Memamerkan padaku seberapa pintarnya ia hingga dipilih untuk ikut olimpiade dua cabang mewakili sekolah? Dikira sehebat apa dirinya?

"Woi!" Aku berkedip ketika Maria menjentikkan jarinya di hadapanku. "Malah bengong."

"Gue enggak mau."

"Lo. Harus. Mau. Atau-" Mataku melebar saat Maria mengepalkan tangannya. Atau ia akan menonjokku? Itu maksudnya?

Aku mendesah kasar. "Gue bukan dari jurusan IPS."

"Gue juga."

"Tapi lo bisa."

"Enggak menutup kemungkinan kalau lo juga bisa. Asal lo mau belajar."

"Gue belum pernah belajar geografi," kelitku, berusaha membuatnya ragu.

"Gue enggak nerima alasan lagi. Ntar kalau lo nggak ngerti, samperin gue." Aku berdecak sebal. Demi apa ini cewek? Terlalu memaksa.

"Kenapa harus gue? Banyak siswa lain yang lebih mampu. Atau lo bisa minta ke anak IPS."

"Wahai Aadidev Valdezi, bukannya tadi gue udah bilang? Gue yakin lo bisa menang. Buat nangkap materi juga lumayan cepat, makanya gue milih lo. Mana pernah lo mau ngalah. Soal geografi gampang buat lo!"

Seenaknya saja dia bicara. Dikiranya semudah itu?

"Kalau gitu, kenapa enggak lo aja yang maju? Kenapa mundur?"

Gadis itu menatap jerih. Aura wajahnya berubah. Kelam.

"Ayolah, gue percaya sama lo. Lagian waktunya enggak mepet. Lombanya dua bulan lagi, cukup buat belajar. Gimana?" Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah membalikkan topik pembicaraan.

Sebenaenya, aku sangat sensitif dengan kata percaya, tapi aku juga tidak terima diperlakukan seperti ini. Menyusahkan saja. Mendadak pula.

"Diam berarti setuju!"

Hah?

Alien itu melangkah menuju kap mobilku, mengambil beberapa rangkap kertas, serta beberapa buku tebal yang terlihat seperti kumpulan soal latihan ujian nasional, berjalan tergesa lantas menyerahkannya padaku. Agak kesulitan menyeimbangkan kertas dan dua buku tebal miliknya, alien itu mencoba membantu.

"Oke, gue balik. Thanks, Dev. Semangat belajarnya. Semoga menang." Tanpa dikomando, gadis itu berlari cepat menuju di mana motornya nangkring.

Aku menatap pasrah lembar-lembar soal. Seketika aku teringat sesuatu.

"Maria!" Aku berteriak memanggilnya, sebelum ia menjalankan kendaraannya.

"Apa?" balasnya juga dengan teriakan.

"Gue ikut biologi!"

"Oh, kalau gitu, semoga menang dua-duanya!"

Damn!

🌠

Aku membolak-balik lembar kertas geografi tanpa minat. Aku tidak sedang belajar, tapi sedang berpikir cara untuk mempelajarinya. Terang saja, aku tidak mengerti istilah-istilah yang tertera di situ.

Aglomerasi, antisiknal, antroposfer, barisfir, batholit, cockpitt, efflata, efosit? Apa itu? Melihat banyaknya nama yang asing saja sudah membuatku pusing. Belum lagi aku juga sedang berupaya mengingat nama-nama ilmiah flora dan fauna dalam materi biologi.

Gadis alien itu bercanda? Menyusahkan saja. Fokusku jadi terbagi. Bukankah percuma?

Pintu kamar diketuk. Mama. Siapa lagi?

"Masuk, Ma."

"Masih belajar aja, Dev? Udah setengah dua belas, loh."

"Ya, begitulah."

"Tumben keliatan enggak semangat," ujar Mama.

"Pusing sama soalnya."

"Masa, sih, Dev?"

Aku mengangguk lalu mengarahkan bola mataku ke tumpukan kertas. Seakan mengerti, Mama kemudian meneliti kertas-kertas yang bertebaran menutupi ubin.

"Eh? Ini geografi?"

Aku mengangguk malas.

"Wah, seru nih! Sejak kapan kamu jadi minat geografi? Sini Mama ajarin." Aku melongo melihat mata Mama berbinar.

Sedetik kemudian aku menepuk dahi. Aku baru ingat kalau mama adalah Sarjana Sains yang pernah mengambil jurusan geografi saat menempuh pendidikan S1-nya, lalu sekarang?

Ya Tuhan. Apa harus aku terjebak dalam lingkup geografi?

Tak salah lagi. Ini gara-gara dia. Dia yang sesukanya saja memaksaku untuk menggantikan. Dasar cewek aneh.

"Udahan, Dev. Udah malam banget." Mama menutup mulutnya. Menguap. Aku kemudian melirik jam dinding. Pukul 01.25 dini hari.

"Dev masih penasaran sama soal-soal ini. Maria juga percayain Dev buat gantiin posisinya. Bisa-bisa diledek kalau kalah," cerocosku, sambil membaca materi dari buku tebal yang disodorkan.

"Bawa main ke rumah, dong. Kenalin, gitu, ke Mama." Mama mengerling.

"No, Ma, no. Dia itu alien. Sombong benar. First sight mama pasti langsung nggak suka." Aku mengibaskan tangan.

Mama malah tergelak. "Benci sewajarnya aja, kali, Dev. Jangan lebay. Terlalu benci bisa jadi terlalu cinta ntar," cetus Mama, aku bergidik.

"Enggak. Enggak mungkin," sanggahku cepat.

"Benci itu harus ada alasannya, Dev. Ntar kena karma, loh."

"Dia itu alien. Cewek aneh. Entah dari Pluto, Mars, atau Neptunus. Jago berkelahi. Enggak ada manis-manisnya, dan dia itu muslim, Ma."

🌠


Maria Sara Hanifa

Aku merebahkan diri. Menatap langit-langit kamar dengan beberapa warna m yang menghiasi. Mendecak kesal. Kenapa makhluk aneh itu sulit sekali dibujuk? Tinggal bilang, iya, gue mau gantiin lo di cabang geografi saja susah. Tidak mampu katanya? Bahkan menurutku, ia jauh lebih sanggup. Aku sudah menurunkan ego untuk membujuknya. Ramah dengan lawan jenis bukanlah diriku.

Dev. Padahal kemungkinannya untuk menang sangat tinggi. Ia adalah pembelajar yang cepat. Jenius. Aku harus mengakuinya walaupun ia belum pernah melampauiku dalam hal akademik. Garis bawahi, belum pernah. Anak itu juga super pendiam. Pintar. Atau harus kukatakan bahwa ia lebih ambisius? Aku tidak pernah memintanya untuk mengakuiku, tapi ia tampaknya benar-benar tak suka kekalahan.

Jika bertanya padaku apakah aku merasa tersaingi dengan keberadaannya? Jawabannya adalah tidak. Tentu saja, ia berbanding terbalik denganku. Ia menyukai kompetisi, rajin ikut bimbingan belajar. Aku? Tidak.

Cowok idaman? Buatku sih, bukan. Namun, bagi sebagian orang ia memenuhi syarat. Atletis? Tidak terlalu, tapi, ia bukan cowok jenius dengan badan ringkih. Kacamata tipis yang terkadang dipakainya ketika belajar cukup membuktikan bahwa ia terlalu rajin untuk menang. Cenderung pendiam, tampak tak terlalu suka bergaul, dan parahnya lagi, aku pernah mendengar desas-desus bahwa Dev benci dan takut padaku.

Tok-tok-tok!

"Masuk."

Fairuz memasuki kamar, memutuskan untuk duduk di sofa malas di sebelah meja belajar. Aku beranjak duduk.

"Lo dipilih ikutan olimpiade, 'kan?"

Tebakan Fairuz benar. Aku mengangguk.

"Cabang?"

"Kimia"

"Itu doang?"

"Sama geografi."

"Ikut, kan?"

Aku menggeleng lagi. "Gue tolak. Dua-duanya."

Remaja tanggung di hadapanku mencebik. Aku sudah dapat menduga alasannya.

"Kenapa lo nolak?"

"Kenapa lo yang sibuk?" Aku bertanya sarkas.

"Karena alasan itu, Kak?" Bola mata kelam Fairuz menatap tajam. Aku memalingkan wajah. Tak ingin menatap mata elangnya.

Aku berusaha mengatur napas senormal mungkin. Hanya Fairuz yang mengetahui alasan di balik semua ini. Di balik sosokku yang mulai mendingin. Di balik sosokku yang membenci geografi dan olimpiade. Bahkan Aya yang notabene adalah sahabat dari SD pun tidak kuberitahu segala alasan itu.

"Rupanya lo masih terjebak di hal yang sama. Gue kira lo bisa sedikit dewasa menghadapinya. Rupanya gue enggak sepenuhnya benar."

Aku menelan saliva. Apa-apaan perkataan sarkas itu? Ia memojokkanku? Apa ia mengira bahwa mudah saja menghilangkan segala efek masa lalu? Semudah itu ia katakan untuk dewasa dalam menghadapi trauma? Aku tersenyum miring. Jelas saja, ia tidak merasakan apa yang kurasa. Maka dari itu ia berbicara seenaknya.

"Lo tau? Enggak semua hal yang lo liat itu benar. Kadang, kesimpulan sepihak membuat lo egois selalu menyalahkan pihak lain."

Keningku mengernyit. Kali ini ia sedang membahas apa? Oh ya, yang pasti aksi pemojokan mentalku masih berlangsung khidmat.

Fairuz bangkit. Tersenyum sinis. "Lo hebat, tapi sayangnya lo kalah sama bayang-bayang masa lalu lo."

Mataku melebar. Fairuz melenggang keluar.

"Dasar adek julid!" umpatku penuh rasa kesal.

Aku berdiri menatap cermin. Menghela napas berkali-kali.

Memang benar aku menolak untuk menyimpulkan sedikit saja sisi baik dari peristiwa lalu yang terjadi. Memang benar jika aku memang sedang egois dalam mempertahankan prinsipku. Akan tetapi, semua punya cerita. Segala hal punya sebab-akibat, dan apakah mereka akan melakukan hal sama jika memiliki trauma yang sama? Kurasa tidak.

Rasa benci, akan tetap menjadi benci.

Sial! Kenapa air mata ini turun lagi?

🌠🌠🌠

Haloh, pada paham dengan istilah geografi di atas, nggak? Yuk, cek!

👇👇👇

Aglomerasi : Kecenderunganpersebaran gejala geosfer yang mengelompokkan penduduk dan aktivitasnya di suatu daerah/tempat.
Antisiknal : Bagian litosfera yang terlipat ke atas.
Antroposfer : Komponen insaniah.
Barisfir : Lapisan inti bumi berupa bahan padat besi nikel terhadap bumi.
Batholit : Batuan beku yang terbentuk didalam dapur magma.
Cockpitt : Plato yang tererosi dan berbentuk bukit/kubah.
Efflata : Material-material padat hasil gunung meletus.
Efosit : Batuan beku luar, membeku di permukaan bumi.

Yoru hanya manusia biasa yang tak luput dari typo. So kalau nemu typonya, ingatin lewat komen, ya!
Krisarnya juga Yoru tunggu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro