Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Di Balik Topengnya

Maria Sara Hanifa

Aku merebahkan diri, berpikir selintas. Entah mengapa rasanya bebanku sedikit terangkat. Entah karena alasan apa aku dapat tertawa begitu lepas pada hal yang sebenarnya tidak kuanggap lucu. Menertawakan sebuah keseriusan. Tawa yang benar-benar murni, tanpa penghalang, tanpa sebab yang jelas. Lepas, hilang. Terbang bersama tarikan suara.

Entah mengapa, aku tak bisa untuk sekadar mempertahankan topeng di hadapannya. Dia seakan tahu segalanya. Ia membuatku bicara tanpa menuntut dan membuatku tertawa tanpa lelucon. Ia berhasil membuatku menitikkan air mata tanpa memancing nyala emosiku. Ia yang membuatku melepas beban sementara hanya dengan berteriak di atas atap sekolah.

Hal itu berjalan alami, tanpa ada paksaan juga tanpa maksud apa pun, seakan Tuhan memberinya anugerah untuk tak sengaja menghipnotis. Atau lebih tepatnya, intuisi dan prasangka benar tanpa celah, tapi kali ini pula, aku terus merutuk diriku.

Aku yang lalai dengan prinsip. Berjanji untuk tidak pernah sekalipun tampak lemah di hadapan orang lain.

Aku yang tanpa sadar sedikit membuka jati diri, padahal sebelumnya telah berikrar untuk kuat hadapi emosi jiwa.

Aku yang menangis.

Aku mendongakkan kepala, menahan laju bening yang hendak menyeruak dari mata. Kenapa saat ini aku malah berandai kalau ayah ada di sini? Berandai kalau aku bisa benar-benar menjadi diriku, tanpa berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa. Ah, sudahlah. Dengan menangis dan berkhayal, nyatanya aku tidak punya kuasa merubah apa pun. Berkali pun aku ingin kecewa, nyatanya segala hal tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kuseka air mata yang turun lalu duduk, menegakkan tulang punggung.

"Padahal Sara itu cepat nangis, cuma dia suka gengsi. Sama ibunya aja dia nggak mau nunjukin. Nah, sama Ayah malah ditunjukin."

"Soalnya Sara pengen jadi kuat kayak laki-laki. Kayak Ayah."

"Dengarin Ayah, ya, Nak. Mungkin menurut sebagian orang, menangis itu tanda kelemahan. Menangis tidak bisa merubah apa pun atau mengembalikan apa yang telah hilang, tapi menurut Ayah, menangis adalah kekuatan. Kekuatan karena telah mampu menahan sakit. Kekuatan karena mampu meredam emosi. Kekuatan untuk esok bangkit."

Aku kembali mengingat perkataan Ayah entah berapa tahun silam. Nyatanya, sekeras apa pun aku berusaha melupakan, sosok Ayah akan tetap hadir merasuki batin, menggoyahkan pertahanan. Oh Tuhan, mengapa Kau kaitkan batinku dengannya?

"Kak!" Aku berjengit. Bergegas menghapus jejak bulir mataku lantas menoleh ke arah pintu. Fairuz nongol di sana.

"Ketuk dulu, baru masuk! Itu pun kalau gue izinin!" bentakku.

"Ya ampun! Gue udah ngetuk dari lima menit yang lalu. Salah siapa kalau lo enggak dengar? Khawatir gue. Takutnya lo gantung diri," seloroh Fairuz.

Alisku bertaut. Yang benar saja? Lima menit yang lalu? Apa yang membuatku tidak mendengarnya?

"Lo cari gue? Kenapa?" Aku memutuskan untuk tidak mendebatnya.

"Ibu suruh lo turun. Makan malam," jawabnya.

"Gue lagi enggak selera—"

"Cih. Andai aja lo bisa buktiin ke ibu kalau lo nggak lemah hanya karena lo rindu ayah. Tapi nyatanya lo selalu pura-pura. Lo cemen." Ungkapan Fairuz seakan menyentak ragaku, juga memancing ego.

"Lo ngajak gue berantem, ya?!" Aku menyalak, mengancam Fairuz.

"Entar aja berantemnya. Gue masih pegang sabuk cokelat. Ntar kalau udah hitam, gue mau diajak berantem. Lo juga cemen kalau nyerang yang enggak sebanding."

Dari perkataannya, aku tahu bahwa Fairuz sedang serius. Tak ingin mendebat. Aku mendengkus.

"Lo turun duluan. Gue nyusul," ucapku.

"Gue harap lo nggak cemen di depan ibu," kata Fairuz lalu melenggang dari kamarku.

Ah, ya. Fairuz juga demikian. Begitu peka dan perasa. Ia juga seperti mendapat anugerah prasangka yang jarang meleset—tambahkan ia yang lebih banyak mengetahui tentangku, masalah, kekalutan, juga alasanku. Karena itu, aku tidak dapat berdusta di hadapannya. Bedanya, Fairuz tak punya kuasa untuk merubah suasana hatiku. Berbeda dengan Dev yang justru berbanding terbalik dengan Fairuz.

Apa aku baru saja menyebut namanya?

🌠

Aadidev Valdezi

Sekarang aku seperti orang yang menganggur, tidak punya kerjaan. Alien itu membuatku harus menunggu lama di atap gedung sekolah, memaksaku untuk belajar ilmu beladiri. Apa katanya? Jangan terlambat, huh? Tidak suka orang yang ngaret? Ia malah membuatku menunggu dua puluh menit lamanya. Ke mana ia?

Belum habis aku berceracau, ia datang dengan pakaian santai. Kaus marun panjang yang senada dengan hijabnya, juga celana kain putih. Tampak sangat menyala.

"Bagun! Kita pemanasan," titahnya.

"Dengar. Gue datang mau bilang kalau gue berubah pikiran---waalupun gue enggak pernah setuju sama rencana lo yang ini. Gue enggak mau latihan ginian bareng lo." Aku mengatakannya! Dalam hati aku merapal doa pada Tuhan agar menjagaku dari serangan alien ini.

Gadis itu mengangguk kecil. "Oh ... lo mau belajar biologi dan geografi, ya?"

"Eh? Iya, sih."

"Udah ngerti semua?"

"Geografi? Beberapa," jawabku ragu.

"Biologi dan geografi enggak bakalan nolongin kalau lo digebukin orang," selorohnya. Apa yang dikatakannya sama sekali tidak dapat kusangkal.

Aku bersungut, mengikutinya berlari mengitari atap gedung sekolah yang luas—dan hei! Dia kemudian berlari menuruni tangga, meneriakiku untuk turut menguntitnya. Keningku berkedut. Apa-apaan pemanasan sampai harus menuruni tangga segala?

"Enggak ada yang boleh manja kalau mau gue jadi pelatihnya."

Aku melengos. Siapa juga yang mau jadi muridnya? Aku memilih bungkam, takut akan dibunuh secara diam-diam. Selanjutnya kuputuskan untuk mengikutinya naik turun tangga dua kali bolak-balik, membuat napas terasa pendek-pendek, tapi ia masih terlihat tidak kelelahan, hanya sedikit ngos-ngosan.

Ia kembali menyuruhku melakukan gerakan pemanasan. Aku anteng saja mengikutinya. Staminaku masih tersisa banyak. Begini-begini, aku sering jogging pagi dan sore. Mataku melebar ketika ia memerintahku melakukan gerakan split. Kuakui gerakan itu sulit. Ya, setidaknya saat jogging tidak ada gerakan yang begituan.

"Badan lo kaku! Lemasin dan lenturin dikit! Gue rasa efek kelamaan di depan meja belajar, lo jadi susah gerakin badan."

Shit!

Tidak bisakah ia berhenti mengejekku sekali saja? Apakah dalam otaknya hanya berisi kalimat makian untuk seorang Aadidev Valdezi? Tidakkah ia merasa bosan? Kalau saja aku lebih kuat darinya, sudah kuremukkan saja tulangnya. Masalahnya adalah, dia lebih kuat dariku. Tentu saja.

🌠

Break. Cewek itu melemparkan sebotol air mineral yang langsung sigap kuraih. Ia lahap sekali menenggak airnya yang sesaat kemudian langsung tandas. Kemudian ia meremas botolnya, menyasar tong sampah lantas melemparnya tanpa ragu. Goal.

"Gue mau tanya," seruku.

"Tanya aja. Lo punya hak," balasnya tanpa mengalihkan tatapan dari pandangannya yang menatap lurus.

"Kenapa lo terlalu berambisi ikut bela diri?"

"Klise. Gue enggak mau jadi cewek lemah. Lagian gue enggak mau repot-repot nyewa bodyguard buat ngawal gue. Gue enggak mau dilecehkan," katanya ringan.

"Gue dengar lo bakalan ikut turnamen?" Aku tidak tahu apakah pertanyaanku ini salah, tapi cewek itu menatapku tajam sebagai balasannya. Aku sampai bergidik dibuatnya. "Kalau enggak mau jawab juga enggak masalah." Aku membuang pandangan dari wajahnya, takut mentalku jatuh karena tatapan mengintimidasinya.

Maria mengembuskan napas panjang. "Menurut lo kenapa gue latihan keras gini?" Alien itu balik bertanya. Suaranya melunak.

Aku menelan ludah, sama sekali tidak berani menjawab. Takut salah bicara lantas mengorbankan salah satu tulangku untuk patah.

"Jawab aja. Gue enggak makan lo," selorohnya.

"Kenapa enggak lo aja yang jawab?" Alisku menyatu.

"Percuma gue jawab."

"Maksud lo?" Aku dibuat bingung oleh kata-katanya.

"Lo itu lebih cocok jadi intel—mata-mata—dibandingkan jadi anak olimpiade. Firasat lo kuat. Bikin orang sulit bohong kalau lagi berhadapan sama lo. Ya, meskipun ini cuma spekulasi gue doang," lanjutnya.

Aku mematung. Apa yang sedang dibicarakannya? Aku sama sekali tidak mengerti, tapi mungkin saja aku harus lebih berani kali ini.

"Menurut gue lo punya dua kemungkinan. Terlalu terobsesi untuk jadi cewek kuat, atau ...." Aku menggantungkan kalimat, tidak berani melanjutkan. Sebelah alis Maria terangkat.

"Gue enggak makan lo," ulangnya dengan wajah sedatar tembok kamarku.

"Atau lo lagi berusaha lari dari masalah," sambungku susah payah.

"Apa alasan yang bisa bikin lo ngomong gitu?"

"Enggak tau. Itu cuma feeling gue aja."

Aku tidak harus memikirkannya yang aneh dan berubah-ubah. Yah, setidaknya aku sudah pernah melihatnya tidak dalam mode alien. Tidak seburuk dugaanku. Di balik topengnya, dia tetaplah wanita.

Aku tidak tahu apa masalahnya, tapi kuharap dia bisa menyelesaikannya dengan baik. Sebaik dirinya yang berjalan selalu dengan topengnya.

🌠

Maria Sara Hanifa

Aku membuang napas perlahan. Benar apa kataku, bukan? Hanya dengan feeling yang diandalkannya, ia bisa langsung menebakku. Kali ini mungkin tidak ada salahnya jika aku sedikit membuka hati untuk menjelaskan siapa sosokku. Sosok di balik topengku. Mungkin kali ini rasanya aku sudah tidak tahan untuk menyembunyikan luka ini seorang diri. Takada tempat berbagi. Aya tidak boleh tau. Gadis itu merupakan orang yang empatik dan panikan. Juga aku yakin bahwa ia akan memihak ayah. Aku percaya pada Dev—terlepas ia dapat menjaga rahasiaku saat aku kembali mengenakan topeng.

"Gue udah lama pakai topeng, Dev." Aku mengawali pernyataan. Lawan bicaraku itu kini menatap lurus langit yang sudah agak berwarna oranye.

"Gue sadar, kok," cetusnya santai.

"Dari kapan?"

"Semenjak sekelas sama lo pas kelas 2 SMA. Gue perhatiin, gue lihat, gue amati. Lo memang keras. Tapi gue lihat lo kayak ngerasa bersalah abis ninju anak orang. Ekspresi lo. Entahlah gue yang sok tau atau cuma feel doang." Dev mulai memaparkan opininya. Aku mendengkus. Benar saja. Ia pemerhati dalam diam.

"Dan gue juga tau kalau lo sebenarnya anak IPS. Lo menghindar. Dari pelajaran-pelajarannya, olimpiadenya, dan dari segala kemungkinannya. Lo ninggalin potensi lo terlepas dari suka ataupun enggak." Aku tercengang mendengar hipotesisnya. Tak meleset sedikit pun. Aku menatapnya tajam.

"Lo mata-matain gue ya?!" tudingku cepat, memandangnya skeptis. Dev mendecih.

"Gue terlalu sibuk kalau cuma buat mata-matain lo," katanya santai. Aku memandangnya tajam. "Eh, itu cuma hipotesis sementara dari gue. Lo juga boleh ngebantah. Kalau salah jangan apa-apain gue," sambungnya. Matanya cepat dialihkan dari mataku.

Melihat ekspresinya, aku terbahak. Tergelak lepas. Apa dia segitu takutnya padaku?

"Gue seseram itu, ya, Dev?" tanyaku di sela tawa.

"Lebih dari itu. Masalahnya, lo itu cewek. Kalau cowok kayak lo itu udah biasa." Ia menatapku aneh, menjawab seadanya. Aku tetap terbahak, membiarkannya menatapku bingung.

Sudahlah. Tak harus pada semua orang harus kupertahankan topengku, bukan?

🌠🌠🌠

Yooo Yoru up lagi.
Typo berkembang biak dan sangat subur. Kalau nemu, tolong bantuin komen, ya. Biar Yoru musnahkan.

Thx for reading😇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro