Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Alasan

Maria Sara Hanifa

Aku mengucek mata ketika mendengar alarm berbunyi. Beriringan dengan gerakan mematikan alarm, azan subuh berkumandang. Tepat sekali. Selanjutnya, aku berwudhu kemudian melaksanakan salat.

Tak memerlukan waktu lama, aku turun ke dapur. Aku menyipitkan mata, kemudian menguceknya. Apa penglihatanku kali ini benar? Bukankah Ibu baru akan pulang dua hari lagi?

"Kapan sampai, Bu?"

"Semalam. Jam sebelas. Kamu udah tidur."

"Yah? Kok enggak dibangunin?"

"Enggak tega. Pulas banget kayaknya," jawab Ibu. Aku terkekeh. Semalam, kepalaku agak sedikit berkunang-kunang. Mungkin karena terlalu banyak menangis.

"Lagi bikin pancake, Bu?"

"Iya. Mau bantu?" Aku mengangguk antusias. Mengambil alih pan dan adonan. "Ayah titip salam buat Sara." Gerakan tanganku terhenti.

Aku harus kuat. Setidaknya di hadapan Ibu.

"Ibu enggak bilang mau nyamperin ayah."

"Memang enggak niat. Ayahmu yang tiba-tiba nyamperin Ibu. Khusus buat kirim salam untuk Sara. Kangen kamu, katanya."

Ya Allah, tahan air mata ini. Jangan jatuhkan di sini. Jangan.

🌠

"Lo nolak buat ikutan olimpiade lagi?" tanya Aya skeptis.

Aku mengangguk yakin.

"Ck! Gue heran deh, Ra, sama lo!" Aya menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Banyak, kok, yang heran sama gue," balasku tak acuh, kemudian lanjut membaca novel konspirasi tatanan dunia baru.

"Gini, loh, Ra. Kenapa, sih, lo enggak kembangin aja bakat lo? Maksud gue, kasihan tuh kepala, otak lo encer tapi enggak mau dibawa lomba. Kenapa bakat lo enggak dikembangin, coba?"

"Gue kembangin, kok. Karate gue udah sabuk hitam. Dua bulan lagi turnamen."

"Ck! Bukan itu maksud gue, Ra. Gimana, sih, jelasinnya?"

Aku menutup novel, mengalihkan pandangan pada gadis berhijab dengan wajah menggemaskan tersebut.

"Ah, udahlah. Kenapa lo nolak?"

"Gue malas," jawabku seadanya. Aya menggebrak meja, tidak kuat, sih.

"Malas apa? Malas menang?"

"Ya, enggaklah. Siapa, sih, yang malas menang? Enggak waras, namanya. Nih, denger. Gue malas ikutan bimbel, latihan soal-soal, diskusi materi. Buang-buang waktu. Ntar kelamaan belajar, gue malah jadi bosan. That's it!"

"Ah, terserah lo, deh. Siapa yang gantiin posisi lo?"

"Dev," sahutku. Aya manggut-manggut.

"Kata lo, enggak suka ikutan lomba, kompetisi, olimpiade, de-el-el. Buang-buang waktu, 'kan?"

Aku mengangguk. Berusaha berjalan lebih cepat, menggerutu dalam hati. Apa ia tidak bisa bertanya hal lain saja? Kenapa harus berputar di sekitar topik ini?

"Nah karate? Kok lo mau ikutan turnamen? Padahal latihannya lebih nguras tenaga. Belum lagi kalau ntar lo bonyok sana-sini. Lo cewek. Latihan karate bakal lebih capek dari pada latihan soal, 'kan?"

"Memangnya kenapa? Gue cuma melakukan apa yang gue suka dan gue inginkan. Apa masalahnya?" Aku menatap Aya datar, mulai jengah.

"Gue buat lo marah, ya?" tanya Aya pelan. "Maaf, Ra. Gue cuma lagi berusaha buat pahami lo. Dari SMP lo gila olimpiade banget dan tiba-tiba berubah drastis kayak gini. Gue bingung," lanjutnya.

Aku memaksakan tawa. Menyeringai. Rasanya tak adil jika tanpa alasan malah kesal padanya. Salahku juga tidak berbagi permasalahanku. Bukan salahnya jika ia justru penasaran.

"Seiring waktu semua orang bisa aja berubah, 'kan?"

Aya melengos. Aku tau jawabanku tak serta merta membuatnya puas. Ya terang saja, untuk apa menjelaskan alasan itu? Sama sekali tidak perlu diceritakan.

"Terserah lo, deh. Lo juga, sih! Aneh gue lihatnya."

"Aneh kenapa?"

"Lo itu cewek tulen atau bukan sih, Ra?"

"Perlu gue buktiin nih?"

"Ya enggak, sih." Aya menjawab cepat. "Heran aja gue. Karate yang susah begitu lo prioritasin. Geografi lo korbanin. Kenapa bisa begitu, sih?"

Aku menghela napas. Lagi-lagi Aya menyinggung soal itu. "Memangnya kenapa? Gue hanya ingin melakukan apa yang gue suka, tanpa harus ngerasain beban apa pun. Tadi, 'kan, udah gue bilang, Ya!"

Aya memberengut. Aku terkekeh.

Bel masuk berbunyi. Aku lekas mengeluarkan buku matematika perminatan.

"Loh? Kok matematika perminatan?"

"Lah, jadi?"

"Kan di roster, seharusnya sekarang fisika, Ra?"

Aku memutar bola mata. Selalu saja. Kebiasaan. "Itu roster buat besok, Aya."

"Hah? Masa?"

Aku mengangguk malas. Aya hanya nyegir kuda.

"Bukunya bagi dua, ya, Ra."

🌠

Aadidev Valdezi

Karena belum pernah sama sekali mempelajari, geografi sedikit banyak menyita kesabaranku. Buku yang diberikan Maria sebagai pedoman belum cukup untuk membantu beberapa soal. Jadi, sekarang aku memutuskan mencari referensi. Hei, aku tidak suka kekalahan biarlah aku sedikit berlebihan.

Hari ini, bimbingan belajar libur. Aku berjalan cepat menuju perpustakaan. Aku tahu, perpustakaan masih cukup lama terbuka. Wanita paruh baya galak berkacamata kotak yang selalu melorot hampir ke pucuk hidung itu terlalu rajin untuk menutup perpustakaan hingga pukul 17.30 WIB.

Aku membuka pintu, menimbulkan derit pelan lalu tanpa ragu berjalan cepat. Menyusuri rak referensi pelajaran sejarah, ekonomi, astronomi, dan geografi. Buku yang kucari tak kunjung kutemukan, walau berkali kupandang lebih teliti.

Daripada sia-sia sudah datang, aku asal mengambil saja buku sejarah. Ada tugas yang masih harus dikumpulkan tiga minggu lagi. Lebih cepat mengerjakan, bukannya lebih baik? Mataku menyapu segala penjuru, mencari tempat duduk yang strategis. Seketika atensiku menangkap cover buku yang kucari sedang dibaca oleh seorang wanita. Kuhampiri atau tidak? Ia tak kelihatan sedang benar-benar membacanya. Terlalu cepat membalik halamannya menjadi bukti atas hipotesisku.

"Hei, lo lagi pakai bukunya?" Aku memberanikan diri bertanya. Gadis itu menoleh padaku, membuat beku di tempat.

Alien itu. Maria. Matanya menatap penuh selidik, tapi ada satu sisi bagian dari netranya yang kurang bisa kusimpulkan. Luka.

"Eh, gu-gue cuma nanya. Kalau lo lagi baca, lanjutin aja." Aku kembali mempersilakan, tapi ia malah menyerahkan buku tebal itu padaku.

"Nih!" Ulurnya. Ragu tetapi kusambut.

"Lo?"

"Gue cuma lihat-lihat doang. Udah pernah belajar. Buku ini tingkat dasar," ujarnya. Aku mencelos, terdengar sedikit sombong.

"Ambil aja, gue enggak jadi," tolakku. Masih gengsi menerima darinya.

"Materi yang ada di buku pemberian gue masih kurang?" Alih-alih mengambil buku yang kusodorkan, ia malah bertanya.

"Eh, iya. Eh, tapi, enggak juga, sih. Gue cuma pengen tau lebih," akuku ragu.

"Atau, soal yang gue kasih, lo enggak nemu jawabannya?" Pertanyaan yang diajukannya tepat sasaran.

Aku mengusap tengkuk.

"Duduk, Dev," perintah alien itu, mempersilakanku duduk di sebelahnya.

Aku meliriknya ragu, lantas kemudian menggeleng. Enggan.

"Ck! Gue bukan monster. Gue enggak makan lo!" desis Maria.

Daripada berlama-lama, akhirnya kuputuskan untuk menuruti titahnya.

"Lo bawa soalnya?"

Aku menggeleng, "Ketinggalan di kelas. Perlu gue ambil?"

"Enggak. Entar aja," cetusnya.

Aku mengernyit. Jika tidak melihat soal, bagaimana ia dapat mengetahui tiga nomor dari seratus soal di setiap rangkap dari keseluruhan enam rangkap?

"Gimana lo bisa—"

"Nomor 61, 63, 76 di rangkap ketiga. Soal model yang sama dengan nomor 55, 56, 57 rangkap keempat. Nomor 81, 84, 88 rangkap kelima. Ada penyebutan nomor yang salah?" Aku sempurna melongo. Aku masih belajar hingga rangkap keempat dan alien ini menyebutkannya dengan benar. Sedangkan rangkap kelima, aku memang belum mempelajarinya.

Beberapa detik setelah cengo, aku mengangguk. Membenarkan perkataannya. Bagaimana ia bisa mengetahuinya? Gadis itu tersenyum tipis.

"Tunggu di sini," titahnya. Alien itu beranjak, mulai menjelajah rak yang sedari tadi kulalui. Cepat, ia mengambil tiga jenis buku. Aku masih mematung. Kira-kira dua menit berselang, ia kembali. Meletakkan tiga buku yang tidak tebal—di luar dugaan—di hadapanku.

Kemudian ia meraih binder miliknya, merobek satu lembar dan mulai menulis. Berpikir sebentar, lalu menulis lagi. Tak berselang lama, ia menyodorkan lembaran hasil tulisannya.

Aku menatapanya dengan dahi berkedut, kemudian menghela napas. Bagaimana tidak? Bahkan ia belum membuka buku, sudah menyertakan halamannya saja.

"Buka aja dulu bukunya kalau lo ragu," saran alien itu.

Aku manut. Membuka halaman yang tertera di kertas yang disodorkannya. Beberapa saat kemudian menelan ludah. Terdiam. Hampir semuanya benar. Sisanya tidak lagi kuteliti.

"Maria," panggilku lirih.

"Apa?"

"Gue tau lo pintar, lo berbakat, tapi—"

"Kalau lo ngerasa gue ngerendahin lo, lo salah, Dev. Gue nggak cukup tinggi buat ngerendahin lo." Ia memotong bicaraku.

"Bukan, bukan itu yang mau gue bilang. Gue heran aja. Bukan gue yang seharusnya ikut, tapi lo. Lo mampu. Em ... kenapa malah nolak?"

Alien itu tertunduk. Menekuk wajahnya.

"Gue punya batasan dalam hidup gue, Dev. Ada hal-hal yang enggak bisa gue jalani meski gue mampu sekalipun." Ada getaran dalam suaranya.

"Lo kenapa? Ada apa?"

"Berhentilah bertanya 'ada apa', Dev! Enggak seluruh urusan orang mesti lo tau! Enggak sedikit pun, Dev!" Aku terhenyak. Alien itu menitikkan air mata. Menangis dan kalau tidak salah, tadi ia juga membentakku. Hal itu membuatku heran—karena ia tiba-tiba menangis—dan aku belum pernah melihatnya seperti itu. Lagipula, apa haknya membentakku tiba-tiba?

"Lo itu cewek atau bukan, sih? Tadi manis, sekarang garang! Tadi senyum, sekarang nangis. Lo normal atau enggak, sih?" Entah mendapat keberanian dari mana, aku membalas bentakannya.

Alien itu melotot. Mendongak menatap mataku, "Loh, kok nyolot?! Oh oke, gue ladenin, ayo—aduh!"

Aw!

"Kalian berdua tau kalau ini perpustakaan, 'kan? Nih, biar kapok. Jangan ulangi lagi!" Bu Rara, penjaga perpustakaan menjewerku—suatu kehinaan bagiku—dan alien itu. Baik aku dan gadis aneh ini sama-sama meringis. Perih. Seakan merasa puas, Bu Rara meninggalkan kami dengan kletak-klutuk bunyi hak sepatunya.

"Lo, sih! Kena jewer, 'kan, gue!" sungut alien itu, mengusap telinganya yang tertutup hijab.

"Kok gue?" protesku, tak terima dengan tudingannya.

"Diam!"

Aku dan alien itu bungkam demi mendengar bentakan dari Bu Rara dan menjadi pusat perhatian seisi ruangan.

"Udah, ah, gue duluan. Yang gue bilang itu, dipelajari."

Aku mengangguk.

"Dan satu lagi." Ia mengacungkan telunjuknya ke hadapanku. "Anggap aja gue nggak pernah nangis di hadapan lo. Kalau lo beberin—"

"Iya, iya. Ngerti gue." Aku buru-buru memotong omongan—ancaman, lebih tepatnya.

"Lo tau balasannya kalau berurusan sama gue," sambungnya lagi. Aku bergidik. Ia berlalu dengan langkah ringan, meninggalkanku dengan bulu tengkuk yang meremang.

🌠

Aku memandangi buku tanpa minat. Tak lagi berselera walau sekadar untuk membalik halamannya. Wajah alien dengan air matanya mengganggu pikiranku. Aku merebahkan tubuh, menerawang langit-langit. Apa pertanyaanku membuatnya menangis?Aneh. Alien.

Entah mengapa, aku sedikit mulai penasaran dengan alasan yang tidak berminat untuk menonjolkan bakatnya. Alasannya menangis dan marah tiba-tiba. Alasannya yang lain.

Aku mengerjapkan mata. Menepuk pelan pipiku. Ah, Dev! Biarkan saja. Biarkan alien iu bertingkah sesukanya. Bukan urusanmu.

🌠

Maria Sara Hanifa

Ah, bodoh!

Aku menggerutu pelan, mempercepat laju motor. Bodoh, bodoh, bodoh! Kenapa harus menangis di hadapannya? Memarahinya pula! Semoga besok harga diriku masih utuh walau harus bertemu dengannya lagi di kelas.

Aku mendecak sebal. Nyatanya, aku seperti merasa dikasihani olehnya. Apa-apaan tatapan simpati itu? Padahal aku termasuk dalam kategori orang yang beranggapan bahwa dengan menangis, masalah tak akan berkurang, walau sedikit saja. Aku malah menelan kalimat sendiri di hadapan Dev yang hanya ingin belajar geografi.

Pada hakikatnya aku hanya tidak suka orang bertanya. Kenapa? Ada apa? Apa pun yang mereka tanyakan hanyalah berupa kalimat pendek dan serupa. Aku tahu, mereka tidak benar-benar menguasai solusi setiap bertanya tentang masalah. Mereka hanya ingin tahu saja. Lantas, buat apa menjawab? Aku muak harus terus berusaha menghindari alasan yang aku sendiri tak suka mengatakannya.

Aku merebahkan diri.

Karena apa aku menolak apa yang kusuka? Karena apa aku berpaling dari sesuatu yang bahkan dulunya benar-benar kuperjuangkan? Apa alasanku? Karena aku hanya melakukan apa yang kuinginkan, tapi alasan itu belum cukup. Pada dasarnya, Ayahlah yang menjadi satu-satunya alasanku.

🌠🌠🌠


Haloo ... Yoru up!!
Tolong diingatkan kalau nemu typo, ya.
Krisar nya juga boleh banget.

Hehe, bintang di pojok kiri bawah tuh, jangan dianggurin. Kasihan.

Thx for reading😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro