Aku dan Masa Lalu
Maria Sara Hanifa
"Dulu, ayah ini orang yang paling miskin." Ayah memulai ceritanya. Aku mendongak memerhatikan wajah yang mulai ditumbuhi beberapa helai janggut putih. Seperti biasa, menunggu ibu dan Mbok Juli menyiapkan makan malam.
"Kenapa Ayah miskin?" tanya Fairuz tak sabaran.
"Karena enggak kaya," cetusku, memandang sinis Fairuz. Ayah terkekeh.
"Tapi, 'kan, sekarang ayah kaya," sanggah Fairuz, agak ngawur. Tampak benar kalau anak itu tidak menyetujui pendapatku. Aku memandangnya miring.
"Kan tadi ayah bilang 'dulu'!" seruku tak mau mengalah. Melebarkan mata menatap Fairuz, bersungut dalam hati. Apakah ia tidak bisa diam saja dan mendengarkan cerita sampai tuntas?
"Udah, udah," lerai Ayah. "Benar yang Sara bilang. Gimana mau miskin kalau kaya? Iya, 'kan, Sara?" Selanjutnya, Ayah tertawa puas.
Entah apa pasalnya, Fairuz malah ikutan tergelak.
"Tapi biarpun logis, alasan itu enggak realistis, Nak. Kalau—"
"Biar aja, Yah. Biar Fairuz diem. Dia ribut banget. Kebanyakan nanya, ganggu!" Aku memotong ucapan ayah. Menuding wajah polos Fairuz. Anak kelas lima sekolah dasar itu mengernyit. Menambah kedut di dahi yang menghiasi wajah polosnya.
"Kenapa enggak boleh nanya? HAM aja bilang boleh bebas ngasih pendapat. Kak Sara enggak demokratis, nih, Ayah!" Fairuz balik menudingku, mengadu bangga karena membawa-bawa HAM.
"Itu, kan, secara hukum politik!" balasku cepat.
"Eh? Gitu, ya?" gumam Fairuz polos. Aku mengangguk tanpa ragu seraya tersenyum puas. Aku sudah menduganya, Fairuz hanya membaca sekilas saja, belum terlalu mempelajarinya lebih dalam.
Ayah kembali tertawa renyah, "Sara makin pintar aja. Mau jadi apa dewasa nanti?" tanya Ayah. Aku menerawang. Berpikir sesaat.
"Politikus," jawabku asal. Alis Ayah kulihat mengernyit.
"Kok politikus?"
"Soalnya kalau lagi ngomongin politik, Sara pengen jadi politikus aja, biar negara ini bersih. Sebentar lagi kalau Ayah cerita tentang sistem pendidikan, Sara mau jadi menteri," seruku percaya diri.
"Kalau Fairuz mau jadi hakim tinggi negara, Ayah," celetuk Fairuz. Tatapannya mengerling jenaka ke arahku. Ayah menoleh ke anak lelaki satu-satunya yang hanya cengar-cengir.
"Dulu kamu bilangnya mau jadi Dubes, 'kan?" Ayah menatap menyelidik. Dari dulu, pria paruh baya ini memang selalu tahu perkembangan cita-citaku dan Fairuz.
"Iya, tapi berubah, Yah. Biar nanti kalau Kak Sara enggak nepatin janjinya buat jadi politikus hebat dan malah korupsi uang negara, Fairuz yang penjarakan." Ia tertawa puas, menampilkan deretan giginya.
Aku mendengkus, "Ngimpi!"
"Biarin!" Fairuz menjulurkan lidahnya.
"Cita-cita itu memang mimpi, Nak, tapi bukan enggak mungkin sang mimpi jadi nyata, dan itu tugas kalian untuk membuatnya jadi nyata." Ayah mengelus kepalaku, beriringan dengan tangannya yang sebelah lagi mengacak pelan rambut Fairuz.
Hening. Ayah berdeham. Mungkin ingin melanjutkan wejangannya.
"Hidup manusia, hanya Tuhan yang tau. Karena kita enggak tau gimana keadaan masa depan kita, Allah kasih hari ini untuk kita. Karena hari ini, kita bisa nentuin masa depan," terang Ayah. Fairuz menatap antusias, aku manggut-manggut saja.
"Tapi, Ayah, kenapa banyak orang yang enggak sukses? Padahal mereka, 'kan, juga dapat hari ini?" tanyaku. Ayah memperbaiki posisi duduknya.
"Ada orang-orang yang terlalu egois. Serakah. Menggunakan hari ini sesuka hatinya. Kalian perlu ingat. Hari ini adalah untuk besok, Nak. Apa yang kalian lakukan hari ini membawa pengaruh besar dan penentu masa depan," nasihat Ayah.
"Gimana sama orang-orang yang beruntung, Yah? Enggak perlu banyak usaha, tapi semuanya mudah didapat?" serangku lagi.
"Percayalah, Sara. Enggak ada masa depan yang indah tanpa usaha. Hidup itu terdiri dari 1% keberuntungan. 99% sisanya usaha. Iringi 100% nya dengan doa," jelas ayah.
Aku mengangguk. Mengerti.
"Eh, Ayah dulu suka pelajaran apa, Yah?"
Ayah terkekeh, "Tumben tanya Ayah sukanya pelajaran apa," cibir ayah.
"Biar bisa sukses kayak Ayah," ceplosnya. Aku menepuk dahi.
"Sukses enggak ditentuin dari suka pelajaran apa, tau?!" balasku.
"Eh suka-suka aku lah," protes Fairuz.
"Udah, udah. Ayah dulu sukanya pelajaran geografi sama astronomi," lerai Ayah, lalu menjawab pertanyaan Fairuz. Aku memamerkan senyum bangga pada adikku itu. Pelajaran kesukaan Ayah juga pelajaran favoritku.
Anak lelaki itu mendesah berat. Ayah tahu persis kalau anak bujangnya itu menyukai pelajaran eksak. Sama seperti Ibu.
"Enggak apa-apa. IPA juga hebat, kok. Tuh, ibumu sukses. Keren, dong, berarti," hibur Ayah.
Ayah. Idola kami. Pahlawan paling heroik dengan sejuta nasihat teduh dan kisah inspiratifnya.
Menurutku, aku adalah anak yang paling beruntung di dunia. Ingatkan untuk selalu berterima kasih pada yang menciptakanku.
Lihatlah. Apa yang tidak kumiliki?
Ayah yang cerdas dan ambisius.
Ibu yang pintar, independen, dan lemah lembut.
Adik yang polos—menurutku, kelebihannya belum menonjol.
Teman yang banyak.
Paras? Aku tidak menganggap diriku cantik, tapi semua orang mengatakanku demikian.
Harta? Itu milik Ayah dan Ibu. Aku cukup menikmatinya saja.
🌠
Aku baru saja pulang dari bimbingan olimpiade geografi. Saking berambisinya dalam menguasai pelajaran ini, Ayah membuat satu peraturan sederhana. Siang sepulang sekolah aku mengikuti bimbingan belajar, dan sore hingga waktu sebelum magrib, Ayah yang langsung turun tangan menyempurnakan latihan belajarku, dan itulah waktu yang paling kutunggu.
Bagaimana tidak? Sejak setahun yang lalu setelah kuputuskan untuk melanjutkan hobi belajar geografi, Ayah mulai sering meluangkan waktunya. Semua orang tahu kalau lelaki itu sungguh sangat sibuk, tapi tetap saja ia memutuskan untuk menjadi mentorku secara langsung. Padahal untuk berlatih, aku terbiasa melakukannya sendiri.
Aku menghempaskan diri di sofa setelah sebelumnya mengambil air dari lemari es. Tumben sore ini keadaan rumah senyap. Mbok Juli tidak kelihatan batang hidungnya. Fairuz juga belum berkicau ribut. Apa ia belum pulang? Ini sudah sore. Agak janggal menurutku.
Tidak memperpanjang dugaan, kuraih buku dari dalam tas. Membuka kembali catatan dan membolak-balik halamannya tanpa minat, lalu mengenggak air hingga tandas.
Tiba-tiba ponselku berkedip, diiringi getar. Aku memerhatikan nama yang tertera. Fairuz.
"Halo? Kak, udah pulang?" sambarnya tanpa salam dan sapa.
"Udah. Kalian semua pada di mana?"
"Kak, ayah sakit. Ke RSU Kasih Bunda sekarang!" Alisku bertaut mendengar penuturan Fairuz, tenggorokanku tercekat.
"Sakit apa?"
"Terlalu capek, Sayang. Sara ke sini, ya? Perlu Ibu minta tolong Pak Burhan buat jemput?" Suara Ibu mengambil alih ponsel.
Meski merasa sedikit aneh, aku menghela napas lega.
"Kenapa harus ke rumah sakit kalau kecapekan, Bu?"
"Sara, di rumah kita enggak ada alat-alat yang lengkap. Infus, dan lainnya," jawab Ibu setelah jeda sepuluh detik.
"Biasa, kan, kalau kecapekan—"
"Kalau Sara kebanyakan nanya, berangkatnya kapan, dong?" Interupsi ibu membuatku bungkam.
"Iya, Bu. Sekarang Sara pergi."
🌠
Aku mempercepat laju motor, beberapa kali menyalip pengemudi yang santai, tapi cepat menghujat ketika didahulukan. Melenguh pelan saat lampu lalu lintas menampilkan warna yang tak bersahabat, lalu kembali melaju ketika warna berevolusi menjadi memuaskan.
Ah, Ayah. Kenapa harus ke rumah sakit? Terlalu elit jika masuk ke sana hanya karena kelelahan. Lucu. Sehebat apa, sih, kelelahan hingga harus ditangani di rumah sakit besar itu? Padahal sekitar lima ratus meter dekat rumah juga ada RS. Di sekitar tiga ratus meter juga ada sebuah klinik. Kenapa harus jauh-jauh, coba?
Setelah tiba, aku memarkirkan motor sesuai intruksi. Berlari ke meja resepsionis kemudian, lalu menyebutkan nama Ayah, bertanya tentang di kamar mana dirinya dirawat.
"Masih dalam pemeriksaan, Dik. Lurus aja, nanti di ujung itu belok kanan, ruangan yang pertama, pintu hijau," sebutnya. Aku mengangguk, kemudian pergi tanpa mengucapkan terima kasih.
Kupacu langkah lebih cepat. Sedikit rasa heran sebab Ayah yang masih dalam pemeriksaan setelah beberapa saat lalu tidak terlalu kuhiraukan. Mataku menjelajah lorong hingga kulihat Ibu sedang duduk gelisah di ruang tunggu.
"Bu," panggilku. Wanita itu menoleh.
"Sudah makan siang?" tanya ibu ketika kuputuskan untuk duduk di sebelahnya. Aku mengangguk saja. Bersepakat pada perutku untuk sedikit berbohong hari ini.
"Ibu istrinya Bapak Rian?" Lelaki paruh baya berseragam putih itu bertanya.
Ibu bangkit, diikuti olehku, Fairuz, Mbok Juli. Langkah kami tergesa menghampiri dr. David—aku membaca nametag-nya.
"Untuk sekarang, keadaan bapak baik. Sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap," ucapnya. Dahiku berkedut.
Benar dugaanku, ada yang salah. Jika hanya kelelahan, tidak membutuhkan waktu lama sekadar untuk menjalani pemeriksaan bukan? Aku melirik Fairuz yang kemudian saat dilirik malah membuang pandang. Hendak bertanya, tapi takut tidak siap mendengar jawabannya.
"Terima kasih, Dok," ucap ibu. Dapat kudengar Ibu menggumamkan hamdalah.
Aku maju selangkah. "Sudah bisa dijenguk, Dok?" tanyaku.
"Tunggu lima belas menit lagi, ya? Bapaknya dipindahkan dulu ke ruangan," balas dokter tersebut ramah.
"Memangnya—"
"Udahlah, Kak. Lima belas menit itu enggak lama." Fairuz menahan protesku. Aku menelan ludah. Oke, lima belas menit. Aku akan menunggu. Itu tidak lama.
🌠
Kumandang asar mampir ke indera pendengaran, segera kulirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan kiriku. Aku masih harus menunggu sepuluh menit lagi. Setelah menimbang-nimbang, kuputuskan untuk berjalan belok arah, menuju musala di lantai atas.
Menilik dari waktu yang kuhabiskan, sekarang seharusnya aku sudah dapat masuk ke ruangan rawat inap untuk menjemput ayah. Aku menghabiskan waktu lima belas menit di sini. Jadi, kuputuskan untuk merapikan penampilan kemudian bergegas menuruni tingkat demi tingkat. Lift bahkan terasa seperti mengesot lambat.
Ting!
Aku berjalan nyaris seperti berlari kecil menuju ruangan yang telah diberitahu namanya. Lalu mataku menyipit memandang. Kosong?
"Dik," panggil seseorang, disertai tepukan ringan di bahuku membuat refleks berbalik. Menatap nanar sang suster yang tengah tersenyum ramah. "Namanya Dik Sara?"
Aku mengangguk pasti.
"Kamar ayahnya ada di ruangan sebelah, Dik. Kamboja III," ujarnya. Aku lantas spontan melihat nama di pintu lalu menepuk kening. Flamboyan I. Aku nyaris salah masuk ruangan.
"Eh, iya, makasih." Tanpa memerhatikan senyum perawat itu, aku melesat menuju kamar ayah.
"Eh Sara, sini, Sayang," panggil Ibu lembut, seperti biasa. Aku melangkah ragu.
Aku mendekat menuju ranjang Ayah. Kemudian terenyak, lalu memutuskan mundur teratur. Apa-apaan belalai panjang yang banyak melilit tubuhnya? Mau apa mereka dari ayahku?
"Loh, kenapa, Sayang? Ayo sini, dekat ayah." Ibu menghampiri. Aku menggeleng pelan. Air mataku tahu-tahu sudah meluncur saja.
"Ayah kenapa, Bu?" tanyaku, menahan riak isak. "Ayah sakit apa?" sambungku.
"Kan tadi Ibu udah bilang. Ayah kecapekan," lirih Ibu. Aku menggeleng kuat-kuat. Bahkan orang yang terserang DBD dan thypoid pun jika diopname tidak akan ditempeli belalai-belalai begitu.
"Sara." Panggilan rendah Ayah membuatku tertegun, menghapus segala spekulasiku tentangnya. Aku menatapnya dalam, masih mematung dan enggan mendekat.
"Woi, Kak!" Fairuz ikut menyentakku. Mau tak mau, kuputuskan untuk mendekat.
"Ayo, Ayah ajarin bab baru untuk Sara. Bawa bukunya?" tanya lelaki paruh baya itu lemah. Lihatlah, berbicara saja seakan ia kesulitan.
"Jangan sekarang. Ayah harus istirahat dulu. Nanti aja." Aku menggenggam tangan Ayah. Segaris senyum terbit menghias wajah keriputnya.
"Nah Nak, siapa yang bisa menjamin nanti dan besok, hm?" Ayah melontar pertanyaan bijak. Aku menggeleng. Tentu saja tidak ada. Kenapa pula harus ada yang menjamin sebuah misteri?
"Tapi, Ayah, kata dokter—"
"Ayah itu punya janji sama kakakmu, Fairuz," potong Ayah. "Apa kewajiban orang yang berjanji, Nak?" Ayah bertanya balik. Menyerang Fairuz yang baru saja seperti hendak menyampaikan satu kenyataan.
Lelaki itu menunduk lesu. "Menepati." Jawaban Fairuz kembali menerbitkan senyum Ayah.
"Kemudian?"
"Tanggung jawab buat nepatin, Yah." Fairuz menunduk semakin dalam. Ayah mengangguk pelan.
"Lalu?"
"Laksanakan." Kali ini Fairuz mengangkat wajahnya. Menatap Ayah mantap, meski matanya dapat kulihat sedang menahan genang air. Ayah tertawa renyah, walau diselingi batuk sesekali.
"Bagus, bagus. Anak Ayah memang yang paling hebat," puji Ayah.
Fairuz membuang arah pandangnya.
Aku menatap menyelidik, meyakini—instingku memang tajam—ada hal yang sedang disembunyikan dariku saat ini.
"Sara, mau dengar sesuatu?" Pikiranku buyar. Aku menatap Ayah sendu, lantas mengangguk.
"Ayah mau nitip pesan. Jaga aurat. Hijabmu, jangan pernah lepas. Jaga baik-baik diri kamu, untuk surga," nasihatnya. Hatiku terenyuh.
Aku mengangguk kuat-kuat, tak mungkin lupa nasihatnya yang masih tak berubah sejak aku menapaki kelas dua sekolah dasar.
"Hei, Jagoan!" Ayah memanggil Fairuz. Anak laki-laki itu memusatkan pandangannya ke Ayah.
"Ya, Ayah?"
"Ini, dua orang ini." Ayah dengan jarinya yang bergetar menunjukku dan Ibu. "Mereka wanita yang paling Ayah cintai. Jaga mereka ya, Nak?"
Meski terlihat ragu, Fairuz mengangguk.
Lelaki itu kemudian menarik napas gusar, lalu mengembuskannya kasar.
"Kak, ayah sekarang—"
"Nak." Interupsi Ayah ketika Fairuz lagi-lagi seperti hendak menyatakan sesuatu.
Untuk kesekian kalinya, ia mendengkus lalu cepat membalikkan badannya, keluar dari ruangan.
"Dia kenapa, sih, Bu?" Aku memutuskan bertanya.
"Belum salat asar," jawab Ibu dengan senyumnya yang teduh.
🌠🌠🌠
Thx for reading
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro