Aku
Maria Sara Hanifa
Aku melirik hasil ulangan biologi yang tadi disodorkan oleh Aadidev, kemudian langsung menyurukkannya ke dalam tas. Di sebelahku, Aya tampak sedikit berjingkrak tertahan. Seruan syukur keluar berkali-kali dari bibirnya. Sesekali, ia malah mencium hasil ulangannya.
"Ra! Gue dapat 82! Kebayang enggak sih, lo? Ini tuh pertama dalam sejarah, nilai Biologi gue di atas 80! Pinter banget gue, ya?"
Aku mengintip kertas Aya. Benar saja. Nilainya 82. Dengan nilai segitu saja, senyumnya tampak begitu terkembang. Yah, bahagia siswa itu sederhana. Nilai melewati batas minimum saja, itu cukup.
"Lo berapa?"
"98," jawabku pendek. Mata Aya membola.
"Nyaris sempurna! Ah lo mah, nggak usah ditanya, gue juga udah tau. Tuh otak reinkarnasi dari otaknya Tesla." Aya sedikit mencibir. Aku tertawa sumbang.
Aya selalu mengatakan bahwa otakku hasil reinkarnasi makhluk lawas penemu ilmu-ilmu hebat. Nikola Tesla, Albert Einstein, Alexander Grahambell, Isaac Newton, dan lain sebagainya. Padahal aku tidak seambisius itu.
"Enggak sia-sia, ya, Ra, gue belajar sama lo! Akhirnya gue bisa juga jawab materi dari pola hereditas ini. Walaupun selanjutnya, ya ... penurunan sifat, DNA, RNA. Yang penting sekarang gue seneng banget," cerocos penghuni kursi di sebelahku. Mata Aya berbinar.
Tak kumungkiri, materi tersulit untuk makhluk kelas akhir dari tingkat putih abu-abu adalah persoalan pola hereditas, gen resesif, gen dominan. Belum selesai tentang gen, masih ada penurunan sifat, rumitnya susunan RNA dan DNA yang begitu kompleks dengan urutan timin-aglutinin-guanin dan sebagainya. Tak pelak peminat biologi berguguran setelah mencapai materi ini.
Seperti sekarang, sebagian bahkan lebih anggota kelas dituntut untuk melakukan ujian ulang atau remedial. Seperti saat ini pula, guru biologi yang sudah kepala empat ini sedang memberi wejangan tentang hal yang menimpa sebagian besar siswa.
"Eh, Ra."
"Ya?"
"Gue dengar kemarin lo ditembak Gio, ya? Anak IPS II?"
"Iya."
"Trus, gimana tuh? Lo terima?"
"Ya, enggaklah! Ya kali gue pacaran. Dosa!" jawabku, sambil mengunyah permen karet rasa melon.
"Dia marah?" Aku mengedikkan bahu.
"Bisa jadi."
"Bonyok enggak?" tanya Aya lagi. Wajahnya menyiratkan ekspresi khawatir.
Wajahnya yang seperti itu membuatku tergelak. Berkebalikan denganku, Aya justru memiliki sifat lembut dan keibuan. Mana tega melihat siapa pun bertengkar? Menyaksikan film kolosal tentang G30S-PKI saja ia berulang kali menyeka air matanya. Belum lagi seruan tertahan saat menyaksikan adegan penembakan.
"Enggak. Dia mutusin mundur baik-baik."
Aya mendesah lega. Mungkin setidaknya ia merasa lega karena tidak ada korban bergelimpangan akibat tangan sahabatnya ini.
Sebenarnya, aku tidak menggunakan kekuatan semena-mena. Kebanyakan hanya untuk membela diri dan menolong orang lemah. Walaupun aku justru jarang bertemu dengan orang yang membutuhkan uluran tangan untuk dibantu dengan kekuatan.
Namun, satu hal pengecualian. Aku tidak pernah bermain-main dengan batasan terhadap lawan jenis.
"Eh, Ra." Aya mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Itu yang duduk di depan itu dari tadi ngeliatin lo."
Alisku menyatu. "Siapa?"
"Aduh, itu, loh. Siapa ya namanya, Ra? Lupa gue."
Aku mencebik. Aya punya kebiasaan lupa pada hal di sekelilingnya. Menurut artikel yang kubaca, hal itu bisa menandakan indikasi manusia cerdas. Ya, semoga saja benar, agar sifat mudah lupa miliknya tidak sia-sia.
Aku melirik arah yang ditunjukkan oleh Aya. Laki-laki itu tampak sedang menekuri omelan guru biologi yang sedari tadi menggumamkan kata, kecewa sama kalian, nilai anjlok, tidak belajar? Kalau begini, lulus SMA mau ke mana, nilai rendah begitu? Gimana dengan nilai UNBK kalian?
"Dev, maksud lo?"
"Bukan, deh, kayaknya."
"Yang pakai tas warna army?"
"Nah, iya!"
Aku menoyor Aya. Sahabatku itu meringis.
"Dari tadi gue juga nunjuk dia, Ya. Gimana, sih?"
"Oh iya! Itu Dev, ya? Ya maaf, Ra. Lupa gue."
"Lagian sih lo, ah!"
"Ya, maaf." Aya mengusap keningnya.
"Maria! Aya! Saya tau nilai kalian melewati KKM. Bisa hargai saya yang sedang berbicara di hadapan kalian?"
Ups!
🌠
Aku melepas sepatu, lantas meletakkannya rapi di rak bagasi. Ibu selalu mengatakan bahwa wanita harus rapi, jika tidak, siap-siap saja akan menjadi perawan tua. Terlepas dari memercayai hal itu atau tidak, aku menurut saja. Pasti ada hikmah di balik setiap perkataan orang tua zaman dulu. Salah satu hikmahnya, gudang, dapur, dan kamar, serta ruangan di setiap sisi rumah selalu tampak rapi tanpa perlu dibereskan setiap hari.
Aku berjalan melewati ruang keluarga. Fairuz tampak fokus dengan laptop di hadapannya.
"Ngapain?" Aku menghempaskan diri di sofa. Membuat tubuhku mental, mementalkan pula tubuh Fairuz.
"Belajar soal, buat olimpiade fisika."
"Emangnya tuh laptop bisa ngajarin lo?"
Fairuz mengalihkan wajahnya dari laptop. "Sekarang ini era industri 4.0. Apa pun pakai teknologi. Gue juga paham, kok, penjelasan dari sini."
"Gue tau, kali. Enggak usah diperjelas."
"Ya sudah, sana! Gue mau lanjut belajar."
"Kenapa enggak sama gue aja sih, belajarnya? Gue bisa ajarin, loh," ujarku.
"Gue belajar sama lo malah yang ada gue bakalan bonyok! Setidaknya laptop enggak bakal nyemprot gue kalau enggak ngerti," balas Fairuz sarkas.
Aku meliriknya apatis. "Dih, lebay. Enggak segitunya, kali."
Sebenarnya Fairuz tidak sebodoh seperti yang tersirat dari ucapannya. Jika menjelaskan materi padanya, ia cukup cepat menangkap, bahkan dengan mudah dapat mengaplikasikannya dalam contoh yang berbeda. Ia cerdas, hanya suka merendah saja.
Fairuz hanya mengedikkan bahu. Aku bangkit, memutuskan menyudahi basa-basi dengannya.
"Kak."
"Ya?"
"Ayah ngirim uang lima juta ke rekening lo hadiah buat rangking 1 lo."
Langkahku terhenti. Rahangku mengeras. Sosok itu lagi.
"Besok gue balikin," cetusku acuh tanpa melirik Fairuz.
Fairuz mendecak. "Kenapa sih Kak, lo—"
"Gue naik dulu." Aku memutuskan untuk mengabaikan perkataan Fairuz, cepat menaiki tangga dan kemudian membanting pintu kamar.
Aku rindu.
Allah, kenapa Engkau membuatku pernah sangat mencintai ayah kalau akhirnya Kau membuatku membencinya?
Aku menyeka titik bening di sudut mata. Aku bukan gadis cengeng. Menangis bukan cara menyelesaikan masalah.
Bagaimanapun kuredam suara hati kecil, hal itu seperti tak bekerja. Malah semakin gencar menyerang. Semakin berusaha untuk lupa, maka semakin dalam memori itu terkuak. Seakan menggarami satu luka yang bahkan belum ditutupi oleh benang fibrin.
Aku benci situasi ini. Situasi di mana aku menangis dalam diam. Tersedu sedan dalam riak emosi. Aku benci situasi di mana aku merasa lemah, hanya oleh satu kenangan buruk yang untuk melihatnya saja aku menolak untuk ada.
Namun apa daya? Tuhan seakan sengaja menyuruhku menyaksikan setiap pahit, mengubur segala harap.
🌠
Aku memandangi kertas hasil ulangan matematika minggu lalu. Nilai yang tertera adalah 95. Mataku awas meneliti satu persatu jawaban. Tidak ada yang salah. Seharusnya nilaiku seratus, tapi, ya sudahlah. Mungkin Pak Bambang silap memeriksa.
Aya tampak mengernyit melihat lembar soalku. Tak merasa perlu meminta izin, ia merebutnya lalu memerhatikan saksama.
"Nomor tujuh rasanya jawaban kita samaan deh, Ra. Gue dibenerin. Lo kok disalahin?"
"Silap, kali," jawabku santai, kemudian menenggak air mineral dari botol minumku.
"Bilang, gih. Sayang nilai," tawar Aya. Aku menggeleng.
"Enggak usah."
Aya mendengus samar. "Orang pinter mah, beda. Mau salah diperiksa pun, nilainya tetap aja yang paling tinggi. Heran gue."
Aku menanggapi dengan gelak.
"Nilai lo jadi sama kayak Dev, tuh. Padahal sebenarnya lo yang paling tinggi," bisik Aya. Aku mengedikkan bahu, tidak peduli.
"Biarin aja."
"Eh, bokap gue baru balik dari Finland. Mau mampir?"
"Enggak, deh. Gue ada latihan karate. Sebulan lagi turnamen."
Aya memutar bola matanya. "Ya ampun! Ambisius banget sama karate lo! Kenapa, sih? Bingung deh, gue."
Kenapa. Pertanyaan yang selalu membuatku muak. Kenapa tiap manusia punya rasa penasaran tinggi? Kehidupan orang lain pun tak lepas dari pertanyaan itu. Lalu, apa jika mereka mendapatkan jawabannya lantas akan berubah menjadi manusia empati dan peduli? Tidak, bukan? Hanya akan memuaskan rasa penasaran? Menurutku, benar demikian. Itulah mengapa aku sedikit tertutup tentang pertanyaan kenapa.
Apakah aku harus mengatakan alasannya? Menyukai karate karena aku dapat meluapkan segala perasaanku di sana. Segalanya. Apa tidak ada cara lain? Tidak. Lebih tepatnya, aku tidak berminat mencobanya.
"Cewek, 'kan, harus strong!" Hal ini juga yang acap kali menjadi alasanku.
"Cowok yang harus strong! Cewek itu fitrahnya lembut, feminim, kayak gue!" Aya membanggakan dirinya. Aku mencibir.
"Ya, setidaknya, gue enggak perlu nyewa bodyguard buat jaga diri." Aku ikut membanggakan diri.
"Ya, itu karena orang pada takut sama lo." Aku tertawa kecut mendengar ucapan sarkas Aya.
"Maria, Aya, perhatikan dulu ya, Nak, penjelasan saya. Materi ini sulit, Nak. Akan keluar di kisi-kisi UNBK. Kalau enggak perhatikan, apa yang mau kalian jawab nanti, Nak?"
Aku dan Aya tergagap. Guru yang umurnya sudah lima tahun lalu separuh abad itu menegur. Aya hanya nyengir.
Aku belajar dari sesuatu yang kucintai dan kubenci. Hal itu mungkin jarang diketahui banyak orang. Dan aku bersyukur masih bisa terlihat baik-baik saja.
🌠
"Powerfull, Sara! Keluarkan semua!"
Aku berteriak kencang, melakukan satu lawan satu dengan Senpai Bella. Terengah-engah berusaha menyerang, walau berakhir dengan penyerangan balik dan merusak fokusku untuk menangkis dan menghindar.
"Oke, cukup untuk hari ini. Hari rabu, kita lanjut lagi."
"Baik. Makasih, Kak."
Senpai Bella mengangguk. "Lo agak pucat hari ini. Pantes power lo nggak kayak kemarin-kemarin."
Apa iya? Untuk hari ini aku sebenarnya agak merasa staminaku sedikit berkurang. Entahlah. Mungkin karena tadi siang aku terlalu terburu mengejar jam masuk latihan, hingga melupakan makan siang.
"Kalau sakit, jangan dipaksa. Lo enggak akan dapat apa-apa dari maksa tubuh lo itu," sarannya yang langsung kujawab anggukan.
"Baik, Kak."
"Kalau gitu, gabung sama rombongan. Pendinginan." Senpai Bella menepuk bahuku, lalu menunjuk rombongan yang sedang melakukan gerakan ringan pendinginan.
"Oh iya, Sara! Turnamen diundur. Jadinya, dua bulan lagi." Aku mengangguk.
🌠
Inilah aku.
Aku yang tampak selalu baik-baik saja di hadapan orang lain. Sara yang pintar, cerdas, kuat, ceria, tomboi.
Inilah aku.
Yang selalu terisak dalam sepi, hanya karena berusaha menolak singgahnya memori takdir. Sara yang lemah. Sara yang cengeng. Sara yang terjebak dalam labirin yang dicipta, tanpa niat untuk mengakhirinya. Berdamai? Memaafkan? Aku selalu menolak untuk dua kata itu jika ditujukan padanya.
Entahlah apa yang dipikirkan orang lain tentangku. Banyak benarnya dan terkadang terlalu banyak kelirunya. Tak ada yang perlu kukonfirmasikan tentang diriku pada mereka.
Inilah aku. Maria Sara Hanifa. Aku, yang tidak sempurna.
🌠🌠🌠
Gimana? Kebayang nggak, karakternya Sara? Semoga aja bayangannya dapat, ya.
Typo bergelantungan. Kalau nemu, bantu ingatin dari komen, ya😉
Satu vote sangat berharga demi imun semangat Yoru. So, go vote, yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro