Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Songfic] - Hug Me

Sadar ku tak berhak untuk terus memaksamu
Memaksamu mencintaiku sepenuh hati
Aku 'kan berusaha untuk melupakanmu
Tapi terimalah permintaan terakhirku

***

Berulang kali, Denada menekan tombol power di ponsel, menyalakan, kemudian mematikannya kembali. Di tempat duduknya saat ini, gadis itu terlihat tidak sabaran, menunjukkan gelagat seperti tengah menanti kehadiran seseorang.

Denada menghela napas, lantas mengulangi aktivitasnya mengecek ponsel. Namun, sepertinya, orang yang ditunggu tidak kunjung memberi kabar.

"Jangan-jangan, dia lupa kali sama janjinya, ya?" ujar gadis itu dengan lirih. Tersirat kekecewaan yang teramat dalam dari kalimatnya.

Denada berniat untuk pulang setelah hampir satu jam menunggu. Sungguh melelahkan.

Akan tetapi, semua salah dirinya. Sudah tahu menunggu itu melelahkan, namun dia masih setia duduk di tengah-tengah taman yang cukup ramai. Barangkali, orang-orang yang berlalu-lalang akan menganggapnya gila.

Duduk sendiri di kursi panjang yang muat untuk tiga orang. Hanya ditemani oleh seragam putih abu dan ransel berwarna abu muda yang nampak serasi dengan warna roknya. Setiap 2 menit sekali akan mengecek panel notifikasi, memastikan bila ada notifikasi yang masuk.

Sayangnya, hingga satu jam setelahnya, masih tidak ada notifikasi apa pun, selain peringatan dari operator bahwa nomornya memasuki masa tenggang.

Setelah mengeratkan pegangannya pada ransel, Denada bangkit dari kursi dan hendak beranjak pergi. Namun, sebuah suara yang sudah Denada hafal membuat gadis itu berbalik badan.

Senyumnya mengembang, mendapati orang yang sedari tadi dia tunggu telah datang.

"Denada, maaf aku lama. Ada urusan mendadak yang enggak bisa aku tinggal," ujar seorang lelaki dengan seragam yang sama, dilengkapi name tag bertuliskan Elvino Adiwangkara. "Kamu pasti nunggu lama, aku jadi merasa bersalah."

"Enggak pa-pa, El," balas Denada. Gadis itu duduk kembali di kursi, seraya memberikan kode untuk Elvin duduk di sebelahnya.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan, Denada?"

Denada berusaha menarik napas sebanyak mungkin, sebelum sebuah kata terlontar dari bibirnya. "Maaf."

"Maaf untuk?" Elvin membeo.

"Maaf kalau selama ini aku belum bisa jadi pacar yang baik untuk kamu. Maaf kalau selama ini aku banyak ngerepotin kamu. Maaf-"

"Ssstt ...." Elvin meletakkan telunjuknya tepat di atas bibir Denada. "Kamu enggak perlu minta maaf, Denada. Walau bagaimanapun, ini salahku. Aku yang udah mutusin kamu. Tapi, aku enggak punya pilihan lain. Orangtuaku menentang hubungan kita."

Kalimat terakhir dari Elvin membuat Denada kembali tertohok. Kenyataan bahwa kedua orangtua Elvin menentang hubungan mereka adalah suatu hal yang begitu menyakitkan. Semua ini perkara perbedaan kasta. Denada sendiri paham. Semua orangtua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, bahkan termasuk keluarga Adiwangkara.

Yang Denada tidak habis pikir adalah kenapa orangtua Elvin baru mempermasalahkan hal tersebut ketika hubungan mereka telah menginjak usia 2 tahun.

Bagi seseorang yang masih duduk di jenjang SMA, tentu ini sangat memukul Denada. Gadis itu bahkan tidak masuk selama dua hari berturut-turut setelah Elvin memutuskannya lewat panggilan telepon. Dan, hari ini, Denada memang sengaja mengajak Elvin bertemu untuk terakhir kalinya, mengingat mereka berada di sekolah yang berbeda.

"Jujur, Vin. Aku benar-benar kecewa. Aku sakit, Vin. Tapi, aku enggak bisa apa-apa." Denada berusaha untuk menahan air mata yang terbendung agar tidak luruh, seraya tersenyum tegar. "Semoga nanti kamu bisa dapatkan pacar yang lebih baik dan tentu disetujui oleh orangtua kamu, ya. Rajin-rajin belajarnya. Walau kita udah putus, aku masih ingin lihat kamu menggapai impian kamu."

"Denada ...."

"Elvin, aku boleh minta satu permintaan, nggak?"

Dengan cepat, Elvin mengangguk. "Apa?"

"Hug me for the last time. Friend's hug."

Melihat Elvin yang tidak bereaksi kembali, Denada langsung menarik perkataannya. "Eh, kalau kamu enggak mau, enggak pa-pa. Anggap aja aku enggak pernah bilang. Aku-"

Kalimat Denada terhenti ketika Elvin menariknya. Di dalam pelukan lelaki itu, Denada mengeluarkan tangis yang sedari tadi dibendung.

"Aku sayang kamu, Denada. Sayangnya, takdir enggak mengizinkan kita untuk bersama lebih lama."

Tangis Denada semakin pecah mendengar pernyataan dari Elvin. Pernyataan yang barangkali tidak akan pernah dia dengar lagi.

"Aku juga sayang kamu, Elvin. Akan dan selalu."

***

Genggam tanganku, sayang
Dekat denganku, peluk diriku
Berdiri tegak di depan aku
Cium keningku 'tuk yang terakhir

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro