Keluarga Nayla
“Sebelum kita mengakhiri kelas bahasa Indonesia kita sekarang, saya akan memberi kalian semua tugas. Tugasnya adalah kamu harus membuat cerita tentang keluargamu, kemudian kamu harus mempresentasikannya di depan kelas minggu depan. Apakah Anda punya pertanyaan?” Bu Ela—guru bahasa Indonesia yang berdiri di depan kelas bertanya.
Seorang gadis berkacamata mengangkat tangannya. “Saya punya pertanyaan, Bu.”
“Ya, Kristi. Apa itu?"
“Apakah ada batasan panjang cerita?”
“Tidak ada batasan. Kalian semua diberi kebebasan untuk membuat cerita Anda sendiri. Tapi ingat, topiknya tentang keluargamu.”
“Baik, Bu. Terima kasih. Saya mengerti."
“Nah, ada pertanyaan lagi?”
“Tidak, Bu.”
"Oke. Jadi, kita bisa menutup kelas kita sekarang. Nikmati harimu dan jangan lupa persiapkan tugasmu semuanya. Sampai jumpa minggu depan."
Ketika Bu Ela beranjak pergi keluar dari kelas, seluruh siswa bangkit dari kursinya dan berkumpul membentuk lingkaran besar.
“Bu Ela selalu seperti itu. Tugasnya pasti enggak jauh dari tugas buat cerita, lalu presentasikan cerita tersebut ke depan kelas. Arggh, selalu seperti itu. Apa dia enggak tahu kalau aku benci nulis cerita?” Rangga mendengus.
Beberapa dari mereka mengangguk, merasa setuju dengan pernyataan Rangga. Termasuk Nayla.
Tidak, dia tidak membenci tugas itu. Tapi, dia benci topik itu. Kenapa topiknya harus tentang keluarga?
***
POV Nayla
Sejujurnya, aku tidak terlalu suka membicarakan keluargaku. Sebab, menurutku, tidak ada hal khusus yang masuk akal dari keluargaku. Tapi, tugas tetaplah tugas, artinya aku harus menyelesaikannya. Baiklah, tanpa membuang waktu lagi, ayo kita menulis di selembar kertas kosong.
Saya Nayla dan saya lahir di sebuah keluarga yang cukup penuh dengan aturan memaksa. Ayah saya otoriter. Semua keputusannya harus diikuti. Tidak ada yang bisa menentang keputusannya. Kalau dia bilang A pasti A. Kalau dia bilang B pasti B. Selalu begitu.
Sebelumnya, saya pernah mencoba menentang keputusan ayah saya. Tapi, diakhiri dengan ceramah panjang yang membuat telinga saya terbakar. Bukan hanya itu. Ayah saya juga melarang saya mengikuti banyak kegiatan, seperti berorganisasi. Katanya, “Bergabung dengan organisasi tidak ada gunanya. Lebih baik, kamu belajar keras untuk masa depanmu.”
Tapi, siapa bilang organisasi tidak ada gunanya? Dalam berorganisasi, kita bisa belajar banyak hal. Bagaimana cara berbicara di depan publik, tentang manajemen waktu, dan masih banyak lagi manfaat lain yang bisa didapat dari organisasi.
Ini sedikit berbeda dengan ibu saya. Ibu saya tidak terlalu melarang saya. Tapi, yang membuat saya kerap marah padanya terkadang adalah dia melaporkan semua perbuatan saya pada ayah saya. Arghh, itu sangat menjengkelkan. Itu sebabnya, saya jarang ingin memberitahunya apa yang akan saya lakukan. Dia pasti akan melaporkannya kepada ayah saya.
Oh iya. Ada satu orang lagi yang menjadi reporter di rumah saya yang selalu mengganggu hari-hari saya. Ya, dia adalah saudara laki-laki saya yang berusia tiga tahun lebih muda dari saya. Kalau boleh, saya lebih memilih punya kakak laki-laki daripada adik laki-laki menyebalkan seperti dia. Jadi, itulah cerita tentang keluarga saya. Terima kasih.
Aku meletakkan pena di atas meja, lalu menarik napas dalam-dalam. Ceritaku sudah selesai. Tapi, saya ingin mengingatkan Anda semua. Jangan pernah bertanya kepadaku, “Apakah kamu mencintai keluargamu?”.
Sebab, aku bahkan tidak tahu jawaban apa yang bisa kuberikan padamu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro