(3) Hate Love
“Halo semua! Perkenalkan saya ...”
“Alea, itu bukannya ...”
“Bisa dipanggil Rayn.”
‘Rayn. Kenapa dia bisa ada di sini?’
Iya. Dia Rayn. Seseorang yang pernah kuceritakan. Seseorang yang membuat kata cinta terdengar sebagai sesuatu yang memuakkan bagiku.
“Baiklah, Anak-anak. Rayn ini sebenarnya bukan anak baru, tapi karena satu dan lain hal mengakibatkan Rayn telat mengikuti pembinaan siswa baru. Semoga Rayn dapat mengikuti ketertinggalan yang ada, ya.”
Setelah acara perkenalan, Bu Siti mempersilakan Rayn untuk duduk di bangku kosong yang berada di barisan paling belakang. Tapi, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah itu artinya Rayn harus melewati bangkuku untuk menuju ke bangkunya.
Aku melirik sekilas kepada Rayn. Dan, sialnya, dia juga melirik kepadaku.
Aku pikir, setelah masa SMP berakhir, aku bisa mengawali masa SMA-ku dengan baik, tanpa kehadiran Rayn. Sebab, aku sudah mencari tahu ke mana Rayn akan melanjutkan pendidikannya di SMA, maka dari itu aku sengaja memilih sekolah yang berbeda. Tapi, kenapa tiba-tiba semuanya menjadi seperti ini?
Sepanjang jam pelajaran, aku tidak bisa fokus mengikuti pembelajaran. Pikiranku benar-benar kacau. Itu semua karena Rayn.
Jika terus-menerus seperti ini, sepertinya aku akan selalu gagal fokus.
“Alea, kok kamu kayak kurang fokus gitu? Pasti karena Rayn, ya?”
Aku menggeleng cepat mendengar tuduhan Adisty.
“Udah, enggak usah pura-pura. Meskipun kamu sering bilang udah move on, tapi aku yakin hati kamu itu masih stuck di Rayn. Iyakan?”
“Ngaco, kamu!”
Aku mencoba mengabaikan kalimat Adisty dan menyiapkan buku untuk pelajaran berikutnya.
Hari pertama berlalu dengan begitu singkat. Sesuai janjiku dengan Adisty, setelah pulang sekolah, kami akan pergi ke salah satu kafe yang baru buka. Kami ingin mencoba matchalatte-nya yang menurut orang-orang itu enak dan memiliki taste yang berbeda. Sebagai duo pecinta rasa matchalatte, aku dan Adisty tentu penasaran untuk mencoba
“Alea, jadi?” tanya Adisty. Aku menganggukkan kepala.
“Ya udah, kamu gak bawa motor, kan? Bareng aku aja,” tawar Adisty.
Suasana kelas sudah sepi. Hanya tertinggal aku dan Adisty yang masih ada di sana.
“Alea.”
Ah, kurasa tidak. Sebab, masih ada 1 orang lagi selain aku dan Adisty.
Rayn.
Aku menoleh sejenak kepada Rayn, lantas kembali melihat Adisty yang sudah siap dengan ransel birunya.
“Yuk, langsung jalan aja,” ucapku, mencoba mengabaikan panggilan Rayn.
“Alea, kamu ngehindarin aku?”
Sialnya Rayn mencekal tanganku sehingga mau tak mau aku harus diam dan menatap kepadanya.
“Bisa bicara sebentar?”
Aku menggelengkan kepala. “Ada janji. Gak bisa,” jawabku singkat.
Aku berusaha tenang, meski pikiranku tengah penuh saat ini.
“Sebentar aja, Alea,” ujar Rayn meminta.
Namun aku tetap setia memberikan jawaban yang sama. Tidak.
Karena kesal akan tingkahnya, aku melepaskan cekalan tangannya di tanganku dan langsung melenggang pergi. Membiarkan Rayn yang masih terpaku di sana. Juga mungkin Adisty yang harus terjebak di situasi itu.
Aku pikir, dengan sikapku yang seperti itu, Rayn berhenti mengajakku berbicara. Namun, ternyata tidak. Dia masih bersikukuh untuk mengajakku berbicara di hari-hari berikutnya.
***
“Alea, bisa ngobrol sebentar?”
“Aku dipanggil Bu Siti ke ruangan.”
---
“Alea, ke kantin bareng, mau?”
“Aku mau makan sama Adisty.”
---
“Alea, pulang sama siapa? Adisty udah pulang, kan? Biar aku antar.”
“Aku udah pesan taksi online.”
***
Dan, sejak itu, rasanya impianku untuk bisa hidup tenang di masa putih abu ini menghilang karena Rayn yang sudah mengacaukannya di minggu pertama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro