Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 01 | Lala dan Doa

Kata nenek, Lala itu benda pusaka.

Bahasa purba banget gak sih? Kalau disebut pusaka rasanya seperti benda kuno saja. Tua. Padahal Lala hanya boneka kucing hitam, tidak lebih dari satu genggaman tangan. Bahkan, dia lebih sering kuremas penuh emosi sampai bentuknya berkali-kali lebih kecil dari ukuran asal. Ajaibnya, boneka itu selalu kembali seperti semula tanpa cacat sedikit pun, bahkan sudah berumur lebih dari 10 tahun. Tahan banting sekali boneka itu.

Kenapa Lala? Alasannya mudah, karena nenek senang bersenandung lalala saat aku kecil. Dengan otak anak umur 6 tahun yang tidak paham betapa luasnya dunia, dia menamai boneka abadi itu dengan nama yang sederhana. Astaga, diriku saat kecil memang malas berpikir. Lagi pula, sudah terlambat untuk mengubah nama itu. Nama Lala sudah kekal.

Tunggu, aku sedang bahas apa tadi ... oh, ya. Benda pusaka.

Nenek bilang, Lala bisa membantu kita mengirimkan pesan kepada Pencipta. Hm, topik yang berat. Namun, saat itu aku masih kecil, apa yang diharapkan. Lala pun terlihat lucu—bukan berarti sekarang tidak. Kau masih tetap menggemaskan kok, Lala—jadi, tidak aneh bagi anak berumur 6 tahun untuk menerimanya penuh bahagia tanpa serius memahami kalimat dari nenek. Mari jujur saja, memiliki Lala saat itu rasanya seperti punya teman baru.

Tidak bisa berbohong, ucapan nenek memang lebih sering permisi dari satu telinga keluar telinga lain, apalagi membahas koneksi dengan langit. Namun, banyak sekali cerita di masa lalu yang membuatku percaya, Lala itu ajaib.

Perusahaan ayah yang tidak jadi bangkrut karena aku berdoa penuh tangis sambil meremas Lala. Ibu yang kembali bangun dari operasi kanker payudaranya karena aku selalu menggenggam tangan ibu bersama Lala. Lalu yang terakhir, nenek yang masih panjang umur karena doa itu selalu kulempar ke langit setiap malam, tentu, sambil meremas Lala.

Dan itu hanya beberapa kejadian besar, masih banyak lagi yang lebih kecil. Terlalu banyak dan terlalu remeh, seperti mendapatkan hadiah, menghindari kotoran kucing, menemukan uang di tempat tidak terduga, menghindari kecoak terbang dan lainnya. Namun, itu yang membuatku selalu percaya.

Lala memang spesial.

Maka dari itu, aku kembali memohon.

"Lala, tolong jadi benda pusaka penuh keajaiban seperti yang disebut nenek dan biarkan Januar suka balik ke aku!!!!"

Apakah itu memalukan? Pertama kalinya memang memalukan, tapi setelah 10 kali, semua orang sudah terbiasa. Kalaupun ada yang terganggu, maka hanya ada 1 orang.

"Ja, udah dong Ja! Aku malu banget ...."

Itu Rena, aslinya Renia, teman kecil yang selalu bersama. Tidak, sebenarnya takdir tidak sebaik itu membiarkan kita berdua selalu bersama dari SD sampai SMA. Kita kehilangan momen saat SMP karena nilaiku terlalu kecil untuk masuk ke sekolah Rena, tapi lihat sekarang! Kita bersama kembali, hanya itu yang penting.

"Re, anak-anak yang lain aja udah pada biasa. Masa kamu, yang temen aku sendiri, malah malu sih. Aku tuh butuh aamiin, Re."

Wajah Rena tidak sedikit pun membaik, bahkan semakin cemberut, apalagi setelah mendengar permintaanku. Namun, itu bukan kebohongan. Aku membutuhkan seluruh keajaiban dunia saat ini, karena Januar kelas sebelah terlalu ganteng untuk dibiarkan sendiri. Dan aku tidak akan menyerah sampai mendapatkan apa yang kumau.

"Aamiin, Za. Nanti kalau kamu sama Januar, aku sama Varro. Kita harus banget double date!" Sebuah suara datang tepat di telinga kanan, aku pun dengan cepat beralih.

"Astaga! Doanya bagus banget, Kania!" Aku menarik Kania ke dalam dekapan erat-erat. Senang sekali rasanya ada yang mendukung.

Rena tidak akan terganti, itu sudah pasti, dia akan selalu jadi sahabat baik yang mengetahui segalanya. Namun, Kania itu asik. Tidak hanya orang yang dia suka, Varro, merupakan sahabat dari Januar, gadis ini juga menyukai topik yang tidak disukai Rena, seperti misalnya tren video di sosial media. Tentu, Kania menjadi teman yang selalu kupilih saat membuat video viral.

Bukan berarti Rena tidak asik. Rena itu pintar dan serius, banyak hal menyenangkan yang kita nikmati berdua. Namun, tidak semua teman dapat memenuhi semua yang aku suka. Jadi, solusi yang kugunakan adalah dengan memiliki banyak teman.

"Mending lu doa di tempat sakral, Ja." Kalimat dari teman sekelas itu berhasil menarik perhatianku, meski tidak tahu dari mana asalnya. Bila kita membahas tempat sakral, maka jawabannya hanya satu. Dan itu berhasil membuat mulutku tertarik lebar.

"Duh, malah dikasih ide lagi," protes Rena sambil memutar kedua mata.

Penuh inspirasi, aku mengambil Lala yang tergeletak di meja dan berlari menuju pintu. Sebelum meninggalkan kelas, rasanya aneh bila tidak berbagi sepatah kalimat. "Tenang penghuni IPA 6, keajaiban Lala akan kembali datang dan kalian bakal dengar kabar baik!"

"Aku gak ngerti kenapa kamu ga malu sama sekali, Ja." Kalimat kesal Rena itu sudah berlalu cepat tanpa menetap di telinga.

Tentu, aku pun tidak lupa memperbaiki penampilan di cermin dekat pintu. Entah karena kebiasaan atau takut bila bertemu Januar di jalan. Nama Zalea Dian Autami tertulis jelas pada bayangan cermin yang membalas tatapanku. Rambut gelombangnya tertata rapi tanpa ada satu bagian pun yang mencuat keluar. Aku memang sempat mengoles gloss bening di bibir, tapi bila guru bertanya aku tinggal menangkisnya dengan, bibirku memang glossy pink.

Cukup puas dengan penampilan kembaranku di cermin, aku pun bergegas pergi sebelum bel berbunyi.

Tempat sakral yang dimaksud adalah lokasi yang biasa digunakan untuk menghindari razia, tepat di atap gedung serbaguna. Tenang, ini bukan tempat berbahaya. Akses menuju ke sana memang selalu ditutup demi menghindari murid yang membolos, tapi rute rahasianya sudah tersebar hingga semua angkatan. Hal yang terbaik, aksesnya mustahil dilewati orang dewasa. Benar-benar cocok menjadi rute untuk menghindar dari guru.

Perjalanan di mulai dari celah kecil antara tembok yang terbuka menuju lorong panjang tepat di belakang gedung paling pojok. Celah ini sangat kecil, biasanya orang dewasa dan kakak tingkat laki-laki yang berbadan bongsor tidak akan bisa melewatinya. Lorong di balik celah pun serupa milik tikus, mungkin kalau tidak hati-hati aku akan berpapasan dengan salah satu. Setelah menelusuri lorong—harus sangat berhati-hati agar seragamku tidak ternoda—maka akan ada tangga besi darurat di depan sana. Cukup memanjat hingga jendela lantai dua dan menyusup ke dalam gedung melalui jendela tersebut, lalu perjalanan setelahnya menjadi mulus.

Di lantai dua ini hanya terdapat satu ruang kelas yang beralih fungsi menjadi gudang dan tempat menyimpan peralatan kebersihan. Bapak Aji dan Ibu Dantri—orang yang bekerja membersihkan gedung ini—sama sekali tidak terlihat, yang mungkin sedang sibuk di lapangan. Jadi, sudah dipastikan tidak ada yang menghalangiku menuju tempat sakral.

Setelah memanjat undakan tangga kecil, maka yang di balik pintu adalah tempat yang menjadi tujuanku.

Ketika pintu perlahan terbuka, cahaya matahari adalah yang pertama kali menyerang, kemudian diikuti angin kencang. Sebelum menarik perhatian orang, aku cepat-cepat menutup pintu besi perlahan. Lalu di sana, hamparan langit luas dengan sinar mentarinya yang cukup terik pun membanjiri tubuhku, untung aku sudah menggunakan sunscreen.

Tidak mau membuang waktu, aku segera merogoh saku rok dan Lala sudah memenuhi genggaman. Aku menutup mata dan meremas boneka hitam kucing itu kuat-kuat. Ada yang bilang, doa yang didengar adalah doa yang sungguh-sungguh dari hati. Maka dari itu aku memulai dengan satu tarikan napas panjang.

"Tuhan, tolong ... benar-benar tolong, bikin Januar balik suka ke—!"

Mungkin aku terlalu fokus atau memang tidak terlalu peduli dengan sekitar, hingga tak sadar ada seseorang yang diam-diam menyelinap. Namun, tarikan kencang di pundak kanan itu benar-benar menyakitkan. Siapa pun yang melakukannya, berhasil menarik tubuhku hingga berbalik menghadapnya. Di mana yang tertangkap di sana adalah seorang lelaki yang tingginya memaksaku untuk mendongak, dengan wajahnya yang penuh panik.

Oh, itu sama sekali tidak bagus.

Tidak ingin membuat masalah, aku segera membagi alasan. "Sekadar informasi, aku gak ada niat ... kembali ke Tuhan." Agaknya bagian terakhir terdengar sedikit pelan, karena takut bila itu terdengar seperti doa.

"Mungkin keliatan aneh, tapi aku lagi ... berdoa." Mulutku kembali membagi kalimat lain, yang setelah dipertimbangkan kembali justru terdengar memalukan.

"Boleh minta privasi!" Mungkin aku merasa terganggu, atau justru malu, karena tanganku dengan refleks mendorong lelaki di depan mata agar memberi jarak. Sama sekali tidak takut bila itu terlihat tidak sopan, aku pun kembali membalas dengan tatapan tajam.

"Lu bisa lihat benang emas?" Suara yang keluar dari bibir lelaki itu terdengar dalam, seperti pria dewasa, dan itu membuatku cukup terkejut. Entah karena suaranya atau pertanyaan asing yang dia lempar.

"Maksudnya?" Kurasa tidak aneh bila aku menanyakan konteks, karena tidak ada satu pun percakapan kami berdua yang terikat benang merah.

Mungkin aku akan selamanya merasa kebingungan dan terperangkap dalam canggung, bila tidak menangkap satu nama. Tepat di dada kanan, dalam kotak nama yang terpasang dalam seragamnya, aku menemukan sesuatu yang membuatku tersenyum lebar.

Varro Azka.

Sulit sekali untuk menahan kegembiraan ini, hingga jangan salahkan bila aku berteriak penuh semangat. "Ah! Temen deketnya Januar ya?"

Benar. Ini adalah keajaiban Lala yang lain. Jawaban untuk jalan yang perlu ditempuh menuju Januar. Meski perlu ku akui, ini akan menjadi cara yang panjang, tapi aku, Zalea, anti sekali dengan kata menyerah.

✧ ✧ ✧


Selanjutnya: Benang Emas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro