💕8. Malam di Rumah Keluarga Yu💕
Dewi Andayu melangkahkan kaki melampaui ambang pintu yang terbuka. Baba Ji memiringkan tubuh mempersilakan menantunya masuk lebih dulu. Rumah itu berarsitektur Belanda, dengan lantai tegel berwarna kuning. Lantainya mengkilap tak ada tanda-tanda bahwa rumah itu sudah lama tak berpenghuninya.
Begitu masuk, ruang tamu dengan kursi anyaman rotan menyambutnya. Meja bundar bertaplak rajutan wool itu menghiasi permukaan. Di sisi kanan terdapat bufet besar yang tampak kosong tak ada isi. Dayu masih mengedarkan pandang. Dia berbelok ke arah kiri dan di situ terdapat kamar, persis seperti rumah di Soerabaja.
Rumah itu terdapat 3 kamar, dan sedikit lebih luas dari rumah Soerabaja. Lebih masuk ke dalam rumah, ada ruang makan dan dipan di sisi tembok sebelah kanan. Dapur rumah terdapat di belakang dengan tungku api kayu bakar. Barang-barang di dapur tertata rapi dan lantainya pun bersih.
"Fuqin menyiapkan semua ini? Kupikir kita akan bersih-bersih karena lama tak ditempati," ujar Dayu takjub.
"Bagaimana bisa Fuqin membiarkan menantunya yang mengandung keturunan keluarga Yu bekerja keras, Dayu," kata Lian, yang masuk sesudah membongkar muatan di kereta kuda.
"Beberapa waktu lalu, wo sempat pulang, dan meminta tetangga untuk membersihkan rumah setiap hari. Tetangga di sini sangat baik," kata Baba Ji.
"Oh, ya, ini sudah waktunya makan siang. Aku akan mencuci tangan lebih dahulu dan segera menata makanan." Dayu berjalan tergopoh mendapati buntalan di atas meja yang diletakkan oleh Lian.
Beruntung Mbah Akik, memasakkan bekal makan siang untuk keluarga Yu. Emban setianya itu tidak ingin majikannya harus repot memasak lagi sesudah perjalanan yang melelahkan. Dayu pun membongkar serbet makan yang terikat, mengurainya untuk mengambil rantang bersusun berwarna perak.
Dibongkarnya satu persatu rantang itu. Dayu takjub, dengan masakan yang dibawakan oleh Mbah Akik. Ada nasi, sayur lodeh dan ikan bumbu kuning hasil tangkapan kolam belakang rumah Dayu.
Melihat menu yang tersaji di meja, perut Lian pun bergolak. Rasa lapar yang terlupa kembali dirasakannya. Kelenjar salivanya terangsang oleh harum masakan ikan gurami yang dibumbui beraneka rempah.
"Ayo, kita makan! Cacingku sudah ingin disejahterakan!" Lian menjulurkan tangannya hendak mencuil sedikit ikan gurami yang terlihat mengundang selera. Warna kuning dari bumbu kunyit berbaur dengan warna merah dari lombok kecil yang sengaja dibiarkan utuh, juga tomat merah, mengundang air liur Lian berproduksi dengan deras.
Dayu menepis tangan suaminya. Matanya melotot kesal karena Lian hendak mencuil makanan sebelum Baba Ji mencicipi. Selain itu, Dayu tahu Lian belum mencuci tangannya.
"Pak Dokter Yu Lian, tolong cuci tanganmu dulu! Aku tidak ingin sakit perut karena makananku dicemari oleh tangan kotormu, Ko."
Yu Lian menarik tangan dan memperhatikan telapak tangannya. Dia mencubit gemas pipi Dayu. "Terima kasih istriku, sudah mengingatkan suamimu."
Dayu memajukan bibir melihat tingkah Lian yang bersikap manis hari ini. Dia sungguh bahagia, bila berada di dekat Lian yang selalu memperhatikannya. Walaupun sempat terselip rasa kecewa saat mengingat pembicaraan mereka tadi sewaktu beristirahat di tepi sawah.
Dayu segera menepis rasa itu. Dia harus menguatkan hati, tak boleh terombang ambing oleh hormon ibu hamil yang sedang bermain-main di tubuhnya. Sungguh, selama hamil, Dayu merasa dirinya sedikit lebih sensitif perasaannya.
Akhirnya keluarga Yu sudah mengitari meja makan. Lian duduk di sebelah Dayu. Mereka makan dengan mangkok dan sumpit. Sebenarnya Dayu ingin makan dengan tangan, tapi rupanya tak ada piring datar untuk alas makan. Yang ada hanya piring saji lauk atau sayur yang tak bisa digunakan untuk makan.
Lian mengambil potongan ikan dan meletakkannya di atas sebuah piring kecil alas cangkir yang sengaja diambil Dayu untuk menempatkan ikan karena tak cukup bila ditaruh di mangkok. Dengan hati-hati Lian mencabik daging ikan dengan sumpit. Setelah memastikan tak ada duri yang melekat, Lian menaruhnya di atas nasi Dayu.
Dayu yang sibuk mengorek daging pun tertegun kala daging ikan itu berada di puncak nasi yang menggunung di mangkok. "Makanlah, aku akan mengambil daging ikan untukmu."
"Tapi ... bukannya Koko lapar?" Dayu merasa tak enak.
Lelaki berhidung mancung itu tersenyum manis. Sangat manis hingga melelehkan hati Dayu. "Janin yang kau kandung juga lapar bukan, Dayu? Aku ingin menyuapinya terlebih dahulu."
Dayu mengulum senyuman. Dia memperhatikan cara Lian mengurai daging dari duri dan tulang ikan menggunakan sumpit. Sungguh, gerakannya seperti seorang dokter bedah yang sedang melakukan tindakan. Begitu halus, tidak membuat otot ikan itu mocar-macir.
"Ko …," panggil Dayu.
Dehaman Lian menjawab panggilan sang istri. Mata sipitnya masih fokus pada ujung bilah sumpit logamnya.
"Koko ... tidak mau menjadi dokter?" tanya Dayu pelan, tapi suaranya tersampaikan oleh udara, menyusup ke liang pendengarannya.
Lian menarik sudut bibirnya miring. "Kamu tidak puas dengan suami yang seorang ahli pengobatan timur?" jawab Lian tanpa melihat Dayu.
"Bukan begitu. Sayang kemampuan Koko yang sangat halus itu tidak digunakan," jawab Dayu.
Lian menaruh lagi sepotong besar daging ikan setelah memastikan tak ada duri. Ia kini mengamati wajah Dayu yang terlihat sedikit lebih berisi. "Kamu ingin bekerja menjadi dokter, mengabdikan ilmumu?"
"Bukan—"
"Tunggu. Tunggu sampai kamu melahirkan, dan anak kita sedikit lebih besar," kata Lian. "Kamu tahu bukan Dayu, menjadi seorang tenaga kesehatan tidaklah mudah. Apalagi jumlah tenaga medis masih relatif sedikit. Aku ingin menikmati masa-masa melindungi istri dan anakku. Setelah itu akan ada saatnya, aku akan mengabdikan ilmuku untuk masyarakat."
"Aku ingin bekerja berdua bersamamu, Ko. Dokter Yu Lian dan Dokter Dayu. Berdua kita melayani masyarakat yang membutuhkan," kata Dayu jujur yang dijawab dengan senyuman dari bibir merah Lian.
"Itu pasti. Kita akan bekerja sama. Ayo, makan dulu!" titah Lian.
Dayu mengambil dua batang logam panjang yang digunakan untuk mengambil makanan. Ketrampilannya menggunakan sumpit sekarang lebih terasah. Dan kini, Dayu dengan lahap memasukan jepitan nasi dan daging ikan ke mulutnya.
Hati Dayu terasa menghangat. Sesekali wanita itu melirik dari ekor matanya untuk mengamati suaminya yang kini lahap menyantap yang terhidang. Pipi Lian kembung dipenuhi makanan, dan rahangnya bergerak naik turun, memperlihatkan denyutan di pelipisnya.
"Jangan melihatku terus." Seruan Lian menyadarkan Dayu yang sedang menggigit ujung sumpitnya.
"Ih, siapa yang melihat?" kilah Dayu.
"Dayu, setiap detik aku akan selalu mengamatimu. Memastikan kamu aman. Jadi kalau mau mencuri pandang jangan setengah-tengah."
Dayu mencebik karena ketahuan oleh Lian.
Baba Ji terkekeh. "Kamu tidak sadar Dayu, dari awal kamu datang, Xiao Kai selalu melirik kamu?"
"Oh, ya?" Mata Dayu membulat dengan binar cerah.
"Haya, Fuqin! Ibu hamil ini bisa jingkrak-jingkrak kesenangan kalau Fuqin berkata begitu," komentar Yu Lian.
"Koko! Aku tidak sebegitunya! Kupikir Koko dulu tidak menyukaiku."
Lian menghela napas ringan. "Kalau aku tidak menyukaimu, untuk apa dari awal aku mengatakan pernikahan ini sungguh-sungguh, Dayu. Aku baru tahu kali ini ada perempuan tak peka!" Lian menangkup pipi Dayu dan menekannya hingga mulut Dayu membentuk huruf 'O'.
"Lefaskan, Ko!" Kata-kata Dayu terdengar tak jelas. Perempuan hamil itu menarik tangan suaminya untuk mengurai tangkupan tangannya. Dia mengusap pipi.
Baba Ji tersenyum bahagia melihat kedekatan putra sulungnya dengan sang menantu. Dalam hati dia berharap kebahagiaan ini akan terus berlangsung dan tak lekang waktu.
***
Malam itu, sesudah makan malam, Dayu membereskan peralatan makan dari meja. Lian melarang Dayu dan menyuruhnya beristirahat karena seharian ini, Dayu sibuk membereskan barang-barang—menata pakaiannya dan pakaian Lian di lemari.
"Dayu, istirahatlah!" titah Lian.
"Tapi—"
"Biar kami yang membereskan semuanya. Ibu hamil harus cukup beristirahat," timpal Baba Ji.
"Ya Tuhan, Fuqin! Bagaimana bisa aku membiarkan dua lelaki di rumah ini yang bekerja sementara ada yang menantu perempuan keluarga Yu berada di rumah ini?" Dayu berusaha merebut kembali tumpukan piring kotor.
Lian menggeram dengan mata sipit terbuka lebar memberikan pelototan tajam. "Kamu itu harus menurut dengan suami Dayu! Sana masuk kamar!"
Mendengar sergahan Lian, Dayu merasa seperti anak kecil yang disuruh tidur orangtuanya. Mau tak mau dia menurut. Namun, dia berbalik lagi, mengekori Lian yang berjalan ke dapur.
Mengetahui istrinya mengikuti ke dapur, pria itu berbalik. "Kamu i—"
"Aku mau sikat gigi dahulu."
"Oh ..." Dan, Lian kembali berjalan ke dapur untuk mencuci alat-alat makan.
Sesudah menyikat giginya, Dayu mendapati Lian berjongkok di tepi tempat cuci. Hatinya terenyuh oleh tindakan sederhana yang dilakukan sang suami. Sebegitu besar cinta Lian sampai tidak ingin Dayu bersusah payah melakukan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri.
Pelan tapi pasti, Dayu berjalan ke arah Lian yang sedang bersiul-siul. Entah lagu apa yang dinyanyikannya, tapi Dayu tahu suasana hati lelakinya sedang senang. Dayu pelan-pelan berjongkok dan ….
Hap!
Dayu menghambur memeluk punggung bidang Lian. Lian terlonjak dan mangkok yang ada dalam genggamannya hampir tergelincir.
"Ya Tuhan, kamu mengagetkanku, Dayu! Kupikir setan memelukku," kata Lian saat kepalanya menunduk mendapati tangan kecil istrinya sudah melingkar di perut datarnya.
"Ih, Koko. Masa aku disamakan hantu. Menyebalkan!" Dayu menghirup dalam-dalam aroma manis dari tubuh Lian yang menenangkan.
"Tidak ada suara, tiba-tiba kamu sudah ada di belakangku." Lian masih melanjutkan mencuci mangkoknya. "Kembalilah ke kamar. Kalau seperti ini aku tidak bisa bekerja."
"Aku akan membantumu." Dayu mengurai pelukan dan ikut berjongkok di sebelah Lian. Lelaki itu sudah memberikan wajah datar karena titahnya tak diindahkan. "Kumohon!"
"Sekali ini!" Terpaksa Lian mengalah.
Dayu mengembangkan senyuman di wajah. Perempuan itu membantu membilas mangkok-mangkok dan kemudian mengeringkannya sebelum menata dalam lemari.
Setelah membereskan semuanya, suami istri itu masuk ke dalam kamar. Lian kali ini harus memastikan bahwa istri mematuhi perintahnya. Dia harus sangat bersabar menghadapi Dayu yang sensitif di masa kehamilan.
Setelah Dayu naik ke tempat tidur, Lian menyelubungi badan kecil itu dengan selimut. "Ko, jangan pergi dulu!"
"Tidak, aku disini. Aku akan memberi pijatan kaki untukmu."
Mata Dayu bersinar cerah. "Pijatan? Wah ... aku mau. Kakiku terasa kesemutan setelah berjongkok lama tadi," ucap Dayu jujur.
"Siapa yang menyuruh kamu ikut mencuci?" kata Lian sambil mencari sesuatu dari dalam lemari.
"Aku hanya ingin menjadi istri yang baik." Dayu mencebik kesal, niat baiknya tak diterima dengan baik oleh suaminya.
Lian menarik hidung Dayu dengan gemas. Wanita yang menjadi istrinya itu tidak pernah mau kalah. Dayu pun menepis tangan Lian.
"Ko, aku ini istrimu. Bukan adikmu! Koko seperti Mas Daru yang selalu menggodaku sewaktu kecil."
Lian meletakkan pantatnya di bibir ranjang dan menumpukan kaki Dayu ke pahanya. Dengan minyak ramuan yang diracik oleh keluarga Yu turun temurun, Lian mengurut pelan kaki Dayu.
Tangan besar Lian memijat telapak kaki Dayu, melancarkan aliran darah sehingga tidak terkumpul cairan di situ. Rasa hangat dari minyak membuat nyeri yang dirasakan Dayu berkurang. Aroma yang menguar dari minyak esensial itu menenangkan Dayu.
"Ko, kenapa Koko baik denganku?" tanya Dayu dengan mata terpejam menikmati tekanan lembut jemari suaminya.
Lian mendengkus pelan. Tawanya tertahan karena pertanyaan aneh Dayu. "Kamu istriku, sudah pasti aku akan bersikap baik denganmu."
Dayu menegakkan tubuh. Matanya memicing berusaha menelisik kedalaman hati Lian. "Tidak ada hal lain?"
Lian mengerucutkan bibir, dengan garis wajah yang seolah berpikir keras. "Ah ya, ada!"
"Apa?" tanya Dayu dengan mata berbinar.
"Karena kamu sedang mengandung penerus keluarga Yu," jawab Lian mantap yang membuat Dayu mencebik kesal.
Bukan, bukan itu jawabannya. Dayu hanya ingin mendengar Yu Lian mengatakan bahwa lelaki itu mencintainya. Lagi, lagi dan lagi. Kalau hanya sekali mendengar perasaan Lian rasanya Dayu belum puas.
Ketukan pintu menengahi perasaan jengah Dayu. Baba Ji meminta izin untuk masuk dan dijawab oleh Lian agar sang ayah bisa masuk.
Saat daun pintu terbuka, wajah mertua Dewi Andayu tampak pucat layaknya sesudah melihat hantu.
"Ada apa?" Lian menurunkan kaki Dayu.
Baba Ji tergagap dan menunjuk ke arah luar.
💕Dee_ane💕
Suami Dewi Andayu yang baik hati dan tidak sombong
Istri Yi Lian Kai yang ngeyelan
Penasaran ga part selanjutnya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro