💕5. Mengambil Hati💕
Dayu sebenarnya merasa bersalah karena berkata kasar pada Lian. Tapi mendapati Lian yang seolah masih berkecimpung di trauma masa lalu yang berhubungan dengan Ke Yi Jie, Dayu menjadi sedikit jengah. Gadis itu tahu, apa yang dialami Lian pasti sangat berat hingga menorehkan luka batin yang bahkan dirinya tak mampu menghapusnya begitu saja.
Dayu yang meninggalkan suaminya begitu saja, kini duduk kembali bersama teman-teman Daru. Dia mengambil jarak tidak terlalu dekat dengan kelompok laki-laki yang sedang bernostalgia mengenang masa perjuangan melakukan pergerakan bawah tanah.
Dengan menghadap sepiring mangga muda, Dayu menyomot satu per satu potongan buah tropis itu dan mencocolkannya pada sambal gula merah yang lengket.
Gigi Dayu memotong mangga muda yang mengkal. Matanya memejam erat saat lidahnya merasakan asamnya buah mangga. Namun, rasa asam itu justru membuatnya ketagihan dan tidak kapok untuk terus menikmati mangga itu sembari ikut mendengarkan apa saja yang dibicarakan oleh para pemuda.
"Walau kita sudah merdeka, kita tidak boleh lengah! Jepang sudah kalah dalam pertempuran Pasifik, dan kita harus hati-hati pada pihak yang telah mengalahkan Jepang. Asumsiku, pihak Sekutu tak akan tinggal diam, membiarkan negara jajahan Jepang dalam keadaan bebas." Daru menerawang menyampaikan pikirannya, disertai anggukan dari beberapa teman-temannya.
"Semoga yang kamu pikirkan tidak terjadi, Daru. Hanya saja, mengetahui Jepang sudah kalah, aku tebak karena negara kita selama 3,5 abad diduduki Londo, mereka akan berusaha merebut kembali tanah jajahan mereka yang gemah ripah loh jinawi ini." Panji menambahi.
"Ya, kita harus waspada. Siap sedia bila kemungkinan buruk terjadi," sahut Daru.
Dayu masih sibuk mengunyah mangganya, dan sampai potongan terakhir, Lian tak terlihat. Panji yang melihat Dayu menyendiri di sudut pendopo kemudian mendekatinya.
"Dayu, hebat sekali kamu! Satu piring mangga muda berhasil kamu libas habis!" Walau tidak ikut memakannya, tapi lidah Panji serasa ikut merasakan asamnya mangga itu.
"Iya, aku ingin sekali makan mangga muda." Dayu mengelus perutnya.
"Yu, aku lihat selama kamu hamil, Lian menjadi terlalu berlebihan melindungimu," kata Panji.
"Oh, ya?" Dayu tersenyum canggung.
Ternyata tidak hanya aku yang berpikir begitu, Panji pun juga berpikir demikian.
Dayu memperbaiki posisi tubuhnya, bersandar pada salah satu pilar pendopo.
"Mungkin karena ini kehamilan pertamaku," dalih Dayu.
"Iya, yang jelas dia menyayangimu, Dayu," komentar Panji.
Menyayangi? Ya, dia menyayangiku dan mengorbankan semua untukku agar aku terlindung, tapi aku justru berkata yang tidak mengenakkan yang menyinggung hatinya.
Dayu pun pamit pada Panji hendak ke belakang, untuk membereskan beberapa piring kosong dan meminta Mbah Akik untuk menambahkan kacang rebus untuk para tamu.
Setelah memberikan titah pada Mbah Akik, Dayu mencari Lian di gazebo. Tapi tidak didapatnya lelaki itu di sana.
Di mana Lian?
Dayu mengedarkan pandangan berkeliling. Mencoba mencari Lian di dekat sumur. Dan benar, lelaki itu sedang duduk di sebuah dingklik menghadap ember kayu besar.
Lengan baju Lian disingsingkan sampai sebatas siku dan tangan kekarnya mengucek salah satu baju yang basah.
"Ya Tuhan, suamiku kenapa justru mencuci!" Dayu berjalan cepat menghampiri Lian.
"Ko, kenapa mencuci? Aku bisa melakukannya!" kata Dayu berusaha merampas baju yang dicuci Lian.
Lian melirik tajam Dayu membuat Dayu bergidik. Masih mengunci mulut, lelaki itu menekuni pekerjaannya.
"Ko …," panggil Dayu lagi karena tak dihiraukan. Dayu berdiri berusaha menarik lengan Lian.
"Kamu kenapa, Dayu?!" sergah Lian menepis tangan Dayu.
Dayu terperangah mendapati sikap tidak bersahabat Lian.
"Ih, Koko, keterlaluan!" Dayu mencebik. Mulutnya maju ke depan beberapa senti.
"Kalau kamu mau bantu, duduk di situ, kalau tidak mau bantu, masuk saja!"
Suara Lian yang datar membuat Dayu mau tidak mau duduk di dingklik di depan Lian.
Mereka diam. Hanya suara baju yang dikucek yang meramaikan keheningan, sesekali disertai suara soang yang ribut bersama kawanannya.
Dayu merasa canggung. Dia merasa bersalah, dan melihat Lian yang hanya diam, dia pasti sudah melukai perasaan lelaki itu.
Lelaki mana yang mau dicap sebagai pengecut? Apalagi oleh istrinya. Ya Tuhan, Dayu mulutmu ini memang butuh saringan.
"Ko …," panggil Dayu.
Lian hanya berdeham.
"Koko marah?" Dayu memandang Lian yang tidak diacuhkan oleh pemuda itu.
"Menurutmu?" tanya Lian kembali.
"Mana aku tahu?"
Lian mendecih lalu menyipratkan air ke wajah Dayu hingga gadis itu memekik.
"Koko! Lihat wajahku basah semua. Ini air kotor! Bagaimana kalau kulitku sakit?" Dayu mencerocos melupakan keinginan awalnya ingin berdamai dengan Lian.
"Dayu, Dayu ... kupikir kamu mau berdamai, tapi tetap saja mengomel tak habis-habis." Lian mendesah. "Kupikir Dewi Andayu hendak merayuku habis-habisan agar aku mau berbaikan dengannya. Ah ...." Lagi, pria itu mengembuskan napas kasar, "sepertinya itu hanya harapan kosongku. Dewi Andayu, istriku itu tetaplah tuan putri yang harga dirinya tinggi sekali."
Dayu menarik hidung panjang Lian membuat lelaki itu ganti berteriak tertahan. "Koko menyebalkan! Kupikir Koko benar-benar marah padaku!"
Lian melepas paksa cubitan jari Dayu di hidungnya, yang membuat hidung mancungnya kini memerah. Lian menarik kedua pipi Dayu, dan berkata, "Bagaimana bisa aku marah dengan gadis semanis ini? Walau aku tahu mulutnya pedas, tetap saja aku menyukainya."
Dayu menepis tangan Lian dan mengerucutkan bibirnya. Kedua telapak tangan mengelus pipi yang dicubit dan ditarik Lian.
"Mulutku bukan cabai, Ko."
"Iya, tapi mulutmu bikin kapok lombok. Pedas, nylekit tapi bikin nagih," ujar Lian.
"Mulut Koko berbahaya. Harus dihindari karena mengandung alkohol!" Dayu tak mau kalah.
"Alkohol?" Lian mengernyit.
"Iya, memabukkan. Bikin lupa diri sekali mencecapnya."
Tawa Lian menghambur keras membuat para soang ikut ribut memeriahkan halaman belakang.
"Dayu ... Dayu ... Bagi Yu Lian, Dayu itu ibarat morphin di waktu perang. Begitu mencicip sedikit, membuat terbang melayang, menghilangkan rasa sakit dan derita di saat menyesakkan. Mencecap dua kali, dan akan menjadi candu."
Dayu mengulum senyum. Pipinya merona karena senang dengan kata manis Lian.
***
Malam itu, sesudah makan malam, Daru dan Lian bercengkerama bersama Baba Ji. Sudah hampir dua minggu mereka tinggal di situ, dan Baba Ji merasa mereka harus melanjutkan hidup lagi.
"Daru, beberapa hari lagi kami akan kembali ke rumah di Soerakarta. Kami mau melanjutkan hidup lagi, membuka toko yang sempat terbengkalai," ujar Lian.
"Kapan kalian akan berangkat?" tanya Daru.
"Mungkin, dua hari lagi ...."
Daru yang duduk bersandar di kursi kayu anyaman, menyedekapkan tangannya. Alisnya bertaut tampak memikirkan sesuatu. "Lian, aku tahu kalian sudah menikah. Tapi sebagai pihak keluarga perempuan, kami belum mengadakan acara pernikahan di rumah. Di adat kami, bila anak perempuan menikah, akan diadakan hajatan mantu yang meriah. Sebagai pengganti orangtua Dayu, aku ingin mengadakan pernikahan untuknya."
"Tapi kamu tahu sendiri, sejak peristiwa itu, kami bahkan tak punya apa-apa lagi. Kami masih harus memulai dari awal, dan untuk melangsungkan pernikahan adat, biayanya juga tidak sedikit," kata Lian.
"Haya, Xiao Kai! Untuk urusan biaya, biar wo yang mengatur—"
"Tapi, Fuqin ...."
"Lian, walau Dayu tidak memberitahumu, dia pasti juga ingin pernikahannya sekali seumur hidup dirayakan dengan meriah," kata Baba Ji.
Yu Lian mengerling ke arah Dayu yang sedang sibuk menjahit sesuatu di dekat lampu dian.
"Untuk biaya, tidak perlu khawatir. Romo sudah mempunyai tabungan yang disimpan khusus untuk menyelenggarakan pernikahan putrinya. Bagaimana pun Dewi Andayu tetap perempuan Jawa. Dia pasti ingin menjadi ratu sehari dalam hidupnya. Memakai kebaya pengantin dan didandani menjadi pengantin wanita Jawa yang anggun," kata Daru.
"Menurutmu, kapan akan dilaksanakan?" tanya Lian.
"Dua minggu lagi?" Daru menawarkan.
"Baiklah. Sementara itu, kami tetap akan membawa Dayu ke Soerakarta, karena kami perlu menata hidup kami," ujar Lian.
"Xiao Kai, Baba Ji, terima kasih untuk segala kebaikan kalian. Aku tidak tahu bila tidak ada kalian, mungkin nasib keluarga ini akan berakhir tragis." Daru menatap dua orang lelaki di depannya.
"Aku senang bisa berbuat baik. Apalagi untuk sahabat dan orang yang kita cintai."
Dari tempatnya duduk, Dayu mendengar ucapan Lian. Hatinya trenyuh, karena kebaikan hati Lian sungguh mengena di hati Dayu. Perjuangan dan pengorbanan pria itu, tanpa banyak bicara dan mewujudkan dalam perbuatan nyata, sungguh membuat Dayu jatuh cinta.
Dayu masuk ke dalam kamar mereka lebih dahulu. Gadis itu memijat kakinya karena setelah hamil kadang kaki Dayu terasa nyeri setiap malam.
Lian yang menyusul masuk, keheranan Dayu belum terlelap karena malam sudah semakin larut.
"Kamu belum tidur, Dayu?" tanya Lian yang menghampiri Dayu. Lelaki itu duduk di tepi ranjang.
"Iya, kakiku rasanya ngilu," keluh Dayu.
"Apa aku bilang, jangan banyak gerak. Kamu ini persis seperti kelinci yang suka meloncat kesana kemari tidak mau diam!"
"Aku tidak bisa kalau hanya duduk diam, tidak berbuat apa-apa. Sudah baik aku tidak terlalu mual seperti ibu hamil lainnya," kata Dayu masih memijat tulang keringnya.
"Sini, aku pijit!" Lian mengangkat kaki Dayu menumpu di pahanya. Lelaki itu memberikan pijatan yang membuat Dayu terasa nyaman. "Berbaringlah."
Dayu melakukan titah sang suami. Dia berbaring sementara kaki kanannya masih menumpu di paha Lian dan kaki kirinya menerima pijatan yang menenangkan.
"Ko, maaf ya. Mungkin hari ini aku berlebihan mengucapkan kata yang menyakitkan," kata Dayu memandang suaminya yang sedang menunduk mengurut otot lelah Dayu.
"Yu, asal kamu ingat, kita boleh saja berdebat dan bertengkar, tapi jangan sampai sebelum tidur kita belum berdamai. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Jangan menumpuk masalah, karena itu akan meledak seperti bom waktu." Suara Lian yang dalam membuat Dayu merasa segan.
"Iya, Ko."
"Dan, ketahuilah, aku tidak suka kamu membawa nama Ke Yi Jie." Lian mengerling ke arah Dayu dengan tajam.
"Aku ... kadang merasa cemburu. Aneh ya cemburu dengan orang yang tidak ada di sini."
Dayu meraup wajahnya, menutupi ekspresi kecewa karena Lian mengatakan terus terang bahwa dia tidak menyukai Dayu mengungkit istri pertamanya. Dayu kesal juga dengan hormon kehamilannya yang membuat perasaan anehnya menguasai hati.
Lian menaruh kaki Dayu. Ia menggeser pantatnya dan tiba-tiba membungkuk mendaratkan kecupan di perut Dayu yang masih kempes. Pria itu mengelus lembut perut yang berbalut blus.
"Xiao Xingxing, baik-baiklah di rahim hangat Mama. Jangan menyulitkan Mama. Papa sangat menyayangi kalian, Dewi Andayu dan Bintang Kecilku."
Dayu semakin terisak haru mendengar kata Lian. Setiap kata Lian selalu membuat batinnya nyaman. Dari dulu hingga kini. Walau banyak sekali kata pedas yang terlontar dari mulut Dayu, lelaki itu tak pernah sekali pun membalasnya.
Lian menegakkan tubuhnya, mengurai tangkupan tangan Dayu di wajahnya, memperlihatkan mata yang merah dan sembab. "Sejak kapan kamu cengeng begini, Dayu?"
Dayu mencebik, menyeka air di sudut matanya. "Sejak Koko menghamiliku!"
Lian terkekeh. "Ya Tuhan, bahasamu, Dayu."
"Aku tidak salah, bukan?"
"Iya, tapi tetap saja," Lian menggaruk telinganya yang tak gatal, "terasa aneh."
"Tapi aku senang, benih itu tumbuh subur di rahimku. Seolah separuh jiwa Yu Lian berada dalam tubuhku." Dayu mengelus perutnya.
"Terima kasih, sudah memberi harta terindah untukku, Dayu." Lian mengecup kening Dayu dengan lembut, kemudian ikut berbaring di samping istrinya.
Malam itu, mereka tidur dalam damai dengan saling berpelukan erat. Tanpa menyadari dalam beberapa hari lagi, sesuatu hal yang besar akan mengguncang hidup mereka.
💕Dee_ane💕
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro